Sabtu, 29 Agustus 2009

KAБANTI SEBAGAI MEDIA PEMBELAJARAN SASTRA PADA USIA DINI

Oleh:
Sumiman Udu
A.Pendahuluan
Sebagai bentuk kesenian rakyat, kaбanti merupakan salah satu bentuk folklor masyarakat Wakatobi yang tergolong dalam folklor lisan. Hal ini sesuai dengan pendapat Brunvand (dalam Danandjaja, 2002: 21-22) yang mengatakan bahwa folklore lisan adalah yang bentuknya murni lisan, contohnya adalah puisi rakyat. Finnengan (1977) mengatakan bahwa puisi lisan disusun oleh sekelompok orang yang tidak dapat membaca dan menulis. Menurut Vansinna (1965), Finnengan (1977), Lord (1981), dan Danandjaja (2002), puisi lisan terikat oleh syarat-syarat tertentu, yaitu (1) kalimat yang tidak bebas (free phrase), melainkan terikat (fixed phrase); (2) baik bentuk maupun isinya mempunyai nilai estetik; (3) terikat struktur kebahasaan lain seperti rima, metrum, stilistik, dan repetisi. Finnengan juga menambahkan bahwa puisi lisan dihubungkan dengan bahasa tinggi (bukan bahasa sehari-hari), ekspresi metaforis, dilagukan atau diiringi alat musik, menggunakan pengulangan yang terstruktur, prosodic features (metrum, aliterasi), paralelisme.
Sebagai salah satu bentuk folklor, kaбanti diwariskan secara turun-tumurun, tidak diketahui secara pasti kapan kaбanti lahir dan berkembang di dalam masyarakat pendukungnya. Menurut La Niampe (1998: 5), kaбanti yang tergolong karya yang banyak jumlahnya dan populer di kalangan pendukungnya tersebut telah lama dikenal oleh masyarakat Buton sejak zaman pra-Islam. Penyebaran kaбanti yang sudah berlangsung sejak lama tersebut meliputi seluruh barata yang ada di Kesultanan Buton, mulai dari Barata Muna dan Barata Tiworo di barat sampai dengan Barata Kulisusu di utara dan Barata Kaedupa di timur Pulau Buton.
Barata Kaedupa—yang dijadikan sebagai lokasi penelitian ini dan sekarang telah dimekarkan menjadi Kabupaten Wakatobi—merupakan salah satu daerah persebaran kaбanti dalam bahasa Kepulauan Tukang Besi. Masyarakat di daerah ini mengenal kaбanti sebagai nyanyian rakyat yang paling disukai. Hampir seluruh aktivitas kesenian masyarakat melibatkan kaбanti sebagai bagian dari pementasannya. Beberapa tarian yang melibatkan kaбanti dalam komposisinya adalah tarian pajogi , tarian lariangi , drama tradisional kenta-kenta , dan beberapa kesenian lainnya. Di samping itu, aktivitas masyarakat yang melibatkan kaбanti sebagai bagian dari kegiatan itu adalah menidurkan anak, tradisi ritual adat (pakande-kandea), acara mangania kabuenga , dan mangania nu uwe serta pengobatan tradisional (lagu lemba).
Aktivitas lain yang melibatkan kaбanti adalah pada saat bekerja. Sebagai nyanyian kerja, kaбanti dinyanyikan di tempat kerja. Irama, kata-kata, atau frase dalam kaбanti sebagai nyanyian kerja mempunyai irama dan kata-kata yang bersifat menggugah semangat sehingga dapat menimbulkan rasa bergairah untuk bekerja. Dalam konteks ini, kaбanti biasanya dinyanyikan pada saat bekerja di kebun (oleh petani), mendayung sampan (oleh nelayan), dan bekerja di bangunan (oleh buruh bangunan).
Sebagai pengantar tidur, kaбanti mempunyai irama yang halus dan tenang, berulang-ulang, sehingga dapat membangkitkan rasa santai, damai, dan akhirnya rasa kantuk bagi bayi atau anak yang mendengarnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Danandjaja (1994: 146) bahwa nyanyian sebagai pengantar tidur mempunyai lagu dan irama yang halus, tenang, dan berulang-ulang sehingga dapat membangkitkan rasa santai, sejahtera, dan akhirnya rasa kantuk bagi anak yang mendengarnya.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka kaбanti merupakan salah satu media pembelajaran sastra yang potensial yang dilakukan pada anak usia dini. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk menganalisis tentang dampak kaбanti terhadap pembentukan mental dan kepribadian anak sejak usia dini. Dimana kaбanti sebagai salah satu ragam sastra berperan sebagai media pembelajaran budaya yang dilakukan sejak usia dini. Cantor dan Bernay (1998: 314) mengatakan bahwa ibu berperan dalam reproduksi kepribadian seorang anak, hal ini disebabkan oleh adanya ikatan batin antara anak dan ibunya. Dengan demikian, kaбanti merupakan media pembelajaran sastra pada anak usia dini yang diharapkan dapat memupuk rasa kecintaan pada sastra serta menjadi media transformasi nilai-nilai budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sosio-etnografi, yaitu suatu bentuk pendekatan yang melihat hubungan sosial masyarakat berdasarkan sudut pandang masyarakat setempat. Dengan demikian, pendekatan ini dapat melihat dampak kaбanti sebagai media pembelajaran sastra di usia dini, yakni lahirnya anak-anak yang cinta sastra dan budayanya serta memiliki identitas lokal yang kuat.

B.Fungsi Kaбanti dalam Masyarakat Wakatobi
Sebelum membicarakan dampak kaбanti pada anak-anak Wakatobi, ada baiknya kalau kita membicarakan fungsi kaбanti dalam masyarakat Wakatobi. Sebagaimana karya sastra yang lain, kaбanti mempunyai dua fungsi utama yaitu sebagai hiburan dan bermanfaat. Adapun dalam fungsinya sebagai karya sastra yang berguna, sebagaimana yang dikemukakan Horace, kaбanti dapat menjadi alat untuk menyampaikan nasihat keagamaan. Selain itu, juga dapat berfungsi sebagai ingatan kolektif masyarakat tentang suatu peristiwa, misalnya ingatan kolektif mengenai batas wilayah Wanci dan Mandati, seperti tampak pada syair kaбanti berikut.
E te wanse-mo te mandati-mo
Pe.art.wanse-EMPH art. Mandati-EMPH
E ði Endapo nang kaselapa
Pe.di Endapo art. batas wilayah

Baik (orang) Wanse maupun (orang) Mandati
Di Endapo batas wilayahnya

Syair kaбanti di atas, merupakan salah satu syair yang dikutip oleh H. La Morunga (45 tahun) saat membicarakan tentang perselisihan batas wilayah. Dengan mengacu pada isi kaбanti di atas, maka penentuan batas wilayah Kecamatan Wangi-Wangi dan Wangi-Wangi Selatan ketika dimekarkan pada tahun 2003 ditetapkan di atas air Endapo.
Dalam kaitan dengan penggunaannya sebagai pengantar tidur, kaбanti berfungsi sebagai sarana pendidikan bagi anak-anak dengan bahasa-bahasa yang bernilai tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat La Ode Nsaha (1978: 235) yang mengemukakan bahwa kaбanti merupakan kumpulan kata-kata mutiara yang menyentuh sampai di hati dalam setiap kesempatan. Lewat syair-syair kaбanti yang mengandung bahasa metafor tersebut seorang anak dapat memiliki perasaan yang lembut. Hal yang sama juga dikatakan oleh Hamiruddin Udu (2006: 175) bahwa kaбanti banyak mengandung metafor. Sehingga tidak heran kalau masyarakat Wakatobi banyak menggunakan metafor dalam kehidupannya.
Salah satu fungsi sastra dalam masyarakat adalah sebagai penghalus budi, penghalus rasa. Untuk itu, Nurhayati Rahman (1999: viii) mengatakan bahwa salah satu cara untuk mengasah kepekaan rasa dan hati nurani adalah melalui penciptaan, pembacaan, dan penghayatan karya sastra. Dalam kasus kaбanti sebagai nyanyian rakyat masyarakat Wakatobi, syair-syair kaбanti dapat menjadi sarana penghalus budi dan hati nurani masyarakat Wakatobi. Sejak dini kaбanti telah diperdengarkan sebagai pengantar tidur saat anak-anak Wakatobi. Mereka mulai menangkap kebudayaannya. Contoh syair kaбanti yang dapat menghaluskan rasa dan budi tersebut terlihat dalam teks I bait ke- 53 dan ke-54 berikut.

53. E ara no-sangga-ko te mia
Pe.kalau 2sR-cemburu –2sRpos art. orang
E hoto’imani mpuu kita
Pe.beriman sungguh kita

Kalau kamu dicemburui orang
Berimanlah sunguh-sungguh

54. E te imani-’a ngku-imani
Pe.art.beriman-past. 1sR-beriman
E ðahani na tumpu balaa
Pe.tahu art. datang bala

Kalau beriman aku beriman
Tidak tahu kalau dengan datangnya bala

Kaбanti sebagai pengantar tidur juga berfungsi sebagai sarana transfer budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Hal ini sesuai dengan empat fungsi nyanyian rakyat, seperti yang dikemukakan Danandjaja (1994: 152-153).
Pertama, nyanyian rakyat berfungsi untuk (1) merenggut kita dari kebosanan hidup sehari-hari walaupun untuk sementara waktu, (2) menghibur diri dari kesukaran hidup sehingga dapat pula menjadi semacam pelipur lara, atau (3) melepaskan diri dari segala ketegangan perasaan sehingga dapat memperoleh kedamaian jiwa. Menurut Danandjaja (1994: 152-153), nyanyian sebagai pengantar tidur merupakan salah satu jenis nyanyian dengan fungsi seperti itu. Untuk itu, kaбanti merupakan nyanyian yang berfungsi sebagai pelepas ketegangan dan pemberi kedamaian dalam menghadapi kesukaran hidup. Contoh syair kaбanti dengan fungsi tersebut dapat dilihat pada tiap-tiap teks dalam bait pertama hingga bait ketiga berikut.
1. E bue-bue aneðo pei
Pe. ayun-ayun masih bodoh
E aneðo te ðitemba-temba
Pe. masih harus art. ditimang-timang

Ku ayun-ayun semasih bodoh
masih harus ditimang-timang

2. E ku-bumue-bue nggala-ne
Pe. 1sIR-(akan) ayun-ayun dulu-Padv.
E mina aneðo no-бahuli
Pe.dari masih 3sR-kecil

Aku akan mengayun-ayunnya dulu
Sewaktu ia masih kecil

3. E ku-bumue-bue nggalane
Pe. 1sIR-(akan) ayun-ayun dulu-Padv.
E mondo-mo ku-sala te laro
Pe. Selesai-past 1sR-salah art.dalam

Aku akan mengayun-ayunnya dulu
Sudah pernah aku menyalahi perasaanya

Tiga bait pembuka pada nyanyian rakyat pada masyarakat Wakatobi tersebut merupakan pembuka nyanyian pengantar tidur. Seorang ibu mengekspresikan bait pertama sebagai rasa kasih sayang pada bayinya.
Kedua, nyanyian rakyat berfungsi sebagai pembangkit semangat, seperti nyanyian kerja. Sehubungan dengan fungsi nyanyian rakyat tersebut, kaбanti digunakan oleh masyarakat pendukungnya sebagai pembangkit semangat pada saat bekerja di laut, di kebun, dan di bangunan. Syair-syair kaбanti dinyanyikan sambil bekerja sehingga melahirkan semangat dalam melakukan perkerjaan. Dengan nyanyian yang berisi kisah cinta, mereka akan selalu memberikan semangat pada orang-orang yang sedang bekerja. Dalam kegiatan membuka atau menyiangi kebun/ladang, ibu-ibu melakukannya sambil bernyanyi. Mereka mengekspresikan lagu-lagu yang dapat menciptakan semangat. Mereka kebanyakan menyanyikan kaбanti yang mengekspresikan kehidupan mereka sehari-hari.
Ketiga, nyanyian rakyat berfungsi untuk memelihara sejarah setempat. Telah disebutkan di depan bahwa batas Mandati dan Wanci tentang dalam syair kaбanti. Selanjutnya, masyarakat Wangi-Wangi mengingat kisah migrasi masyarakat Wakatobi khususnya dan Buton umumnya dengan memasukkan Pulau Buru dan Pulau Seram sebagai tempat merantau. Ini merupakan sejarah migrasi bangsa Buton pada beberapa puluh tahun yang lalu. Contoh syair kaбanti yang menggambarkan tentang daerah tujuan migrasi masyarakat Wakatobi pada zaman dulu diabadikan dalam bait pertama teks II dan III yang dinyanyikan oleh Wa Radi berikut.
E bue-bue бangka nu-Sera
Pe. ayun-ayun perahu 2sR-Seram
E mbali бata na ngko-kombu-no
Pe.jadi batang kayu art 2sR-tiang-past

Ayun-ayun perahu perahunya Seram
Tiangnya menjadi batang kayu

Baris pertama pada bait ke-1 merupakan penggambaran perahu yang selalu membawa masyarakat Wakatobi ke pulau Seram di Kepulauan Maluku. Baris ke-2 merupakan ekspresi kondisi perahu yang mengantar mereka pada saat itu. Perahu ini menggantungkan tenaganya pada layar yang dipasang di tiang perahu (kokombu). Perahu yang disebut bangka pada waktu itu disebut perahu karoro. Kaбanti tersebut merefleksikan fungsi kaбanti sebagai rekaman sejarah migrasi masyarakat Wakatobi ke kepulauan Maluku yang telah terjadi dalam tempo waktu yang panjang (bdk.Rabani, 1997: 23).
Keempat, nyanyian rakyat sebagai protes sosial, yaitu memprotes ketidakadilan di dalam masyarakat. Dalam kaбanti, ekspresi tersebut dapat dilihat pada teks I bait ke-11 hingga bait ke-13 berikut.
11. E na бoha-бoha-nto salimbo
Pe.art. berat-I3ppos. sekampung
E te paira na nsababu-no
Pe.art. apa art. sebab-3spos.

Beratnya kita sekampung
Apa yang menjadi penyebabnya?

12. E sababu te mingku paira
Pe. sebab art. sikap apa
E ðimai-no kua iaku
Pe.datang-3spos. bagi saya

Sikap apa yang menjadi penyebabnya?
Yang datangnya dariku

13. E no-mingku toumpa namia?
Pe.3sR-sikap bagaimana orang?
E no-awane na ngkakoбea
Pe.3sR-dapatkan art. kebenaran

Bagaimana sikapnya orang?
Mereka mendapatkan kebenaran

Tiga bait di atas merupakan kaбanti yang diungkapkan situasi kehidupan masyarakat yang tidak lagi memperlihatkan persahabatan, tetapi sudah saling menyalahkan dan saling mencurigai. Kondisi ini diekspresikan dalam bait ke-11 baris pertama yang dilanjutkan dengan pertanyaan mengenai sebab terjadinya kondisi itu pada baris kedua. Akan tetapi, si aku lirik terlebih dahulu mempertanyakan kesalahan dirinya, yaitu pada bait ke-12. Setelah itu, si aku lirik menyalahkan orang lain.
Pada bait ke-13, si aku lirik kembali mempertanyakan sikap orang lain yang mendapatkan pujian atau kebenaran dari masyarakat. Tiga bait di atas merupakan salah satu protes yang sangat halus atas situasi di dalam masyarakat yang saling menyalahkan. Si aku lirik melakukan protes atas sikap masyarakat yang seperti itu.
Selain kaбanti berfungsi seperti yang dikemukakan oleh Djames Danandjaja di atas, fungsi kaбanti yang lain adalah untuk menghaluskan kata-kata bagi masyarakat Wakatobi. Orang-orang yang menguasai kaбanti akan mempunyai perbendaharaan kata yang halus. Mereka santun dalam berbicara karena mereka menggunakan metafora-metafora yang ada dalam syair-syair kaбanti. Dengan demikian, anak-anak yang ditidurkan dengan kaбanti sejak dini mereka akan diperdengarkan dengan bahasa-bahasa yang mempunyai nilai sastra yang tinggi.

C.Kaбanti sebagai Media Pembelajaran Sastra
Sejak dulu masyarakat Wakatobi mengenal kaбanti sebagai salah satu tradisi yang diturunkan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya (Udu, 2006: 5 ). Kehadiran kaбanti sebagai kesenian tradisional yang telah berabad-abad tentunya tidak terlepas dari model pembelajaran kaбanti dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Sebagai pengantar tidur, kaбanti menduduki posisi penting dalam pembelajaran sastra di dalam masyarakat Wakatobi. Melalui syair-syair kaбanti pengantar tidur, anak-anak Wakatobi telah diajari tentang sastra, tentang hidup dan kehidupan. Sejak usia dini anak-anak Wakatobi telah diajari sastra melalui teks-teks kaбanti sebagai pengantar tidur. Mereka terlelap dalam kelembutan syair kaбanti yang dilantunkan oleh ibunya. Lewat teks-teks kaбanti anak-anak Wakatobi telah mempelajari tentang berbagai konsep hidup yang ada dalam masyarakat dan budayanya.
Perkenalan mereka dengan sastra melalui teks-teks kaбanti tersebut, mengantarkan mereka untuk banyak memahami adat istiadat mereka, budaya mereka, pandangan hidup mereka, ideologi mereka, sejarah kehidupan masyarakat mereka dan sampai pada impian-impian mereka. Hal ini sesuai dengan pendapat Yektiningtyas (2008: 25) yang mengatakan bahwa folklor mempunyai fungsi sebagai sarana untuk mengungkapkan sesuatu kepada pendengar, secara sadar atau tidak sadar, bagaimana suatu masyarakat berpikir. Selain itu, folklor juga mengabadikan segala sesuatu yang dianggap penting oleh masyarakat pendukungnya. Folklor juga dapat digunakan sebagai protes sosial mengenai keadilan dan ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat atau bahkan negara.
Budaya masyarakat Wakatobi selama ini telah memposisikan perempuan dalam ketegangan. Di satu sisi, budaya Waktobi menghargai dan menghormati perempuan, tetapi di sisi lain, budaya Wakatobi banyak membelenggu perempuan, terutama untuk menduduki posisi-posisi tertentu dalam kehidupan bermasyarakat (Schoorl, 2003: 211). Pandangan budaya seperti ini akan mempengaruhi keberadaan perempuan, baik dalam kehidupan keluarga maupun dalam kehidupan sosialnya.
Oleh Karena itu, citra perempuan yang dikonstruksikan pada anak-anak melalui syair-syair kaбanti akan tergantung dari pengalaman ibunya sebagai peletak dasar kebudayaan. Cantor dan Bernay (1998: 314) mengatakan bahwa ibu berperan dalam reproduksi kepribadian seorang anak, hal ini disebabkan oleh adanya ikatan batin antara anak dan ibunya. Dengan demikian, pengetahuan ibu tentang budaya akan diekspresikan melalui syair-syair kaбanti pengantar tidur. Contoh pencitraan perempuan dalam syair-syair kaбanti yang dinyanyikan sebagai pengantar tidur adalah sebagai berikut.
E wa ina ku-biru wajo-mo
Pe PG. Ibu 1sR-hitam bajo-past.
E ke mawino keng-korangano
Pe KT. lautnya KT.kebunnya

ibu aku sudah hitam seperti Bajo
karena di laut dan di kebun

Pencitraan perempuan dalam bait kaбanti di atas merupakan pencitraan perempuan melalui indra penglihatan. Di samping itu, syair kaбanti di atas merupakan bentuk pencitraan perempuan yang berpotensi karena perempuan dapat bekerja di laut dan di kebun. Artinya, perempuan yang dicitrakan dalam kaбanti tersebut merupakan perempuan yang memiliki kemampuan untuk dapat bekerja di dalam maupun di luar rumah.
Selanjutnya, citra perempuan di dalam teks kaбanti diekspresikan dalam bentuk syair-syair berikut: /E wa ina kutuntualoðo/ ‘ibu, lebih baik saya jadi ‘burung’ tuntualo’ /E kuiðo nggala ngkemasu/ ‘karena saya lahir tanpa ayah’. Pencitraan perempuan dalam syair tersebut menunjukkan bahwa budaya masyarakat Wakatobi belum dapat menerima pembinaan keluarga yang hanya dilakukan oleh perempuan tanpa seorang laki-laki. Hal ini berdampak pada kehidupan perempuan, baik di dalam keluarga maupun di dalam kehidupan sosialnya. Adapun implikasi sosial dari pencitraan perempuan yang membesarkan anak-anaknya tanpa ayah telah mempengaruhi kehidupan psikologis anak. Misalnya, Ardin (10 tahun), seorang anak yang ditinggal oleh ayahnya ke Malaysia, mulai mengidentifikasi diri sebagai seorang anak yang hidup tanpa ayah. Karena sering mendengarkan syair tersebut menjelang tidur, suatu saat Ardin bertanya pada ibunya, “ina, teiyaku ana kutuntualomo da? ’ibu, saya ini sudah jadi tuntualo-kah?’. Pertanyaan anak tersebut menggambarkan bahwa pikirannya sejak kecil telah terkonstruksi oleh nyanyian ibunya .
Pencitraan perempuan, sebagaimana tersebut di atas akan mengkonstruksi pikiran anak tersebut dan akan mempengaruhi kehidupan mereka berikutnya. Hal ini sesuai dengan pandangan Fakih (2003: 10) yang mengatakan bahwa proses sosisalisasi budaya sudah dilakukan sejak bayi sehingga hal tersebut bukan saja berpengaruh pada perkembangan emosi, visi, dan ideologi kaum perempuan, melainkan juga mempengaruhi perkembangan fisik dan biologis selanjutnya. Proses sosioalisasi dan konstruksi sifat-sifat gender yang berlangsung secara turun-temurun dan mapan itu akhirnya sangat sulit untuk dibedakan. Dengan demikian, teks-teks kaбanti sebagai pengantar tidur anak-anak Wakatobi memiliki dampak yang luas dalam kehidupan anak-anak berikutnya.
Di sisi yang lain, kaбanti sebagai media pembelajaran sastra bagi anak-anak Wakatobi juga mengajarkan tentang bagaimana struktur dari kaбanti kepada anak-anak. Sadar atau tidak sadar proses penurunan kaбanti telah berlangsung lama dari satu generasi ke generasi, dan dimulai sejak pewarisnya masih berada pada waktu usia dini. Sehingga tanpa disadari struktur kaбanti sebagai salah satu sastra lisan masyarakat Wakatobi dapat diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya sebab kaбanti diperkenalkan sejak anak-anak Wakatobi belum memahami kehidupan yang lain. Inilah yang menjadikan kaбanti sebagai karya sastra yang paling diminati dalam masyarakat Wakatobi dari dulu sampai sekarang.
Di samping itu, kaбanti juga banyak mengajarkan nilai-nilai budaya dan moral kepada masyarakat pendukungnya. Sejak dini anak-anak Wakatobi telah diajarkan pola hubungan anak laki-laki dan perempuan, misalnya / e ara topada mobasamo/ ‘kalau kita sudah sama-sama besar’ /e mou tetuhanto tomeri/ ‘walaupun saudara kita harus hati-hati’. Dengan demikian, pembelajaran budaya dan moral dalam masyarakat Wakatobi telah ditorehkan pada anak-anak sejak mereka masih dalam usia dini.
Oleh karena itu, sebagai sarana pembelajaran budaya dan moral dalam masyarakat Wakatobi, kaбanti merupakan salah satu bentuk strategi pembelajaran sastra, budaya dan moral di masa depan. Perkembangan teknologi telah membawa dampak dalam berbagai bidang kehidupan manusia, termasuk dalam bidang sastra. Salah satu dampak teknologi tersebut adalah lahirlah kecenderungan untuk malas membaca. Masyarakat lebih cenderung untuk mendengarkan atau menonton suatu berita. Demikian juga dengan dunia sastra, masyarakat lebih cenderung untuk nonton filem dari pada membaca sebuah novel.
Dengan demikian, kaбanti sebagai salah satu media pembelajaran sastra pada anak usia dini di dalam masyarakat Wakatobi merupakan satu konsep pembelajaran sastra yang dapat melahirkan rasa cinta kepada sastra dan budaya bagi masyarakat pendukungnya. Karena lewat kaбanti pembejalaran sastra dapat dimulai pada anak usia dini. Bahkan kalau kita menengok jauh ke belakang, kaбanti juga dijadikan sebagai salh satu model pembelajaran Islam di daerah Kesultanan Buton. Banyak ajaran agama dan budaya ditulis dan disampaikan dalam bentuk kaбanti.
Sementara kalau kita melihat konsep pembelajaran sastra pada pendidikan modern, sastra dimulai setelah kelas tinggi di sekolah dasar, sehingga minat orang untuk belajar sastra merupakan prioritas kesekian. Sastra masih membutuhkan strategi pembelajaran sastra yang dapat membumikan sastra sehingga sastra masuk ke dalam berbagai kehidupan manusia sebagai mana kaбanti bagi masyarakat pendukungnya.

D.Penutup
Sebagai media pembelajaran sastra pada anak usia dini, kaбanti memiliki peran dalam rangka mensosialiasikan mengenai budaya dan moral dalam masyarakat Wakatobi dan Buton pada umumnya. Banyaknya orang-orang melakukan sinyalemen akan rendahnya mutu pembelajaran sastra di sekolah dan lemahnya ideologisasi pada masalah-masalah kebangsaan dan bernegara kita, tentunya harus dirancang suatu metode pembalajaran sastra pada anak usia dini, misalnya bagaimana model pembelajaran sastra pada anak-anak kelompok bermain, TK, PAUD, sehingga sejak usia dini anak-anak telah diajarkan mengenai sistem nilai masyarakat maupun nilai-nilai yang dibutuhkan dalam rangka membangun keindonesiaan dan kenegaraan kita.

E.Daftar Pustaka
Cantor. Dorothy W., dan Bernay, Toni. 1998. Women in Power: Kiprah Wanita dalam Dunia Politik. Diterjemahkan oleh J. Dwi Helly Purnomo (editor). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Danadjaja, James. 2002. Ilmu Gosip, Dongeng dan lain-lain. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Danandjaja, James. 1994. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta: Grafiti
Fakih, Mansour. 2003. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta: Insist Prees bekerja sama dengan Pustaka Pelajar.
Finengan, Ruth. 1877. Oral Poetry: its Nature, Significance and Social Context. Bloomington: Indiana University Prees
La Niampe, 1998. Kabanti Bula Malino : Kajian Filologis Sastra Wolio Klasik. Bandung : Universitas Padjadjaran: Tesis Program Pascasarjana.
La Ode Nsaha, Tamburaka dan Asis. 1978/1979. Aneka Budaya Sulawesi Tenggara. Kendari: Proyek Penggalian Nilai-Nalai Budaya Sulawesi Tenggara.
Lord, Albert B. 1981. The Singer of Tales. Cambridge, Massachusetts London, England: Harvard University Press.
Rabani, La Ode. 1997. Migrasi dan Perkembangan Sosial Ekonomi Masyarakat Kepulauan Tukang Besi Kabupaten Buton 1961-1987. Yogyakarta: Skripsi Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada.
Rahman, Nurhayati dan Adiwimarta, Sri Sukesi. 1999. Antologi Sastra Daerah Indonesia: Cerita Rakyat Suara Rakyat. Jakarta: Masyarakat Pernaskahan Indonesia – Yayasan Obor Indonesia.
Schoorl, Pim.2003. Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton. Jakarta: Djambatan, KITLV.
Udu, Sumiman. 2006. Citra Perempuan dalam Kaбanti: Tinjauan Sosiofeminis. Yogyakarta: FIB UGM
Yektiningtyas, Wigati. 2008. Helaehili dan Ehabla: Fungsinya dan Peran Perempuan dalam Masyarakat Sentani Papua. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.

Kamis, 13 Agustus 2009

Tradisi Lisan, Antara Nasionalisme Kebutonan dan Disintegrasi Keindonesiaan

http://www.ziddu.com/download/6030280/anasionalismekebutonandandisintegrasikeindonesiaan.rtf