Jumat, 19 Oktober 2012
ERA PURBA VS MODERN KAJIAN NILAI DAN IDEOLOGI KESEIMBANGAN KEKUASAAN MOMENTUM SUKSESI BAUBAU-SULTRA 2012
Oleh: Bia Wakatobi
Sebentar lagi perhelatan pemilukada di BauBau dan Sulawesi Tenggara akan digelar. Momentum ini tentu memberi isyarat harap-harap cemas antara terwujudnya pemimpin yang diharapkan berhadapan dengan resiko stagnan nya harapan akselerasi pembangunan dikedua daerah ini.
Berikut ini, sebagai putra daerah yang tumbuh besar di negeri orang (Samarinda, Red) merasa berkepentingan untuk menurunkan analisis sisi suksesi (pergantian kepemimpinan) dengan harapan menjadi pencerdas terhadap masyarakat pembaca akan wujud harapan kemakmuran dan kesejahteraan yang menjadi buah peran pemimpin terpilih hasil pemilukada kedua daerah berpengaruh di Sulawesi Tenggara tersebut.
Dalam sadar dan tidak sadar, nilai telah menjadi keyakinan dan penuntun diri manusia dan menganyam perkembangan masyarakat. Manusia dan masyarakat dalam setiap tahap perkembangan membutuhkan ideologi sebagai pandangan hidup. Dalam arti nilai-nilai menjadi keyakinan hati manusia dan nurani masyarakat, sedangkan ideologi sebagai pandangan hidup yang membingkai manusia dan masyarakat dalam setiap gerak dan langkah hidup dan kehidupan.
Seorang anak manusia yang tidak mempunyai kesadaran keyakinan nilai dan pandangan hidup, tentu hanya berteori dan hanya bekata-kata dalam berkonsep. Manusia demikian tidak lebih sebagai robot, hanya sekedar berkata-kata tanpa pijakan nilai dan ideologi. Manusia serba praktis-pragmatis dan di saat tertentu penuh kesepian dan kehampaan.
Manusia yang tidak menunaikan kewajiban tetapi tidak malu menggunakan hak-nya. Manusia ujung-ujung duit (UUD), mempawaikan kekuasaan dan memamerkan kepentingan yang tidak senonoh.
Nilai bermakna sesuatu yang berharga, tumbuh berkembang dalam hati manusia dan nurani masyarakat. Dikatakan nilai apabila diyakini dalam berproses untuk menjadi, membentuk hati nurani dan menganyam pola berpikir serta berwujud nyata dalam tingkah laku manusia yang membangun kehidupan bermasyarakat sehari-hari.
Pembentukan pola pikir dalam bingkai pandangan hidup manusia yang bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di sebut ideologi. Melalui ideologi, manusia mengolah pikiran dalam model teori untuk mempengaruhi pikiran orang lain dalam menganyam kehidupan bermasyarakat.
Penyederhanaan teori dalam rumusan konsep yang dilaksanakan demi membangun hidup dan kehidupan bersama yang lebih baik. Dengan demikian diperlukan kecerdasan intelektual untuk memahami ilmu pengetahuan yang mempunyai roh nilai dan berjiwakan ideologi, bertubuh teori yang beranggota tubuh konsep dalam membangun hidup dan kehidupan.
Secara hakiki nilai bertumbuh, berkembang dan membentuk kepribadian seorang manusia. Proses berkembang nilai dalam diri manusia sangat ditentukan oleh lingkungan masyarakat yang membentuknya sebagai makhluk sosial (zoon politicon). Sesungguhnya dalam diri seseorang telah dikaruniai secara kodrati nilai sebagai manusia (nilai kemanusiaan), membedakannya dengan makhluk hidup lain.
Keluarga menjadi faktor internal penentu walaupun faktor utama tetap dalam diri manusia itu sendiri. Kemudian lingkungan masyarakat yang luas dan kompleks sebagai faktor eksternal (nilai sosial). Nilai kemanusiaan dalam diri seseorang terukur dalam proses tumbuh dan berkembang anak manusia itu dengan sesama dalam keluarga dan lingkungan sosialnya.
Manusia dalam keluarga dan lingkungan masyarakat purba (abad-VI SM), nilai kemanusiaan yang tumbuh dan berkembang sangat individual. Ditandai dengan kekuatan dan kekerasan yang ditonjolkan, homo homini lupus, manusia menjadi srigala dari manusia lain. Masyarakat purba mempunyai hukum “siapa yang kuat memangsa yang lemah” (hukum rimba/hukum alam).
Dalam perkembangan semakin bertambah populasi, manusia tidak dapat mengelak dari kebutuhan akan sebuah aturan hukum hidup bersama yang lebih beradab. Keperluan aturan hukum untuk meminimalisir pengutamaan kekuatan dan peragaan kekerasan sosial oleh para penguasa purba. Era tradisional menjemput manusia dan masyarakat kepurbaan dalam semboyan ubi societas ibi ius, “di mana ada masyarakat di situ ada hukum” (hukum masyarakat), dikenal dengan masyarakat tradisional (abad ke IV SM – V M).
Kehidupan manusia dalam masyarakat purba, mempertahankan nilai kemanusiaannya melalui jalan kekerasan, menandakan pengutamaan ketahanan dan kepentingan individu serta kelompok. Sedangkan kehidupan manusia dalam masyarakat tradisional, yang diutamakan ketertiban bersama dan kepentingan umum.
Dalam tahap perkembangan manusia dan masyarakat dari zaman purba yang mengutamakan nilai kemanusiaan individual (nilai individu) bergeser ke tahap perkembangan manusia dan masyarakat tradisionnal yang mengutamakan nilai kemanusiaan bersama (nilai komunal), mengisyaratkan manusia mulai menyadari kepentingan bersama (public) sebagai makhluk sosial di samping kepentingan diri dan kelompok (ego) sebagai makhluk individu.
Tarik menarik kepentingan diri (ego) dan kepentingan umum (public) dalam diri seseorang, menandai tahap bertumbuh, berproses nilai tradisional dalam hati dan keyakinan seorang anak manusia. Konflik nilai purba versus nilai tradisional dalam diri manusia dan perkembangan masyarakat, memungkinkan tampilnya nilai religius (religio ego sun) menganyam masyarakat abad pertengahan (abad V – abad XV).
Nilai religius menawarkan keselamatan hidup akhirat bagi umat manusia yang selalu mengejar keselamatan duniawi dalam konflik kepentingan diri versus kepentingan sosial. Tawaran keselamatan hidup akhirat di era mulai berpengaruhnya agama, membantu tahap perkembangan masyarakat dalam anyaman nilai modern yang ditandai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (abad XVII – abad XIX).
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi menandai munculnya manusia dan masyarakat rasional (moderen) sebagai lawan manusia dan masyarakat purba, tradisional yang irasional. Baik manusia purba dan manusia tradisonal beserta masyarakat yang dihasilkan ditandai dengan keirasionalan yang lebih menguasai pola pikir dan pola kehidupan mereka.
Dalam arti bahwa pola pikir purba dan tradisional, juga pola pikir religius dan modern tentu tetap mewarnai kehidupan manusia dan masyarakat dalam perkembangan sampai kini dan akan datang. Namun yang paling berpengaruh tentu sesuai situasi dan kondisi tertentu saat itu, sekarang, dan akan datang yang menunjukan nilai-nilai dan tahapan masyarakat mana yang lebih dominan.
Dengan demikian dalam proses perkembangan diri seorang anak manusia dan masyarakat, tidak terhindarkan saling berpengaruh nilai-nilai (purba, tradisional, religius, modern) dengan karakter dan cirinya masing-masing.Dalam perkembangan nilai religius yang memediasi konflik nilai purba versus nilai tradisional, melahirkan nilai modern dengan masyarakat modern dalam semboyan corgito ego sun, “saya berpikir maka saya ada”. Pencermatan nilai modern dengan masyarakat modern menganyam ideologi sosialis versus ideologi kapitalis.
Tercermati bahwa Ideologi sosialis sebagai pola pikir menganyam kelanjutan masyarakat tradisional yang rasional, sedangkan ideologi kapitalis sebagai pola pikir mereinkarnasi masyarakat purba yang rasional di era kekinian.Dalam arti bahwa feodalisme yang menjadi watak kekuasaan dan ciri masyarakat tradisional, terformat kembali dalam manusia dan masyarakat modern sosialis. Sedangkan andalan kekuatan dan kekerasan yang menjadi watak kekuasaan dan ciri masyarakat purba tereinkarnasi dalam manusia dan masyarakat moderen kapitalis.
Nilai dan ideologi membelenggu, memperbudak atau memerdekakan, memanusiakan? Merupakan sebuah pertanyaan menggelitik kebatinan, kerohanian seorang anak manusia demi mengoreksi dan mengevaluasi suatu perkembangan diri. Perkembangan diri yang berkorelasi erat dengan perkembangan masyarakat sebagai buah pikiran dan karya, terutama ditujukan kepada manusia para pemimpin.
Manusia para pemimpin yang dipercayakan Rakyat dan Umat untuk memimpin di berbagai lini kekuasaan demi membawa perubahan kehidupan masyarakat ke arah yang lebih baik dari hari kemarin. Apalagi manusia para pemimpin yang tidak dalam kesadaran merajut keyakinan nilai dan menganyam ideologi dalam hidup dan kehidupannya secara cermat dan cerdas. Bahkan kurang meyakini nilai dan minus pemahaman ideologi dalam merajut perubahan sosial yang lebih baik.
Tentu berdampak dunia para pemimpin serba praktis pragmatis, tidak kaya nilai dan miskin makna. Dunia para pemimpin terjebak dalam nilai dan ideologi yang membelenggu kepentingan diri, kelompok dan golongan. Menerapkan kekuasaan beraroma feodal, hanya mengatasnamakan Rakyat, Umat dan demi Kepentingan Umum sekedar formalitas dan sebatas program dan anggaran.
Namun selesai jangka waktu program dan habis anggaran, serta berakhir periode kepemimpinan, sering Rakyat, Umat yang menderita, miskin, rawan pangan, gizi buruk, buta huruf, kering rohani, tidak mengalami perubahan kehidupan yang lebih baik.
Para pemimpin sering tidak memperbaharui hidup secara maksimal dan berkacamata kuda dalam penghayatan nilai-nilai. Kualitas dunia para pemimpin yang tidak reformatif, sebagai dampak kurang cermat memahami ideologi, berujung ketidak-konsistenan berpikir dan bersikap.
Ketidak-konsistenan dalam mewujudkan hal-hal yang pernah dikumandangkan melalui janji-janji kampanye dan khotbah melalui mimbar kepada masyarakat. Kondisi demikian sesungguhnya menandakan sedang terjadi krisis nilai dan ideologi dalam dunia para pemimpin. Perlu kesadaran bahwa sesungguhnya semangat kehidupan purba dan spirit kekuasaan tradisional secara aktual sedang terjadi, dipraktekan dalam dunia para pemimpin di era sekarang.
Melalui kekuasaan yang diberikan rakyat dan umat, dunia para pemimpin mempraktekan kekuasaan yang menggejalakan pengutamaan kepentingan diri dan kelompok, menyederhanakan setiap pemecahan masalah sosial dengan anggaran (uang), kemudian tidak efisien dan efektif penggunaan untuk kepentingan Rakyat dan Umat. Karena dari lima agenda Reformasi 1998 (Amandemen UUD 1945, Hapus Dwi Fungsi ABRI, Percepat Pemilu, Pemerataan Pembangunan ke Daerah, Berantas Korupsi), hanya agenda pemeberantasan korupsi yang secara telanjang menampakan kegagalan pemerintah dari satu regim ke regim yang lain telah gagal untuk memberantas.
Feodalisme kekuasaan yang mengatasnamakan rakyat dan memanipulasi keberadaan umat dengan anggaran, kenyataan lebih banyak diperuntukan jalan-jalan para pemimpin dengan dayang-dayang birokrasi, para pengawal politik, serta para utusan/mediator para penguasa dan pengusaha, serta kroni-kroni dari ibukota Negara sampai ke kabupaten/kota di seluruh Indonesia dan secara khusus pula sulit terelakkan untuk Sulawesi Tenggara.
Pawai kekuasaan yang tidak populis mencitrakan penikmatan status sosial yang diemban, menjadikan kepemimpinan kurang efisien dan efektif, terjadi hampir di setiap daerah Kabupaten/Kota dan Propinsi di seluruh Indonesia. Kemudian dikumandangkan dalam pawai pemberitaan mengenai kerinduan dan romantisme kekangenan Rakyat dan Umat dalam setiap menjemput dan menerima para pemimpin yang jalan-jalan ke daerah dan desa-desa serta kelurahan.
Terluput dari pawai pemberitaan antara lain tentang bagaimana masyarakat di daerah dan desa-desa,kelurahan kesulitan memasarkan hasil pertanian, karena jalan raya rusak atau tidak ada jalan yang menghubungkan daerah basis pertanian dengan kediaman rakyat dan umat. Pada hal sesungguhnya hasil pertanian menjadi tulang punggung kehidupan masyarakat, terutama juga untuk membiayai masa depan pendidikan anak-anak. Sekaligus dari hasil pertanian rakyat itu, dapat terantisipasi krisis pangan yang menggelobal bagi Indonesia.
Dalam diri para pemimpin melekat hakekat kemanusiaan sebagai makhluk individu dan sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk individu sering menampilkan dunia para pemimpin yang mengutamakan kepentingan diri, kelompok, golongan berdampak merugikan kepentingan sosial.
Sedangkan sebagai makhluk sosial mewarnai dunia para pemimpin mengutamakan kepentingan sosial dengan mengorbankan kepentingan diri dan keluarga, kelompok dan golongan. Walaupun realitas sosial menampilkan dunia para pemimpin lebih diliputi spirit keyakinan nilai purba berselimut nilai modern dengan baju ideologi kapitalis.
Tertampilkan kepentingan diri dan kelompok yang diutamakan, menyederhanakan pemecahan masalah dengan anggaran (uang), tanpa melalui kajian mendalam. Mudah ditebak bahwa terjadi kebocoran anggaran dan KKN tetap terus menggurita.
Namun masyarakat sudah paham bahwa hukum senantiasa belum mampu membantu clean government, karena terjebak dalam pola penegakan tebang pilih yang lebih mengutamakan Kepastian Hukum dengan mengabaikan Kegunaan Hukum. Apalagi wilayah-wilayah kekuasaan yang tidak dapat terjangkau dengan jaring-jaring hukum, bertumbuh subur praktek-praktek kekuasaan yang korup, praktek politik balas budi.
Secara rasional tentu dunia para pemimpin tidak mungkin mengorbankan kepentingan kelompok, apalagi kepentingan diri untuk lebih mengutamakan kepentingan umum. Namun dalam berbangsa dan bernegara telah dikumandangkan jimat “kepentingan umum diletakan di atas kepentingan pribadi dan golongan”.
Jimat yang mengisyaratkan dunia para pemimpin dipenuhi roh tradisional berselimut nilai moderen dengan anyaman ideologi sosialis. Permasalahan bermasyarakat, berbangsa dan berNegara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam berideologi mulai muncul. Apakah bangsa Indonesia yang diproklamasikan oleh Soekarno-Hatta tanggal 17 Agustus 1945 atas nama Bangsa Indonesia, berideolgi Sosialis atau berideologi Pancasila atau berideologi Kapitalis? Tentu jawabannya Ideologi Pancasila, yang dapat dipahami secara de yure sedangkan de facto belum tentu.
Dalam pelaksanaan pembangunan muncul konsep pembangunan manusia seutuhnya sebagai bentuk pengamalan terhadap Pancasila yang dikedepankan oleh T.B Simatupang. Konsep demikian menghendaki dalam dunia para pemimpin harus mampu untuk menyeimbangkan kepentingan individu, kelompok dengan kepentingan umum dalam pelaksanaan pembangunan.
Dalam arti antara kepentingan diri dan kelompok para pemimpin dengan kepentingan umum harus diseimbangkan. Apabila para pemimpin mampu menyeimbangkan, tentu terimplementasikan kepemimpinan yang bijaksana, kepemimpinan beridelogi Pancasila yang menyeimbangkan ideologi Kapitalis dengan ideologi Sosialis. Penerapan kepemimpinan manusia setengah dewa. Karena kalau kepemimpinan terjerembab dalam pengutamaan kekuasaan untuk kepentingan diri, keluarga, kelompok dan golongan, maka tentu lebih menghidupkan suasana setan kapitalisme. Begitupun kepemimpinan yang mengutamakan kepentingan umum dengan mengabaikan kepentingan golongan dan kelompok, bahkan mengorbankan kepentingan diri dan keluarga, maka tentu lebih menghidupkan suasana iblis sosialisme. Di titik keseimbangan, menserasi-selaraskan kapitalisme dengan sosialisme, dapat ditemukan, terjadi pencapaian keadaan kehidupan kemanusiaan Pancasila.
Dengan demikian mungkin tidak akan pernah terjadi polemik yang tidak berkesimpulan: di kalangan elite politik tentang paham ekonomi kerakyatan dengan ekonomi neo liberal, di kalangan elite hukum tentang penenegakan kepastian hukum dengan kegunaan hukum, di dunia demokrasi tentang demokrasi procedural dengan demokrasi substantive, di dunia media-pers tentang informasi kapitalistik dengan informasi sosialistik, di dunia kampus tentang kajian kuantitatif dengan kualitatif.
Pancasila sebagai sebuah ideolgi dengan Lima Sila (KeTuhanan, KeManusiaan, Persatuan, Demokrasi, Keadilan Sosial) muncul di paruh abad 20, tercermati mengandung Nilai Lama (Purba, Tradisional) dan Nilai Baru ( Religius, Moderen). Dengan demikian Pancasila sebagai sebuah ideologi memediasi nilai moderen kapitalis (reinkarnasi nilai purba) dengan nilai moderen sosialis (sublimasi nilai tradisional). Peran keseimbangan demikian tercermati diperankan oleh agama Kristen (Nilai Religius) menengahi nilai Purba dengan nilai Tradisional dalam kehidupan masyarakat abad Pertengahan.
Tampil nilai Religius menawarkan keselamatan akhirat bagi masyarakat Barat di abad Pertengahan, yakni menyeimbangkan kepentingan individu dengan kepentingan sosial, membuka jalan Nilai Modern.
Dalam cermatan jalan Nilai Modern mengiris masyarakat Islam Muhamadyah yang cendrung Kapitalis, penganut kristen yang kapitalis dengan masyarakat Islam Nahdatul Ulama yang cendrung Sosialis. Sedangkan penganut agama lain tercermati sebagai agama tradisi yang hierarkis (Hindu), dengan yang populis (Budha) dan berbagai kepercayaan lama yang mengadaptasi dengan Zaman Modern.
Dalam keterjebakan belenggu Nilai Purba versus Nilai Tradisional, belenggu Ideologi Kapitalis versus Ideologi Sosialis, maka Indonesia tampil Pancasila sebagai Ideologi Tengah. Ideologi yang merekat Kebhinekaan menjadi Tunggal Ika: yakni kebhinekaan agama, suku, keyakinan, daerah dapat bersatu dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Menandakan manusia dan masyarakat Indonesia sebagai Dunia Mini. Tercermati, Ideologi Tengah (Pancasila) sebagai jalan keseimbangan substansi Nilai Lama dan Nilai Baru, mendamaikan Ideologi Kapitalis dan Ideologi Sosialis. Kini tantangan bagi kualitas diri para pemimpin, mampukah mengimplementasikan Nilai dan Ideologi Pancasila untuk memerdekakan Rakyat dan Masyarakat: dari belenggu Kapitalis dan Neo Liberal, dari belenggu Sosialis dan Neo Komunis?
Artinya dunia para pemimpin tidak boleh memelihara pengutamaan kepentingan diri, kelompok, golongan dan tidak boleh menggunakan kekuasaan secara feodal mengatas-namakan Rakyat dan memanipulasi keberadaan Umat dengan menghalalkan cara. Rakyat dan Umat tidak boleh digunakan lagi sebagai selimut untuk kepentingan diri, kelompok, golongan yang berkuasa.
Dunia para Pemimpin harus bersih dari KKN. Penegakan hukum tidak boleh hanya mengutamakan aspek prosedural (Kepastian Hukum) atau hanya menekankan substansi hukum (Kegunaan Hukum). Melainkan harus menyeimbangkan Kepastian Hukum dengan Kegunaan Hukum demi mencapai Keadilan Hukum.
Berpolitik perlu keseimbangan Demokrasi Prosedural dengan Demokrasi Substantive menuju Keadilan Demokrasi. Praktek Ekonomi Kapitalis diseimbangkan dengan Ekonomi Sosialis, menuju Ekonomi Pancasila. Kehidupan Media Pers sebagai penyalur Informasi, harus menyeimbangkan Informasi Kapitalis dengan Informasi Kerakyatan (Sosialis), sehingga ada balance antara kepentingan Penguasa dengan Rakyat, antara Dunia Usaha dengan Konsumen, antara Pencari Keadilan dan Penegak Keadilan.
Di titik keseimbangan itu mengisyaratkan dunia para pemimpin adalah dunia orang-orang bijak, yang mampu menyeimbangkan dalam setiap upaya serasi-selaraskan kepentingan diri, kelompok, golongan dengan kepentingan umum. Dunia para pemimpin yang sadar menjalankan kewajiban secara baik untuk dapat menerima apa yang benar-benar menjadi hak-nya.
Patut menjadi perenungan para pemimpin: Apakah mau terus terjebak, tetap teranyam dalam Nilai dan Ideologi yang membelenggu? Atau mau mereformasi diri dalam Nilai dan Ideologi yang memerdekakan, memanusiakan? Ideologi yang menserasi-selaraskan Kapitalisme dengan Sosialisme. Ideologi Pancasila telah memerdekakan Bangsa Indonesia, menawarkan kehidupan masyarakat Postmoderen (abad XX —) yang penuh kemanusiaan. Dalam penghormatan hak asasi manusia, gender, pemeliharaan dan pelestarian lingkungan hidup yang telah menjadi isu dunia (gelobal).
Masyarakat yang penuh keseimbangan antar nilai dan keserasi-selarasan antar ideologi di samping memerlukan dekonstruksi untuk rekonstruksi sesuai perubahan sosial yang kontekstual. Karena itu manusia dan masyarakat kemodern-moderenan memang tidak modern, juga ketradisionalan memang tidak modern, apalagi mengabaikan aspek religius (agama). Begitupun cahaya kereligiusan tetap mengakar ke tradisi dengan terang modern, sehingga aspek religius dapat menjadi keyakinan dan harapan (optimisme) manusia dan masyarakat dalam kegelapan tradisi dan kegulitaan modern. Akhirnya, saya ucapkan selamat berpesta demokrasi untuk kota BauBau dan Provinsi Sulawesi Tenggara dalam momentum suksesi tahun 2012 semoga hasil pemilukada membuahkan para pemimpin yang di dambakan.
Langganan:
Postingan (Atom)