Sabtu, 29 Agustus 2009

KAБANTI SEBAGAI MEDIA PEMBELAJARAN SASTRA PADA USIA DINI

Oleh:
Sumiman Udu
A.Pendahuluan
Sebagai bentuk kesenian rakyat, kaбanti merupakan salah satu bentuk folklor masyarakat Wakatobi yang tergolong dalam folklor lisan. Hal ini sesuai dengan pendapat Brunvand (dalam Danandjaja, 2002: 21-22) yang mengatakan bahwa folklore lisan adalah yang bentuknya murni lisan, contohnya adalah puisi rakyat. Finnengan (1977) mengatakan bahwa puisi lisan disusun oleh sekelompok orang yang tidak dapat membaca dan menulis. Menurut Vansinna (1965), Finnengan (1977), Lord (1981), dan Danandjaja (2002), puisi lisan terikat oleh syarat-syarat tertentu, yaitu (1) kalimat yang tidak bebas (free phrase), melainkan terikat (fixed phrase); (2) baik bentuk maupun isinya mempunyai nilai estetik; (3) terikat struktur kebahasaan lain seperti rima, metrum, stilistik, dan repetisi. Finnengan juga menambahkan bahwa puisi lisan dihubungkan dengan bahasa tinggi (bukan bahasa sehari-hari), ekspresi metaforis, dilagukan atau diiringi alat musik, menggunakan pengulangan yang terstruktur, prosodic features (metrum, aliterasi), paralelisme.
Sebagai salah satu bentuk folklor, kaбanti diwariskan secara turun-tumurun, tidak diketahui secara pasti kapan kaбanti lahir dan berkembang di dalam masyarakat pendukungnya. Menurut La Niampe (1998: 5), kaбanti yang tergolong karya yang banyak jumlahnya dan populer di kalangan pendukungnya tersebut telah lama dikenal oleh masyarakat Buton sejak zaman pra-Islam. Penyebaran kaбanti yang sudah berlangsung sejak lama tersebut meliputi seluruh barata yang ada di Kesultanan Buton, mulai dari Barata Muna dan Barata Tiworo di barat sampai dengan Barata Kulisusu di utara dan Barata Kaedupa di timur Pulau Buton.
Barata Kaedupa—yang dijadikan sebagai lokasi penelitian ini dan sekarang telah dimekarkan menjadi Kabupaten Wakatobi—merupakan salah satu daerah persebaran kaбanti dalam bahasa Kepulauan Tukang Besi. Masyarakat di daerah ini mengenal kaбanti sebagai nyanyian rakyat yang paling disukai. Hampir seluruh aktivitas kesenian masyarakat melibatkan kaбanti sebagai bagian dari pementasannya. Beberapa tarian yang melibatkan kaбanti dalam komposisinya adalah tarian pajogi , tarian lariangi , drama tradisional kenta-kenta , dan beberapa kesenian lainnya. Di samping itu, aktivitas masyarakat yang melibatkan kaбanti sebagai bagian dari kegiatan itu adalah menidurkan anak, tradisi ritual adat (pakande-kandea), acara mangania kabuenga , dan mangania nu uwe serta pengobatan tradisional (lagu lemba).
Aktivitas lain yang melibatkan kaбanti adalah pada saat bekerja. Sebagai nyanyian kerja, kaбanti dinyanyikan di tempat kerja. Irama, kata-kata, atau frase dalam kaбanti sebagai nyanyian kerja mempunyai irama dan kata-kata yang bersifat menggugah semangat sehingga dapat menimbulkan rasa bergairah untuk bekerja. Dalam konteks ini, kaбanti biasanya dinyanyikan pada saat bekerja di kebun (oleh petani), mendayung sampan (oleh nelayan), dan bekerja di bangunan (oleh buruh bangunan).
Sebagai pengantar tidur, kaбanti mempunyai irama yang halus dan tenang, berulang-ulang, sehingga dapat membangkitkan rasa santai, damai, dan akhirnya rasa kantuk bagi bayi atau anak yang mendengarnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Danandjaja (1994: 146) bahwa nyanyian sebagai pengantar tidur mempunyai lagu dan irama yang halus, tenang, dan berulang-ulang sehingga dapat membangkitkan rasa santai, sejahtera, dan akhirnya rasa kantuk bagi anak yang mendengarnya.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka kaбanti merupakan salah satu media pembelajaran sastra yang potensial yang dilakukan pada anak usia dini. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk menganalisis tentang dampak kaбanti terhadap pembentukan mental dan kepribadian anak sejak usia dini. Dimana kaбanti sebagai salah satu ragam sastra berperan sebagai media pembelajaran budaya yang dilakukan sejak usia dini. Cantor dan Bernay (1998: 314) mengatakan bahwa ibu berperan dalam reproduksi kepribadian seorang anak, hal ini disebabkan oleh adanya ikatan batin antara anak dan ibunya. Dengan demikian, kaбanti merupakan media pembelajaran sastra pada anak usia dini yang diharapkan dapat memupuk rasa kecintaan pada sastra serta menjadi media transformasi nilai-nilai budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sosio-etnografi, yaitu suatu bentuk pendekatan yang melihat hubungan sosial masyarakat berdasarkan sudut pandang masyarakat setempat. Dengan demikian, pendekatan ini dapat melihat dampak kaбanti sebagai media pembelajaran sastra di usia dini, yakni lahirnya anak-anak yang cinta sastra dan budayanya serta memiliki identitas lokal yang kuat.

B.Fungsi Kaбanti dalam Masyarakat Wakatobi
Sebelum membicarakan dampak kaбanti pada anak-anak Wakatobi, ada baiknya kalau kita membicarakan fungsi kaбanti dalam masyarakat Wakatobi. Sebagaimana karya sastra yang lain, kaбanti mempunyai dua fungsi utama yaitu sebagai hiburan dan bermanfaat. Adapun dalam fungsinya sebagai karya sastra yang berguna, sebagaimana yang dikemukakan Horace, kaбanti dapat menjadi alat untuk menyampaikan nasihat keagamaan. Selain itu, juga dapat berfungsi sebagai ingatan kolektif masyarakat tentang suatu peristiwa, misalnya ingatan kolektif mengenai batas wilayah Wanci dan Mandati, seperti tampak pada syair kaбanti berikut.
E te wanse-mo te mandati-mo
Pe.art.wanse-EMPH art. Mandati-EMPH
E ði Endapo nang kaselapa
Pe.di Endapo art. batas wilayah

Baik (orang) Wanse maupun (orang) Mandati
Di Endapo batas wilayahnya

Syair kaбanti di atas, merupakan salah satu syair yang dikutip oleh H. La Morunga (45 tahun) saat membicarakan tentang perselisihan batas wilayah. Dengan mengacu pada isi kaбanti di atas, maka penentuan batas wilayah Kecamatan Wangi-Wangi dan Wangi-Wangi Selatan ketika dimekarkan pada tahun 2003 ditetapkan di atas air Endapo.
Dalam kaitan dengan penggunaannya sebagai pengantar tidur, kaбanti berfungsi sebagai sarana pendidikan bagi anak-anak dengan bahasa-bahasa yang bernilai tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat La Ode Nsaha (1978: 235) yang mengemukakan bahwa kaбanti merupakan kumpulan kata-kata mutiara yang menyentuh sampai di hati dalam setiap kesempatan. Lewat syair-syair kaбanti yang mengandung bahasa metafor tersebut seorang anak dapat memiliki perasaan yang lembut. Hal yang sama juga dikatakan oleh Hamiruddin Udu (2006: 175) bahwa kaбanti banyak mengandung metafor. Sehingga tidak heran kalau masyarakat Wakatobi banyak menggunakan metafor dalam kehidupannya.
Salah satu fungsi sastra dalam masyarakat adalah sebagai penghalus budi, penghalus rasa. Untuk itu, Nurhayati Rahman (1999: viii) mengatakan bahwa salah satu cara untuk mengasah kepekaan rasa dan hati nurani adalah melalui penciptaan, pembacaan, dan penghayatan karya sastra. Dalam kasus kaбanti sebagai nyanyian rakyat masyarakat Wakatobi, syair-syair kaбanti dapat menjadi sarana penghalus budi dan hati nurani masyarakat Wakatobi. Sejak dini kaбanti telah diperdengarkan sebagai pengantar tidur saat anak-anak Wakatobi. Mereka mulai menangkap kebudayaannya. Contoh syair kaбanti yang dapat menghaluskan rasa dan budi tersebut terlihat dalam teks I bait ke- 53 dan ke-54 berikut.

53. E ara no-sangga-ko te mia
Pe.kalau 2sR-cemburu –2sRpos art. orang
E hoto’imani mpuu kita
Pe.beriman sungguh kita

Kalau kamu dicemburui orang
Berimanlah sunguh-sungguh

54. E te imani-’a ngku-imani
Pe.art.beriman-past. 1sR-beriman
E ðahani na tumpu balaa
Pe.tahu art. datang bala

Kalau beriman aku beriman
Tidak tahu kalau dengan datangnya bala

Kaбanti sebagai pengantar tidur juga berfungsi sebagai sarana transfer budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Hal ini sesuai dengan empat fungsi nyanyian rakyat, seperti yang dikemukakan Danandjaja (1994: 152-153).
Pertama, nyanyian rakyat berfungsi untuk (1) merenggut kita dari kebosanan hidup sehari-hari walaupun untuk sementara waktu, (2) menghibur diri dari kesukaran hidup sehingga dapat pula menjadi semacam pelipur lara, atau (3) melepaskan diri dari segala ketegangan perasaan sehingga dapat memperoleh kedamaian jiwa. Menurut Danandjaja (1994: 152-153), nyanyian sebagai pengantar tidur merupakan salah satu jenis nyanyian dengan fungsi seperti itu. Untuk itu, kaбanti merupakan nyanyian yang berfungsi sebagai pelepas ketegangan dan pemberi kedamaian dalam menghadapi kesukaran hidup. Contoh syair kaбanti dengan fungsi tersebut dapat dilihat pada tiap-tiap teks dalam bait pertama hingga bait ketiga berikut.
1. E bue-bue aneðo pei
Pe. ayun-ayun masih bodoh
E aneðo te ðitemba-temba
Pe. masih harus art. ditimang-timang

Ku ayun-ayun semasih bodoh
masih harus ditimang-timang

2. E ku-bumue-bue nggala-ne
Pe. 1sIR-(akan) ayun-ayun dulu-Padv.
E mina aneðo no-бahuli
Pe.dari masih 3sR-kecil

Aku akan mengayun-ayunnya dulu
Sewaktu ia masih kecil

3. E ku-bumue-bue nggalane
Pe. 1sIR-(akan) ayun-ayun dulu-Padv.
E mondo-mo ku-sala te laro
Pe. Selesai-past 1sR-salah art.dalam

Aku akan mengayun-ayunnya dulu
Sudah pernah aku menyalahi perasaanya

Tiga bait pembuka pada nyanyian rakyat pada masyarakat Wakatobi tersebut merupakan pembuka nyanyian pengantar tidur. Seorang ibu mengekspresikan bait pertama sebagai rasa kasih sayang pada bayinya.
Kedua, nyanyian rakyat berfungsi sebagai pembangkit semangat, seperti nyanyian kerja. Sehubungan dengan fungsi nyanyian rakyat tersebut, kaбanti digunakan oleh masyarakat pendukungnya sebagai pembangkit semangat pada saat bekerja di laut, di kebun, dan di bangunan. Syair-syair kaбanti dinyanyikan sambil bekerja sehingga melahirkan semangat dalam melakukan perkerjaan. Dengan nyanyian yang berisi kisah cinta, mereka akan selalu memberikan semangat pada orang-orang yang sedang bekerja. Dalam kegiatan membuka atau menyiangi kebun/ladang, ibu-ibu melakukannya sambil bernyanyi. Mereka mengekspresikan lagu-lagu yang dapat menciptakan semangat. Mereka kebanyakan menyanyikan kaбanti yang mengekspresikan kehidupan mereka sehari-hari.
Ketiga, nyanyian rakyat berfungsi untuk memelihara sejarah setempat. Telah disebutkan di depan bahwa batas Mandati dan Wanci tentang dalam syair kaбanti. Selanjutnya, masyarakat Wangi-Wangi mengingat kisah migrasi masyarakat Wakatobi khususnya dan Buton umumnya dengan memasukkan Pulau Buru dan Pulau Seram sebagai tempat merantau. Ini merupakan sejarah migrasi bangsa Buton pada beberapa puluh tahun yang lalu. Contoh syair kaбanti yang menggambarkan tentang daerah tujuan migrasi masyarakat Wakatobi pada zaman dulu diabadikan dalam bait pertama teks II dan III yang dinyanyikan oleh Wa Radi berikut.
E bue-bue бangka nu-Sera
Pe. ayun-ayun perahu 2sR-Seram
E mbali бata na ngko-kombu-no
Pe.jadi batang kayu art 2sR-tiang-past

Ayun-ayun perahu perahunya Seram
Tiangnya menjadi batang kayu

Baris pertama pada bait ke-1 merupakan penggambaran perahu yang selalu membawa masyarakat Wakatobi ke pulau Seram di Kepulauan Maluku. Baris ke-2 merupakan ekspresi kondisi perahu yang mengantar mereka pada saat itu. Perahu ini menggantungkan tenaganya pada layar yang dipasang di tiang perahu (kokombu). Perahu yang disebut bangka pada waktu itu disebut perahu karoro. Kaбanti tersebut merefleksikan fungsi kaбanti sebagai rekaman sejarah migrasi masyarakat Wakatobi ke kepulauan Maluku yang telah terjadi dalam tempo waktu yang panjang (bdk.Rabani, 1997: 23).
Keempat, nyanyian rakyat sebagai protes sosial, yaitu memprotes ketidakadilan di dalam masyarakat. Dalam kaбanti, ekspresi tersebut dapat dilihat pada teks I bait ke-11 hingga bait ke-13 berikut.
11. E na бoha-бoha-nto salimbo
Pe.art. berat-I3ppos. sekampung
E te paira na nsababu-no
Pe.art. apa art. sebab-3spos.

Beratnya kita sekampung
Apa yang menjadi penyebabnya?

12. E sababu te mingku paira
Pe. sebab art. sikap apa
E ðimai-no kua iaku
Pe.datang-3spos. bagi saya

Sikap apa yang menjadi penyebabnya?
Yang datangnya dariku

13. E no-mingku toumpa namia?
Pe.3sR-sikap bagaimana orang?
E no-awane na ngkakoбea
Pe.3sR-dapatkan art. kebenaran

Bagaimana sikapnya orang?
Mereka mendapatkan kebenaran

Tiga bait di atas merupakan kaбanti yang diungkapkan situasi kehidupan masyarakat yang tidak lagi memperlihatkan persahabatan, tetapi sudah saling menyalahkan dan saling mencurigai. Kondisi ini diekspresikan dalam bait ke-11 baris pertama yang dilanjutkan dengan pertanyaan mengenai sebab terjadinya kondisi itu pada baris kedua. Akan tetapi, si aku lirik terlebih dahulu mempertanyakan kesalahan dirinya, yaitu pada bait ke-12. Setelah itu, si aku lirik menyalahkan orang lain.
Pada bait ke-13, si aku lirik kembali mempertanyakan sikap orang lain yang mendapatkan pujian atau kebenaran dari masyarakat. Tiga bait di atas merupakan salah satu protes yang sangat halus atas situasi di dalam masyarakat yang saling menyalahkan. Si aku lirik melakukan protes atas sikap masyarakat yang seperti itu.
Selain kaбanti berfungsi seperti yang dikemukakan oleh Djames Danandjaja di atas, fungsi kaбanti yang lain adalah untuk menghaluskan kata-kata bagi masyarakat Wakatobi. Orang-orang yang menguasai kaбanti akan mempunyai perbendaharaan kata yang halus. Mereka santun dalam berbicara karena mereka menggunakan metafora-metafora yang ada dalam syair-syair kaбanti. Dengan demikian, anak-anak yang ditidurkan dengan kaбanti sejak dini mereka akan diperdengarkan dengan bahasa-bahasa yang mempunyai nilai sastra yang tinggi.

C.Kaбanti sebagai Media Pembelajaran Sastra
Sejak dulu masyarakat Wakatobi mengenal kaбanti sebagai salah satu tradisi yang diturunkan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya (Udu, 2006: 5 ). Kehadiran kaбanti sebagai kesenian tradisional yang telah berabad-abad tentunya tidak terlepas dari model pembelajaran kaбanti dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Sebagai pengantar tidur, kaбanti menduduki posisi penting dalam pembelajaran sastra di dalam masyarakat Wakatobi. Melalui syair-syair kaбanti pengantar tidur, anak-anak Wakatobi telah diajari tentang sastra, tentang hidup dan kehidupan. Sejak usia dini anak-anak Wakatobi telah diajari sastra melalui teks-teks kaбanti sebagai pengantar tidur. Mereka terlelap dalam kelembutan syair kaбanti yang dilantunkan oleh ibunya. Lewat teks-teks kaбanti anak-anak Wakatobi telah mempelajari tentang berbagai konsep hidup yang ada dalam masyarakat dan budayanya.
Perkenalan mereka dengan sastra melalui teks-teks kaбanti tersebut, mengantarkan mereka untuk banyak memahami adat istiadat mereka, budaya mereka, pandangan hidup mereka, ideologi mereka, sejarah kehidupan masyarakat mereka dan sampai pada impian-impian mereka. Hal ini sesuai dengan pendapat Yektiningtyas (2008: 25) yang mengatakan bahwa folklor mempunyai fungsi sebagai sarana untuk mengungkapkan sesuatu kepada pendengar, secara sadar atau tidak sadar, bagaimana suatu masyarakat berpikir. Selain itu, folklor juga mengabadikan segala sesuatu yang dianggap penting oleh masyarakat pendukungnya. Folklor juga dapat digunakan sebagai protes sosial mengenai keadilan dan ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat atau bahkan negara.
Budaya masyarakat Wakatobi selama ini telah memposisikan perempuan dalam ketegangan. Di satu sisi, budaya Waktobi menghargai dan menghormati perempuan, tetapi di sisi lain, budaya Wakatobi banyak membelenggu perempuan, terutama untuk menduduki posisi-posisi tertentu dalam kehidupan bermasyarakat (Schoorl, 2003: 211). Pandangan budaya seperti ini akan mempengaruhi keberadaan perempuan, baik dalam kehidupan keluarga maupun dalam kehidupan sosialnya.
Oleh Karena itu, citra perempuan yang dikonstruksikan pada anak-anak melalui syair-syair kaбanti akan tergantung dari pengalaman ibunya sebagai peletak dasar kebudayaan. Cantor dan Bernay (1998: 314) mengatakan bahwa ibu berperan dalam reproduksi kepribadian seorang anak, hal ini disebabkan oleh adanya ikatan batin antara anak dan ibunya. Dengan demikian, pengetahuan ibu tentang budaya akan diekspresikan melalui syair-syair kaбanti pengantar tidur. Contoh pencitraan perempuan dalam syair-syair kaбanti yang dinyanyikan sebagai pengantar tidur adalah sebagai berikut.
E wa ina ku-biru wajo-mo
Pe PG. Ibu 1sR-hitam bajo-past.
E ke mawino keng-korangano
Pe KT. lautnya KT.kebunnya

ibu aku sudah hitam seperti Bajo
karena di laut dan di kebun

Pencitraan perempuan dalam bait kaбanti di atas merupakan pencitraan perempuan melalui indra penglihatan. Di samping itu, syair kaбanti di atas merupakan bentuk pencitraan perempuan yang berpotensi karena perempuan dapat bekerja di laut dan di kebun. Artinya, perempuan yang dicitrakan dalam kaбanti tersebut merupakan perempuan yang memiliki kemampuan untuk dapat bekerja di dalam maupun di luar rumah.
Selanjutnya, citra perempuan di dalam teks kaбanti diekspresikan dalam bentuk syair-syair berikut: /E wa ina kutuntualoðo/ ‘ibu, lebih baik saya jadi ‘burung’ tuntualo’ /E kuiðo nggala ngkemasu/ ‘karena saya lahir tanpa ayah’. Pencitraan perempuan dalam syair tersebut menunjukkan bahwa budaya masyarakat Wakatobi belum dapat menerima pembinaan keluarga yang hanya dilakukan oleh perempuan tanpa seorang laki-laki. Hal ini berdampak pada kehidupan perempuan, baik di dalam keluarga maupun di dalam kehidupan sosialnya. Adapun implikasi sosial dari pencitraan perempuan yang membesarkan anak-anaknya tanpa ayah telah mempengaruhi kehidupan psikologis anak. Misalnya, Ardin (10 tahun), seorang anak yang ditinggal oleh ayahnya ke Malaysia, mulai mengidentifikasi diri sebagai seorang anak yang hidup tanpa ayah. Karena sering mendengarkan syair tersebut menjelang tidur, suatu saat Ardin bertanya pada ibunya, “ina, teiyaku ana kutuntualomo da? ’ibu, saya ini sudah jadi tuntualo-kah?’. Pertanyaan anak tersebut menggambarkan bahwa pikirannya sejak kecil telah terkonstruksi oleh nyanyian ibunya .
Pencitraan perempuan, sebagaimana tersebut di atas akan mengkonstruksi pikiran anak tersebut dan akan mempengaruhi kehidupan mereka berikutnya. Hal ini sesuai dengan pandangan Fakih (2003: 10) yang mengatakan bahwa proses sosisalisasi budaya sudah dilakukan sejak bayi sehingga hal tersebut bukan saja berpengaruh pada perkembangan emosi, visi, dan ideologi kaum perempuan, melainkan juga mempengaruhi perkembangan fisik dan biologis selanjutnya. Proses sosioalisasi dan konstruksi sifat-sifat gender yang berlangsung secara turun-temurun dan mapan itu akhirnya sangat sulit untuk dibedakan. Dengan demikian, teks-teks kaбanti sebagai pengantar tidur anak-anak Wakatobi memiliki dampak yang luas dalam kehidupan anak-anak berikutnya.
Di sisi yang lain, kaбanti sebagai media pembelajaran sastra bagi anak-anak Wakatobi juga mengajarkan tentang bagaimana struktur dari kaбanti kepada anak-anak. Sadar atau tidak sadar proses penurunan kaбanti telah berlangsung lama dari satu generasi ke generasi, dan dimulai sejak pewarisnya masih berada pada waktu usia dini. Sehingga tanpa disadari struktur kaбanti sebagai salah satu sastra lisan masyarakat Wakatobi dapat diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya sebab kaбanti diperkenalkan sejak anak-anak Wakatobi belum memahami kehidupan yang lain. Inilah yang menjadikan kaбanti sebagai karya sastra yang paling diminati dalam masyarakat Wakatobi dari dulu sampai sekarang.
Di samping itu, kaбanti juga banyak mengajarkan nilai-nilai budaya dan moral kepada masyarakat pendukungnya. Sejak dini anak-anak Wakatobi telah diajarkan pola hubungan anak laki-laki dan perempuan, misalnya / e ara topada mobasamo/ ‘kalau kita sudah sama-sama besar’ /e mou tetuhanto tomeri/ ‘walaupun saudara kita harus hati-hati’. Dengan demikian, pembelajaran budaya dan moral dalam masyarakat Wakatobi telah ditorehkan pada anak-anak sejak mereka masih dalam usia dini.
Oleh karena itu, sebagai sarana pembelajaran budaya dan moral dalam masyarakat Wakatobi, kaбanti merupakan salah satu bentuk strategi pembelajaran sastra, budaya dan moral di masa depan. Perkembangan teknologi telah membawa dampak dalam berbagai bidang kehidupan manusia, termasuk dalam bidang sastra. Salah satu dampak teknologi tersebut adalah lahirlah kecenderungan untuk malas membaca. Masyarakat lebih cenderung untuk mendengarkan atau menonton suatu berita. Demikian juga dengan dunia sastra, masyarakat lebih cenderung untuk nonton filem dari pada membaca sebuah novel.
Dengan demikian, kaбanti sebagai salah satu media pembelajaran sastra pada anak usia dini di dalam masyarakat Wakatobi merupakan satu konsep pembelajaran sastra yang dapat melahirkan rasa cinta kepada sastra dan budaya bagi masyarakat pendukungnya. Karena lewat kaбanti pembejalaran sastra dapat dimulai pada anak usia dini. Bahkan kalau kita menengok jauh ke belakang, kaбanti juga dijadikan sebagai salh satu model pembelajaran Islam di daerah Kesultanan Buton. Banyak ajaran agama dan budaya ditulis dan disampaikan dalam bentuk kaбanti.
Sementara kalau kita melihat konsep pembelajaran sastra pada pendidikan modern, sastra dimulai setelah kelas tinggi di sekolah dasar, sehingga minat orang untuk belajar sastra merupakan prioritas kesekian. Sastra masih membutuhkan strategi pembelajaran sastra yang dapat membumikan sastra sehingga sastra masuk ke dalam berbagai kehidupan manusia sebagai mana kaбanti bagi masyarakat pendukungnya.

D.Penutup
Sebagai media pembelajaran sastra pada anak usia dini, kaбanti memiliki peran dalam rangka mensosialiasikan mengenai budaya dan moral dalam masyarakat Wakatobi dan Buton pada umumnya. Banyaknya orang-orang melakukan sinyalemen akan rendahnya mutu pembelajaran sastra di sekolah dan lemahnya ideologisasi pada masalah-masalah kebangsaan dan bernegara kita, tentunya harus dirancang suatu metode pembalajaran sastra pada anak usia dini, misalnya bagaimana model pembelajaran sastra pada anak-anak kelompok bermain, TK, PAUD, sehingga sejak usia dini anak-anak telah diajarkan mengenai sistem nilai masyarakat maupun nilai-nilai yang dibutuhkan dalam rangka membangun keindonesiaan dan kenegaraan kita.

E.Daftar Pustaka
Cantor. Dorothy W., dan Bernay, Toni. 1998. Women in Power: Kiprah Wanita dalam Dunia Politik. Diterjemahkan oleh J. Dwi Helly Purnomo (editor). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Danadjaja, James. 2002. Ilmu Gosip, Dongeng dan lain-lain. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Danandjaja, James. 1994. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta: Grafiti
Fakih, Mansour. 2003. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta: Insist Prees bekerja sama dengan Pustaka Pelajar.
Finengan, Ruth. 1877. Oral Poetry: its Nature, Significance and Social Context. Bloomington: Indiana University Prees
La Niampe, 1998. Kabanti Bula Malino : Kajian Filologis Sastra Wolio Klasik. Bandung : Universitas Padjadjaran: Tesis Program Pascasarjana.
La Ode Nsaha, Tamburaka dan Asis. 1978/1979. Aneka Budaya Sulawesi Tenggara. Kendari: Proyek Penggalian Nilai-Nalai Budaya Sulawesi Tenggara.
Lord, Albert B. 1981. The Singer of Tales. Cambridge, Massachusetts London, England: Harvard University Press.
Rabani, La Ode. 1997. Migrasi dan Perkembangan Sosial Ekonomi Masyarakat Kepulauan Tukang Besi Kabupaten Buton 1961-1987. Yogyakarta: Skripsi Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada.
Rahman, Nurhayati dan Adiwimarta, Sri Sukesi. 1999. Antologi Sastra Daerah Indonesia: Cerita Rakyat Suara Rakyat. Jakarta: Masyarakat Pernaskahan Indonesia – Yayasan Obor Indonesia.
Schoorl, Pim.2003. Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton. Jakarta: Djambatan, KITLV.
Udu, Sumiman. 2006. Citra Perempuan dalam Kaбanti: Tinjauan Sosiofeminis. Yogyakarta: FIB UGM
Yektiningtyas, Wigati. 2008. Helaehili dan Ehabla: Fungsinya dan Peran Perempuan dalam Masyarakat Sentani Papua. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.

Kamis, 13 Agustus 2009

Tradisi Lisan, Antara Nasionalisme Kebutonan dan Disintegrasi Keindonesiaan

http://www.ziddu.com/download/6030280/anasionalismekebutonandandisintegrasikeindonesiaan.rtf

Sabtu, 11 Juli 2009

Konsep Seks Masyarakat Buton dalam Naskah Kabanti Kaluku Panda Atuwu Incana Dempa: Tinjauan Semiotik dan Etnografi

Abstrak
Tulisan ini merupakan upaya untuk mengungkap konsep kearifan lokal masyarakat Buton. Sebagai sebuah kesultanan, Buton memiliki berbagai konsep kearifan lokal yang ada dalam masyarakatnya. Misalnya konsep kearifan lokal terhadap lingkungan, (hutan, laut, karang, sungai) sistem politik, sistem sosial (konsep mengenai keluarga termasuk konsep seks).
Bagi masyarakat Buton, tatacara seks merupakan sesuatu yang fundamental terutama dalam upaya menciptakan generasi yang berbudaya dan bermartabat. Itulah sebabnya masyarakat Buton mengenal upacara pingitan untuk mengajarkan tatacara seks bagi calon ibu dan bapak yang mau dinikahkan. Sebab mereka percaya bahwa rusaknya generasi terletak dari pemahaman ayah dan ibunya tentang hubungan seks. Untuk kepentingan pengajaran bagi calon ayah dan ibu itulah naskah kabanti Kaluku Panda Atuwu Incuna Dempa selanjutnya disingkat (KP) hadir dalam kehidupan keluarga masyarakat Buton. Oleh karena itu, upaya penelusuran mengenai konsep kearifan lokal mengenai seks tersebut sangat penting terutama dalam mewujudkan generasi bangsa yang berbudaya dan bermartabat.
Data penelitian ini adalah naskah (KP) dan data lapangan berupa padangan masyarakat Buton tentang seks. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan semiotik dan etnografi. Pendekatan semiotik digunakan untuk menangkap makna teks kabanti (KP), sedangkan pendekatan etnografi digunakan untuk menelusuri konsep seks yang ada dalam pandangan masyarakat Buton.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam naskah kabanti (KP) menggambarkan tata cara pemilihan lahan (jodoh), waktu untuk menebas pohon (melamar, pernikahan), waktu untuk menanam (berhubungan intim), cara menanam (cara berhubungan intim), sampai pada cara perawatan bibit yang disemai hingga lahir menjadi seorang bayi. Dalam naskah juga dijelaskan mengenai sifat anak jika orang tunya mengikuti kaidah-kaidah seks, demikian juga implikasi jika terjadi kesalahan baik dalam pemilihan lahan, waktu menebas, menanam, ataupun cara merawat tanaman yang ada akan berdampak pada sifat anak atau bayi tersebut.
Sedangkan hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa tidak semua masyarakat Buton masih mengenal tata cara seks sebagaimana yang terdapat dalam naskah kabanti (KP). Hal ini disebabkan tidak semua generasi Buton diperkenankan untuk mempelajari naskah kabanti (KP). Dengan demikian, data lapangan menunjukkan bahwa keluarga yang mempunyai pengetahuan mengenai tata cara seks sebagaimana yang terdapat dalam naskah kabanti (KP) mempunyai anak-anak yang cenderung berbudaya dan bermartabat. Hal ini disebabkan karena tatacara seks tersebut berimplikasi pada sifat anak-anak. Sehingga berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, keluarga yang mempunyai pengetahuan tentang tata cara seks sebagaimana yang terdapat dalam naskah kabanti (KP) adalah keluarga bangsawan atau keluarga yang dihargai dalam masyarakat. Sedangkan di sisi yang lain, keluarga yang tidak mengenal konsep seks tersebut memiliki kecenderungan untuk mempunyai anak-anak nakal dan tidak berbudaya serta tidak bermartabat.
Kata Kunci: konsep seks, masyarakat Buton, kabanti, kaluku panda, semiotik, etnografi

A.Pendahuluan
Sebagai kesultanan, Buton memiliki peninggalan budaya baik yang didokumentasikan dalam bentuk lisan (tradisi lisan) maupun dalam bentuk tulisan (naskah). Nilai-nilai budaya Buton yang tersimpan dalam tradisi lisan dan tulisan (naskah) tersebut memiliki berbagai nilai kearifan lokal yang dapat berguna bagi pengembangan kebudayaan saat ini dan di masa yang akan datang. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Mursal Esten (1999: 105) bahwa sastra tradisi dapat menjadi sumber bagi suatu penciptaan budaya baru di dalam masyarakat modern. Oleh karena itu, penulusuran nilai-nilai budaya yang berakar pada masyarakat dapat memberikan inspirasi bagi terjadinya budaya baru. Di samping itu nilai-nilai budaya yang berakar dari masyarakat dapat memperkuat jati diri masyarakatnya dan dapat menjadi penanda identitas masyarakatnya sendiri.
Nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Buton yang tersimpan dalam tradisi lisan maupun naskah tersebut meliputi segenab kehidupan masyarakat Buton. Nilai-nilai kearifan lokal yang terdapat dalam naskah-naskah Buton tersebut dapat berupa nilai kearifan lokal terhadap lingkungan (hutan, laut, sungai, karang), sistem politik, konsep kesehatan, konsep pendidikan dan sistem sosial (termasuk di dalamnya mengenai konsep seks dalam kehidupan keluarga masyarakat Buton).
Bagi masyarakat Buton, tatacara seks merupakan hal fundamental dalam kehidupan mereka. Tata cara seks tersebut penting, terutama dalam upaya menciptakan generasi yang berbudaya dan bermartabat. Itulah sebabnya masyarakat Buton mengenal upacara pingitan untuk mengajarkan tata cara seks bagi calon ibu dan calon ayah yang mau dinikahkan. Mereka percaya bahwa pemahaman calon ayah dan calon ibu tentang tata cara seks akan mempengaruhi kualitas anak-anak mereka. Untuk kepentingan pengajaran bagi calon ayah dan ibu itulah naskah kabanti Kaluku Panda Atuwu Incana Dempa yang selanjutnya disingkat (KP) hadir dalam kehidupan keluarga masyarakat Buton. Oleh karena itu, upaya penelusuran mengenai konsep seks masyarakat Buton dalam naskah kabanti tersebut perlu dilakukan, terutama dalam rangka mentransformasikan nilai-nilai kerarifan lokal tersebut ke dalam kehidupan bangsa Buton dewasa ini.
Kabanti Kaluku Panda Atuwu Incana Dempa (KP) yang berarti “Kelapa Pendek yang Tumbuh di Batu Cadas” merupakan naskah kabanti yang ditulis oleh La Kobu (Yarona La Buandairi) yang bergelar Petapasina Baadia yang berarti yang memperbaiki kehidupan orang Baadia di bidang seks atau yang menanamkan adab seks di dalam masyarakat Baadia (Kraton Buton). Naskah ini memiliki banyak salinan dan sampai saat ini masih banyak tersebar di dalam masyarakat Buton. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Ali Rusdin (2002) bahwa naskah kabanti (KP) merupakan naskah yang banyak dijumpai dalam keluarga-keluarga yang ada dalam masyarakat Buton.
Persebaran naskah yang luas di dalam masyarakat Buton ini, menunjukkan bahwa naskah ini hidup dalam masyarakat pendukungnya. Hal ini disebabkan karena masyarakat Buton masih mempercayai bahwa generasi Buton yang berbudaya dan bermartabat ditentukan oleh proses penciptaannya. Kehadiran naskah kabanti (KP) dalam kepercayaan masyarakat Buton masih memegang peranan penting dalam menciptakan generasi Buton dimasa lalu, hari ini dan di masa yang akan datang.
Sehubungan dengan itu, orang-orang tua Buton dapat meramalkan seorang anak yang dilahirkannya, apakah seorang anak akan menjadi orang besar, orang baik, orang pintar atau bahkan anak itu kelak akan menjadi orang bodoh dan orang jahat sejak ia dilahirkan. Hal ini disimpulkan dari latar belakang orang tua, perilaku orang tua sejak proses penciptaan, proses pemeliharaan di masa-masa kehamilan sampai pada proses kelahiran.
Jika dibaca secara sekilas, naskah kabanti (KP) hanya menyajikan tata cara berkebun, tetapi bagi masyarakat Buton simbol-simbol itulah yang kemudian dimaknai sebagai petunjuk yang memuat konsep seks dalam kehidupan rumah tangga masyarakat Buton. Oleh karena itu, untuk mengungkap makna teks kabanti (KP) diperlukan pendekatan semiotik-etnografi, yakni upaya memaknai teks berdasarkan sudut pandang masyarakat dan budaya pendukung teks tersebut. Dalam hal ini, naskah kabanti (KP) akan dimaknai dari prespektif masyarakat Buton sebagai masyarakat pendukungnya. Karena makna kabanti (KP) akan dapat dipahami melalui konvensi pemaknaan yang ada dalam masyarakat Buton sebagai masyarakat pemilik naskah tersebut.

B. Tata Cara Pemilihan Jodoh
Kabanti (KP) sebagai kitab yang memuat tentang konsep seks masyarakat Buton atau memuat tentang tata cara berkeluarga bagi masyarakat Buton dimulai dari saat memilih jodoh sampai pada proses perawatan bibit yang disemai. Hal ini berangkat dari pemahaman masyarakat Buton bahwa sifat dapat diturunkan dari orang tua kepada anak-anaknya . Oleh karena itu, dalam kajian mengenai konsep seks masyarakat Buton, persoalan pertama yang dipikirkan adalah soal pemilihan jodoh. Proses pemilihan jodoh ini merupakan salah satu penegasan yang terdapat dalam naskah kabanti (KP). Hal ini dapat dilihat kutipan berikut.

Ee karoku fikiria porikana
Wakutuuna tongkana beu porikana
Piliakea tana mosantaogana
Nunua mpuu ponue molaengana Wahai diriku pikirkan lebih dahulu
Waktu engkau masa menebas
Pilihkan tanah yang subur
Telusuri betul tanah yang memuaskan

Bait kabanti di atas menunjukkan peringatan bagi generasi Buton untuk berhati-hati dalam memilih jodoh. Kata ‘tanah’ dalam teks kabanti di atas bagi masyarakat Buton diinterprestasikan sebagai perempuan. Artinya bahwa tanah yang subur adalah perempuan yang subur, perempuan yang memiliki potensi untuk dapat melahirkan anak-anak yang baik. Perempuan yang berasal dari keluarga yang baik-baik. Oleh kerena itu, penelusuran yang dilakukan oleh orang tua terhadap jodoh anak-anaknya didasarkan pada sejarah kehidupan dan silsilah orang tuanya.
Fokus penelitian orang tua Buton pada saat memilih jodoh bagi anak-anaknya adalah aspek sifat (akhlak) yang dimiliki oleh suatu keluarga tertentu secara turun-temurun. Mereka akan meneliti apakah keluarga tersebut pernah melanggar adat atau tidak, pernah terhukum atau tidak, dan apakah keluarga tersebut memiliki akhlak yang baik atau tidak. Dari situlah orang-orang tua Buton menitikberatkan penelitiannya pada saat memilih jodoh bagi anak-anak mereka. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Wa Habi (40) bahwa sifat orang tua akan banyak mempengaruhi sifat anak-anaknya. Perilaku ayah dan ibunya saat hamil akan mempengaruhi sifat anak yang dikandungnya.
Kepercayaan masyarakat Buton bahwa sifat orang tua banyak mempengaruhi sifat anak-anaknya tersebut dapat dilihat dari sistem ketatanegaraan Buton. Walaupun kesultanan Buton tidak mengenal darah biru dan putra mahkota, tetapi dalam sejarahnya, Dewan Siolimbona Kesultanan Buton pernah memesan putra mahkota dari Sultan Muhamad Idrus Kaimuddin karena Dewan Siolimbona memiliki keyakinan bahwa sultan dapat menurunkan sifat-sifatnya yang adil pada anak-anaknya . Dengan demikian, masyarakat Buton sangat hati-hati dalam proses pemilihan jodoh bagi anak-anaknya karena mereka percaya bahwa tidak mungkin mendapat generasi yang baik pada keturunan yang tidak baik akhlaknya.
Implikasi dari konsep seks tersebut di atas, tidak terlepas dari pemahaman masyarakat Buton bahwa calon sultan sudah harus ditelusuri sejak ia masih kecil atau bahkan dari silsilah orang tuanya. Selain itu, pentingnya pemilihan tanah (perempuan) dalam teks kabanti di atas, mengacu pada salah satu pertimbangan bahwa kelayakan seorang calon sultan untuk menjadi sultan adalah dilihat dari kelayakan seorang istri untuk menjadi permaisuri (Shcoorl, 2003: 227). Tentunya ada rahasia yang dimiliki oleh masyarakat Buton dalam memilih jodoh. Rahasia yang dicari oleh masyarakat Buton sebenarnya adalah apakah sebuah keluarga tersebut memahami konsep seks dalam naskah kabanti (KP) itu atau tidak, sebab mereka meyakini bahwa seks bukan saja kebutuhan badani tetapi proses untuk menuju keillahian. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Pim Schoorl bahwa kehidupan spritual mistitisme masyarakat Buton menitikberatkan kehidupan cinta kasih dalam keluarga dan masyarakat. Mereka menganggap bahwa hubungan antara laki-laki dan perempuan sebagai model atau hal lain ciptaan Tuhan. Hubungan kasih sayang antara ayah dan ibu dalam proses lahirnya manusia adalah hubungan yang mengarah kepada penyatuan kepada Tuhan (Schoorl, 2003: 227-228).
Walaupun masyarakat Buton berhati-hati dalam hal pemilihan jodoh, tetapi tidak jarang juga mereka kurang teliti dalam menelusuri latar belakang kehidupan seseorang baik pribadi maupun sejarah keluarganya. Mengenai hal tersebut, tradisi lisan kabanti masyarakat barata Kaedupa menjelaskan sebagai berikut.

Nopilimo dhi ntotono’a
Kambedha te gandu bubuko Ia telah memilih di tempat yang subur
Tetapi ternyata hanya jagung yang berulat

Data etnografi tersebut di atas menjelaskan bahwa walaupun generasi Buton telah berhati-hati dalam memilih jodoh sebagaimana dianjurkan dalam naskah kabanti (KP), tetapi tidak semua orang Buton mampu menelusuri jodoh anak-anaknya dengan baik. Bagi masyarakat Buton kegagalan dalam pemilihan jodoh tersebut menyebutnya dengan istilah gandu bubuko.
Sehubungan dengan hal tersebut, masyarakat Buton memiliki pandangan bahwa dalam memilih jodoh bagi anak-anaknya terdapat kriteria yang harus diperhatikan yakni aspek fisik, keturunan, harta dan akhlak dari seseorang yang akan dilamar menjadi menantu. Ini tentunya dipengaruhi oleh konsep Islam mengenai kriteria calon istri/suami. Sedangkan dalam masyarakat Buton dewaasa ini aspek yang ditonjolkan dalam memilih jodoh adalah aspek akhlak. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh La Musuidu bahwa orang-orang tua Buton memilih jodoh bagi anak-anaknya selalu mempertimbangkan pake (akhlaknya) .
Wa leama tonto di komba
Tepolaro nantoogeno Yang cantik dapat dilihat di bulan
Tetapi akhlak yang lebih utama

Teks kabanti dalam tradisi lisan tersebut, merupakan salah satu pandangan masyarakat Buton, terutama dalam melihat calon menantu bagi anak-anaknya. Dimana dijelaskan bahwa kalau masalah kencatikan, masih dapat kita lihat pada bulan, tetapi yang paling penting dalam kehidupan dalam kehidupan keluarga adalah akhlak.

C. Waktu untuk Menebas (Melamar)
Di samping hal-hal yang telah disebutkan di atas, naskah kabanti (KP) juga menjelaskan tentang waktu-waktu yang baik untuk melamar. Waktu yang baik untuk melamar atau menikahkan anak-anak bagi masyarakat Buton adalah ketika anak-anak sudah memasuki usia dewasa. Masyarakat Buton percaya bahwa pernikahan diusia dewasa akan mempengaruhi kualitas generasi. Dalam naskah kabanti (KP) dikiaskan dengan menggunakan tamsil kilat dan guntur. Hal ini dapat dilihat dalam teks kabanti berikut.
Guntu tumondu kapajagana moincana
Obibitona tandana tao baao
Linti-lintina kapekalapena tana
Osiytumo wakutuuna momulia Guntur yang kedengaran pertanda nyata
Kilat halilintar pertanda tahun baru
Ujung-ujungnya perbaikan kesuburan tanah
Itulah yang dinamakan waktu yang mulia (penanaman)

Bait kabanti di atas menunjukkan bahwa waktu yang baik untuk menebas adalah pada saat ada tanda yang nyata. Tanda yang nyata tersebut dapat dilihat dari kondisi fisik dan mental dari seorang laki-laki atau perempuan. Oleh karena itu, masa yang baik untuk menebas dalam masyarakat Buton adalah jika kata dan hati telah sejalan. Pada saat itulah, seseorang telah memiliki kesiapan untuk melamar atau dilamar oleh pasangan hidupnya.
Penggunaan tamsil kilat dan guntur dalam naskah kabanti (KP) tidak terlepas dari pengaruh pemahaman masyarakat Buton tentang tanda-tanda alam. Oleh karena itu, seorang remaja yang sudah mau menikah sudah harus memiliki kesiapan fisik dan mental untuk menjalani kehidupan rumah tangga. Di samping itu, penggunaan kilat dan guntur dalam teks kabanti di atas, juga dapat dimaknai sebagai tanda yang harus dipelajari apakah putra-putri, apakah mereka sudah siap untuk dinikahkan atau belum? Kesiapan mereka tersebut dapat dilihat dari sikap dan jawaban mereka saat ditanya oleh kedua orang tua mereka.
Sehubungan dengan waktu melamar/ menikah tersebut, jika perempuan atau laki-laki dinikahkan sebelum dewasa, maka masyarakat Buton memiliki data etnografi dalam bentuk tradisi lisan sebagai berikut.

Kaasi wa kalemo-lemo
Kuheka runga-rungangkomo Kasihan Wa Kalemo-lemo
Aku memetikmu di saat kamu masih muda

Data etnografi tersebut di atas, merupakan suatu ingatan kolektif masyarakat Buton mengenai pentingnya kematangan atau kedewasaan bagi calon suami atau calon istri. Banyak pernikahan usia dini yang berakhir dengan perceraian di dalam masyarakat Buton. Rata-rata mereka menikah tidak lagi menerima petunjuk orang tua, tetapi mereka terbawa cinta mereka. Akibatnya, secara mental mereka belum siap, dan penderitaan pun mulai melanda keluarga tersebut. Dalam keluarga yang tidak berlandaskan kasih sayang tersebut, mustahil untuk mendapatkan generasi yang berbudaya dan bermartabat. Tetapi yang akan terlahir adalah generasi yang bodoh, mudah histeri dan kerdil cara berpikirnya.
Dalam kehidupan masyarakat Buton, guntur dan kilat merupakan pertanda untuk menebas atau membuka lahan pertanian. Di dalam teks kabanti (KA) dijelaskan bahwa guntur dan kilat harus merata baru dilakukan penamaman. Hal ini dapat dilihat kutipan berikut.
Urango pea guntu rende ngkalelei
Daangiapo tandana bibitona tawakala
Kumalintina pasaramo aumbamo
Pentaamea waona posaranakaa
Iweitumo maka upombulaia Engkau dengarkan bunyi yang merata
Ada dahulu tanda kilat tawakal
Tanda pasrah pada tuhan telah ada
Nantikanlah hujan yang menjadi harapan
Disitulah baru engkau menanam

Sebagian masyarakat Buton menafsirkan bait ini sebagai tanda untuk melihat kedewasaan seorang anak yang akan dinikahkan. Misalnya, jika seorang anak muda masih menyebut beberapa orang gadis, itu pertanda ia belum dewasa. Artinya anak muda tersebut belum tawakal untuk menikahi seorang perempuan. Tetapi jika yang ia cintai tinggal satu orang perempuan dengan sepenuh hatinya, maka orang-orang tua Buton sudah seharusnya memilih waktu-waktu yang baik untuk melangsungkan pernikahan. Dengan demikian, masa yang baik untuk menebas bagi generasi muda Buton adalah usia dewasa karena diusia dewasa seseorang sudah memiliki kesiapan untuk menjalani kehidupan rumah tangga.

D. Waktu untuk Menanam (Berhubungan Intim)
Dalam naskah kabanti (KP) di samping membicarakan mengenai tata cara pemilihan jodoh atau lahan, juga dilengkapi dengan informasi mengenai waktu-waktu yang baik untuk menebas dan menanam (berhubungan intim). Masyarakat Buton meyakini bahwa waktu melakukan sesuatu mempunyai peran dalam menentukan hasil dari sesuatu tersebut, termasuk waktu untuk melakukan pernikahan, hubungan seks dan pekerjaan lainnya.
Oleh karena itu, hari-hari yang baik untuk melakukan hubungan seks dalam naskah kabanti (KP) adalah hari Jumat, Senin, Rabu dan Kamis. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut.
Eo malope jumaa tee isinene
Temo dhuka arabaa tee hamisi
Temodaki bholi umpombulaiya
Temo duka wakutuu apepali Waktu yang baik Jum’at dan Senin
Dan pula Rabu dan Kamis
Hari yang jelek jangan menanam
Dan juga waktu yang terlarang

Sedangkan hari-hari yang terlarang untuk melakukan hubungan seks menurut naskah kabanti (KP) adalah hari Sabtu, Minggu dan Selasa. Hal ini dapat kita lihat dalam kutipan berikut.

Sapotuu ahadhi tee salasa
Osiytumo eyo inda momalape Sabtu, Ahad dan Selasa
Itulah hari yang tidak baik


Di samping hari-hari yang telah disebutkan di atas, naskah kabanti (KP) juga memuat informasi mengenai waktu-waktu yang baik dan yang buruk untuk melakukan hubungan seks. Waktu yang baik untuk melakukan hubungan seks dalam naskah kabanti (KP) adalah waktu Shubuh, Zuhur dan Isa. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut.
Wakutuu talu anguna motopenena
Osiytumo wakutuu momulia
Wakutuu subuh tee dhoro
Te isa kamondona talu angu Waktu yang tiga yang terbaik
Itulah waktu yang mulia
Waktu subuh dan dhuhur
Dengan isa genab menjadi tiga

Sedangkan waktu-waktu yang terlarang adalah waktu ashar dan magrib. Hal ini dapat kita lihat dalam bait berikut.

Wakutuuna asara teemagaribi
Osiytumo wakutuu apepali Waktu ashar dan magrib
Waktu itulah yang terlarang

Dalam konsep etnografi masyarakat Buton ditemukan bahwa hari-hari yang baik dan waktu yang baik untuk melakukan hubungan seks dapat mempengaruhi kualitas keturunan mereka. Tetapi sebagian masyarakat Buton mempercayai bahwa melakukan hubungan intim di waktu shubuh, akan berdampak pada anak yang pendek umurnya, sehingga mereka memilih untuk melakukan hubungan intim di waktu Isa. Mereka meyakini bahwa anak yang lahir dengan hasil hubungan intim di waktu isa akan panjang umurnya. Di samping itu, anak tersebut kelak akan memiliki akhlak yang baik, taat pada ajaran agama. Sedangkan anak yang lahir dari hasil hubungan intim pada waktu Dhuhur akan berdampak pada wataknya yang keras.
Di dalam teks naskah kabanti (KP) juga menjelaskan mengenai dampak dari hasil penanaman yang tidak sesuai dengan waktu yang baik. Dampak dari penanaman yang dilakukan pada hari-hari yang tidak baik tersebut, dikiaskan bahwa tanaman yang ditanam di hari jelek pertanda tanaman dimakan rayap. Hal ini dapat dilihat teks berikut.

Eyo madaki tee wakutuu apepali
Alamtina akandea mparo-mparo Hari jelek hari yang terlarang
Pertanda tanaman dimakan rayap

Adanya waktu-waktu yang baik dan buruk untuk melakukan hubungan seks dalam naskah kabanti (KP) merupakan salah satu pelajaran bagi masyarakat Buton tentang tata cara seks. Sehubungan dengan waktu untuk melakukan hubungan seks tersebut, masyarakat Buton juga melarang melakukan hubungan seks disaat gerhana bulan. Mereka menganggap bahwa melakukan hubungan seks disaat gerhana bulan adalah ‘pemali’. Mereka meyakini bahwa berhubungan intim pada saat bulan purnama akan berdampak pada wajah anak yang dapat lahir dalam keadaan sumbing. Sedangkan hubungan seks yang dilakukan pada waktu air laut pasang akan berdampak pada kemudahan rezeki bagi calon bayi.
Dengan demikian, masyarakat Buton melakukan pemingitan sebelum menikahkan anak-anaknya untuk mengajarkan tata cara seks kepada kedua mempelai. Tetapi pada perkembangan dewasa ini kebanyakan generasi Buton tidak mau lagi dipingit. Malah mereka menganggap bahwa pingitan adalah salah satu upaya untuk membelanggu perempuan. Banyak generasi muda Buton yang menganggap bahwa budaya masa lalu adalah budaya yang tidak penting bagi kehidupan masyarakat Buton dewasa ini.

E. Cara Menanam (Cara Berhubungan Intim)
Di samping menjelaskan hari dan waktu yang baik untuk melakukan hubungan seks, kabanti (KP) juga menjelaskan mengenai tata cara berhubungan seks. Di dalam teks kabanti (KP) dijelaskan tata cara berhubungan seks itu dengan kutipan berikut.
Podo saide boli ukaago-ago
Pombulayitu bolipo sau pombula
Ukamatapea wao molagi
Urango pea guntu rende ngkalelei Pelan-pelan dan jangan terburu-buru
Menanam itu jangan asal menanam
Lihat tanda hujan yang terus menerus
Engkau dengarkan bunyi yang merata

Teks kabanti di atas, menjelaskan bahwa dalam melaksanakan hubungan seks tidak boleh dilakukan dengan cara terburu-buru. Pekerjaaan apa pun jika dilakukan secara terburu-buru hasilnya akan jelek, baik prosesnya maupun hasil akhirnya. Di dalam teks kabanti juga dijelaskan peringatan bahwa dalam menanam jangan asal menanam. Karena menanam (melakukan seks) dengan cara terburu-buru akan mempengaruhi kualitas seks dan kualitas keturunan.
Sedangkan pada baris /ukamatapea wao molagi/ “lihat tanda hujan yang terus menerus”, /urango pea guntu rende ngkalelei/ “engkau dengarkan bunyi yang merata”, di sini menjelaskan tentang tata cara rangsangan yang harus dilakukan pada semua daerah sensitif yang ada pada tubuh masing-masing pasangan (bagian sensitif pada kedua pasangan). Rangsangan harus merata baru dilakukan penanaman (melakukan penetrasi).
Sehubungan dengan waktu penetrasi, dalam naskah kabanti (KP) digambarkan bahwa harus ada tanda pasrah dari seorang istri baru melakukan penetrasi. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut.
Daangiapo tandana bibitona tawakala
Kumalintina pasaramo aumbamo
Pentaamea waona posaranakaa
Iweitumo maka upombulaia Ada dahulu tanda kilat tawakal
Tanda pasrah pada Tuhan telah ada
Nantikanlah hujan yang menjadi harapan
Di situlah baru engkau menanam

Teks kabanti di atas, merupakan petunjuk dalam melakukan hubungan seks yang menjelaskan bahwa ransangan harus merata ke seluruh tubuh, dan perempuan telah tawakal baru dapat melakukan penetrasi. Hal ini dapat dilihat dari kilat dan guntur yang telah merata ke seluruh tubuh dan itu pertanda hujan telah dekat.
Sehubungan dengan tata cara berhubungan seks tersebut, dalam prosesi perkawinan masyarakat Buton, biasanya ada seorang ibu-ibu yang menyamar dari keluarga perempuan (yang dituakan) mengevaluasi calon suami dengan pertanyaan tentang tata cara seks dihari pernikahan. Biasanya ibu-ibu tersebut duduk di pintu rumah perempuan atau di tangga rumah paling bawah. Perempuan tersebut akan memberikan pertanyaan kepada calon pengantin laki-laki dan bertanya tentang jumlah tangga rumah yang akan dinaikinya. Pertanyaan itu biasanya dalam bentuk sebagai berikut, “Sekarang kamu akan naik ke rumahnyanya La .... (nama ayah pengantin perempuan) apakah kamu telah mengetahui berapa tangga rumahnya”? Jika calon pengantin laki-laki salah menjawab, maka biasanya akan ditahan di depan pintu atau dilarang masuk ke dalam rumah. Pada saat itu semua orang akan mengentahui bahwa calon pengantin belum memiliki pengetahuan tentang tata cara seks. Jika hal itu terjadi, maka akan berimplikasi pada malam pertama mereka. Laki-laki yang menjawab salah akan disuruh pulang untuk bertanya mengenai tata cara seks pada keluarganya. Tetapi jika jawabannya benar, maka kedua pengantin akan menikmati malam pertama tanpa dihalangi oleh keluarga perempuan karena dianggap telah memahami tata cara seks sebagaimana yang diajarkan dalam naskah kabanti (KP).
Jumlah tangga rumah yang dimaksudkan di dalam pertanyaan masyarakat Buton di atas bukanlah tangga rumah yang ada di depannya, melainkan tangga sorgawi atau beberapa tempat rangsangan yang ada pada tubuh seorang perempuan. Di dalam naskah kabanti (KP) tidak dijelaskan secara rinci mengenai beberapa tangga dalam proses hubungan seks tersebut, tetapi akan dijelaskan dalam syara dan adat yang dalam masyarakat Buton.
Dalam kehidupan masyarakat Buton dewasa ini, konsep seks ini sangat dirahasiakan karena tata cara seks ini berhubungan dengan kepercayaan mereka bahwa tata cara seks dapat mempengaruhi kualitas generasinya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Wa Ode Hijrah bahwa salah satu rahasia keluarga yang memiliki anak-anak yang sukses adalah terletak pada tata cara melakukan hubungan seks disaat menciptakan anak-anak itu .

F. Cara Perawatan Bibit
Di dalam naskah kabanti (KP)
di samping menjelaskan mengenai waktu untuk menebas, waktu untuk menanam dan cara menanam, juga menjelaskan tata cara merawat bibit yang disemai tersebut. Sehubungan dengan tata cara merawat bibit yang disemai tersebut, naskah kabanti (KP) menjelaskan bahwa pagarilah dengan sara dan adat. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut.


Tondoakea sarai tee adati
Sisiakea faradluu moyincana
Kabubusina zikiri tee tasubehe
Perawoina kahaluwati tee toba Pagarilah dengan sara dan adat
Sisihkan dengan fardhu yang nyata
Penyiramnya zikir dan tasbih
Perawatannya khalwat dan tobat

Teks kabanti di atas, menggambarkan bahwa tata cara merawat bibit yang disemaikan adalah harus dipagari dengan syara dan adat. Dalam kehidupan masyarakat Buton sangat mementingkan kesucian (thaharah). Sehubungan dengan tata cara kehidupan berkeluarga masyarakat Buton, kesucian merupakan salah satu penekanan yang diberikan oleh adat. Untuk merawat bibit yang telah disemai tersebut, setelah melakukan hubungan seks seorang istri harus mensucikan diri lebih dahulu dari pada laki-laki. Ini akan berdampak pada proses kelahiran dan kualitas bayi yang dilahirkan. Yang dimaksud dengan kesucian dalam kehidupan masyarakat Buton adalah kesucian sebagaimana yang dijelaskan oleh Muhamad Idrus Kaimuddin dalam kabanti Bula Malino. Di situ dijelaskan bahwa “Wahai diriku, sucikanlah dirimu”, yang ditafsirkan olah La Ode Malim bahwa belum dikatakan suci seseorang kalau baru mandi tujuh kali satu hari, belum dikatakan suci seseorang kalau baru mandi dengan memakai sabun, seseorang dikatakan suci kalau ia telah suci lahir dan batin (Malim, 1983: 20).
Di samping itu, merawat bibit yang disemai di dalam rahim tersebut, dijelaskan dalam naskah (KP) sebagai berikut.

Ee karoku mopeelona kalape
Tee ingkomiu monununa kalabia
Palihara potontomu tee onimu
Malinguaka ilarangina sarai Wahai diriku yang mencari kebaikan
Dan kamu sekalian yang mencari kemuliaan
Peliharalah penglihatan dan perkataanmu
Dari segala yang dilarang oleh sara

Teks kabanti tersebut di atas menunjukkan ajaran mengenai tata cara merawat bibit yang baik. Jika mau mendapatkan bayi yang baik, maka peliharalah penglihatan dan perkataan dari segala yang dilarang oleh sara (agama). Yang dimaksud dengan larangan sara dalam naskah kabanti (KP) di atas adalah jika seorang istri sedang mengandung atau hamil seorang suami tidak boleh melakukan perbuatan zina. Hal ini dapat dilihat dalam berikut.
Wakutuuna akambeli mbeliyitu
Udala iki tee telaena kampunga
Beu potiba tee bawine iweyitu
Alae-lae atawa mokototona Waktu engkau berjalan-jalan itu
Engkau berjalan di persimpangan jalan
Engkau bertemu dengan perempuan di situ
Gadis atau yang punya hak


Moko kumbako uzina boli unda
Osiytumo cacu inda motamba
Ee karoku boli ukajoro-joro
Pengkaanana bari-baria mingkumu Walau dipanggilmu berzina jangan mau
Itulah racun yang tidak ada obatnya
Wahai diriku jangan bersifat jahat
Hati-hatilah dengan segala gerak perbuatanmu

Pori pepei bara sala upokawa
Boli pewau ulausi mokogundina
Temo hakuna imatauna hukumu
Maekaia barancoo usidaraa Berhati-hatilah jangan sampai bertemu
Jangan berani terhadap gundiknya orang
Itu adalah haknya yang diketahui hukum
Takuti, jangan sampai engkau terjerumus

Ulauaka idala inciayitu
Apesuamo racu incana kaaromu
Apopeelumo ujuyitu tee badamu
Aponantimo katada tee antomu Kapan engkau berani di jalan itu
Masuklah racun di dalam dirimu
Saling mencarilah ujung itu di badanmu
Saling mencari yang tajam dengan isimu

Beberapa bait kabanti di atas, menunjukkan larangan sara dan adat yang ada untuk keluarga yang menginginkan keturunan yang baik-baik. Rupanya pengarang sangat memahami pengaruh perselingkuhan dan dampaknya pada psikologis seorang ibu yang sedang hamil. Psikologis yang tidak bahagia akan mempengaruhi kualitas bayi yang sedang dikandungnya.
Selanjutnya dalam adat, orang Buton sangat menjunjung tinggi perempuan yang hamil. Mereka melakukan komba oalu (Bulan ke delapan kehamilan) sebagai upaya untuk memperingati perjuangan dan pengorbanan perempuan. Di samping itu, jika seorang istri dalam keadaan hamil, maka istri dan suami tersebut tidak dapat melakukan sesuatu perbuatan yang sia-sia (mencuri, berbohong dan lain-lain) atau merusak alam seperti menyiksa hewan, memotong hewan, merusak hutan. Dalam pemahaman masyarakat Buton, itu akan berimplikasi pada sifat anak yang ada dalam kandungan.

G. Implikasi Konsep Seks bagi Masyarakat Buton
Telah banyak tulisan yang membicarakan tentang cara membina generasi bangsa yang berbudaya, berkualitas dan berdaya saing dalam rangka memasuki era global. Sehubungan dengan itu, kabanti (KP) sebagai salah satu kamasutra Buton, menjelaskan implikasi yang dapat terjadi jika seseorang tidak memahami tata cara berhubungan seks.
Di dalam teks kabanti (KP) dijelaskan bahwa jika tata cara seks tersebut tidak diindahkan, maka bibit yang dihasilkan akan dimakan rayap. Tentunya dari aspek kualitas akan menurun, dan bahkan anak-anak seperti ini akan menjadi beban masyarakat. atau bahkan mereka akan meninggal sebelum terlahir atau ketika mereka masih bayi. Peringatan seperti itu dapat dilihat dari kutipan berikut.
Eyo madaki tee wakutuu apepali
Alamtina akandea mparo-mparo Hari jelek hari yang terlarang
Pertanda tanaman dimakan rayap

Selanjutnya, bagi anak-anak yang lahir dari hasil hubungan seks di hari-hari yang baik (Jumat, Senin, Rabu dan Kamis) dan waktu yang baik yakni waktu isa, dhuhur dan subuh akan memiliki sifat yang baik, sehingga mereka akan berbudaya, bermartabat dan biasanya mereka akan berkualitas dan memiliki daya saing yang tinggi. Sebaliknya bagi mereka yang lahir dari hari-hari dan waktu yang terlarang, masyarakat Buton meyakini bahwa anak-anak itu akan memiliki akhlak yang jelek dan pada akhirnya mereka tidak berbudaya, tidak bermartabat dan daya saingya pun semakin rendah.
Di dalam teks kabanti (KP) dijelaskan tentang tata cara perawatan bibit yang disemai. Di atas telah dijelaskan bahwa untuk merawat bibit yang disemai harus dipagari dengan syara dan adat. Khusus untuk ajaran syariat, kesucian menjadi landasan perawatan bibit yang ada dalam masyarakat Buton. Bagi perempuan yang malas membersihkan diri terutama setelah melakukan hubungan seks, maka akan berdampak pada proses kelahiran yang susah. Di samping itu, tentunya harus tetap dijaga dengan tasbih agar jiwa ibu dan ayah dari si cabang bayi itu tetap berada dalam keadaan suci.
Dalam kehidupan masyarakat Buton, hukum syara sangat tegas bila berhubungan dengan perzinahan. Dalam sejarah masyarakat Buton seorang sultan dapat dijatuhi hukum nabu polo, yaitu ditenggelamkan ke tengah lautan. Hal ini sebagai langkah pemerintah kesultanan Buton untuk menjaga dan mendidik generasi muda Buton di masa yang akan datang, bahwa perzinahan berimplikasi pada kualitas keturunan generasi Buton.
Oleh karena itu, konsep seks dalam naskah kabanti (KP) memiliki implikasi dalam rangka menciptakan generasi yang berbudaya, bermartabat di dalam masyarakat kesultanan Buton. Tidak berlebihan jika orang-orang tua Buton sangat berhati-hati dalam memilih dan mendidik anak-anak mereka dalam kehidupan adat. Hal ini dapat dilihat dari banyak moment adat yang ditujukan pada pembentukan mental calon ayah dan ibu sejak mereka masih bayi atau kanak-kanak. Beberapa moment adat tersebut adalah komba oalu, gunti hotu, karia (toba), landa wuta, dan terakhir adalah sombo (pingitan) menjelang mereka akan dinikahkan. Semua itu adalah sarana pembelajaran generasi Buton menganai adat dan berpuncak pada pengajaran mengenai konsep seks sebagai bagian tertinggi dari ajaran adat dan budaya Buton.


H. Penutup
Berdasarkan pembahasan di atas, maka naskah kabanti (KP) merupakan salah satu naskah Buton yang memuat tentang adab seks bagi masyarakat Buton yang tentunya memiliki nilai kearifan lokal yang berharga bagi pembinaan generasi bangsa. Jika ditrasformasikan ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dewasa ini, maka tidak menutup kemungkinan akan tercipta generasi muda yang unggul dan bermartabat di masa-masa yang akan datang.

Daftar Pustaka
Esten, Mursal. 1999. Desentralisasi Kebudayaan. Bandung: Angkasa.
Rusdin, Ali. 2002. Kaluku Panda: Telaah Filologis Naskah Wolio. Bandung: Tesis Pascasarjana Universitas Padjajaran.
Schoorl, Pim.2003. Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton. Jakarta: Djambatan, KITLV.
Malim, La Ode. 1983. Membara di Api Tuhan: Alih Bahasa dan Terjemahan. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
Naskah kabanti Kaluku Panda Atuwu Incana Dempa




La Kabaura
Pada zaman dahulu, di kerajaan Buton lahirlah seorang laki-laki yang bernama La Kabaura. Sejak kecilnya ia telah memiliki bakat yang tinggi dan ilmu yang cerdas. Badannya tegap, hitam, mata yang tajam. Matanya seperti mata elang. Maka sejak ia kecil, ia telah menjadi perhatian ayahnya yang menjadi guru ngaji di Buton. Sejak kecilnya ia sudah belajar tentang ajaran islam dari ayahnya. Ia begitu cepat belajar Alqur’an. Ia sangat fasih membaca Alqur’an. Ia juga sangat pintar bermain raga. Di samping itu, ia juga berguru ilmu beladiri balaba. Ia juga selalu mengikuti ayahnya melakukan amala .
Memasuki masa anak-anak, La Kabaura telah beberapa kali hatam Alquran. Ia juga sudah sering mengikuti kajian-kajian yang diajarkan ayahnya. Di samping itu, ia juga belajar pada kakeknya. Hampir semua guru-guru agama di tanah Buton ini sudah datangi.
Setiap hari La Kabaura membantu ayahnya mengajar di pengajian. Di samping itu, ia juga sering membantu ayahnya di kebun. La Kabaura tumbuh menjadi anak yang tidak pernah mengeluh. Ia begitu gesit dan periang.
Melihat kecerdasan La Kabaura, setelah selesai shalat subuh, berkatalah ayahnya kepada La Kabaura, “Anakku, saya melihat kamu sangat berbakat untuk menjadi guru. Lebih baik kau buka perguruan sendiri.” Ayah La Kabaura menatap anaknya dengan penuh kasih sayang.
“Maksud ayahanda, saya akan menjadi guru?” Tanya La Kabaura heran.
“Iya anakku, bantulah ayah dalam menyiarkan agama Islam ini di negeri tetangga kita. Karena kalau kau mengajar, ilmumu akan semakin matang.
“Kemana ayahanda hendak mengirimku?” Tanya La Kabaura. Ia duduk bersila di dekat kaki ayahandanya.
“Ke arah matahari terbenam anakku, pergilah ke sana agar kelak kau dapat menjadi orang besar di kesultanan ini. Kalau kau sudah di sana ajarkanlah ilmumu ini”.
La Kabaura menemui ibundanya, adik-adiknya dan seluruh handai tolan keluarga di negeri Buton. Ia berpamitan untuk pergi merantau ke negeri orang. Kalau ia dapat menjadi guru ngaji, Alhamdulillah, tetapi kalau tidak ia dapat bekerja di negeri orang.
Maka berangkatlah La Kabaura dengan menumpang di perahu karoro menuju arah matahari terbenam. Ia naik perahu (Bangka) menuju tanah Gowa, kerajaan yang besar. Selama tiga hari tiga malam, pulau kabaena dan pulau selayar sudah mulai dilalui. Ombak dari arah selatan dengan tiupan angin timur yang kencang membuat perahu itu melaju membelah laut Flores.
Setiba di pelabuhan kerajaan Gowa, La Kabaura turun dengan senang, karena ia dapat hadir di ibukota kerajaan Gowa. Turunlah La Kabaura. Hari berganti hari, minggu berganti minggu minggu berganti bulan, dan setelah bertahun-tahun tinggal di tanah Gowa. La Kabaura mencari pekerjaan. Maka berbaurlah La Kabaura dengan orang-orang kerajaan. Dari situlah La Kabaura dipekerjakan oleh kerajaan Gowa untuk menjaga gudang senjata di bekalang istana.
Sejak menjadi pengaja gudang senjata kerajaan La Kabaura tersebut semakin akrab dengan pihak kerajaan. Suatu malam Jumat, setelah tengah malam, La Kabaura selalu bangun melaksanakan shalat tahajud, dan setelah melakukan shalat, La Kabaura membaca kita Alquran. Dari mulutnya mengalun suara yang merdu. Di tengah malam seperti itu, suara La Kabaura mengalun hampir terdengar oleh seluruh penghuni istana termasuk pembesar-pembesar kerajaan lainnya.
Mendengarkan suara tersebut, terbangunlah sang Raja. Ia mendengarkan suara itu dengan penuh hikmat. Tetapi ia selalu bertanya-tanya nyanyian apakah itu.
“Sayang, kau bangun dulu. Aku mendengar sesuatu,” raja membangunkan permaisuri. Permaisuri bangun dan ikut mendengarkan suara tersebut.
“Saya belum pernah menderngarkan nyanyian itu sayang. Bapak tidur saja, nanti besok baru kita cari asal usul suara itu.” Maka tidurlah raja dengan penuh keheranan.
“Iya, saya sangat senang mendengarkan suara itu. Aku akan memerintahkan para seniman kerajaan untuk menyanyikan nyanyian seperti itu.”
“Istriku, suara itu membuatku nyaman dan tenang.”
“Tidurlah sayang, besok saja baru kamu suruh pengawal-pengawalmu mencari sumber nyanyian itu.
Di tempat yang lain, para pengawal kerajaan yang sedang bertugas malam itu juga mendengarkan suara itu dengan penuh heran. Mereka belum pernah mendengarkan suara tersebut. Maka berjingkak-jingkaklah salah seorang dari mereka ke arah gudang senjata. Ia mengetahui bahwa asal suara itu dari dalam gudang senjata. Tetapi dalam hatinya, ia senang mendengarkan nyanyian itu.
Setelah besok paginya, raja memanggil seluruh pemabantu-pembantunya perihal nyanyian yang didengarnya tadi malam. Tetapi tidak satu pun yang pernah mendengarkan nyanyian itu sebelumnya. Kami juga sangat kagum mendengar nyanyian tersebut.
“Tadi malam Baginda mendengarkan nyanyian yang sangat merdu di dengarkan. Apakah kalian juga mendengarkan nyanyian itu?”
“Kami juga mendengar nyanyian itu Baginda, tetapi kami tidak tahu dari mana sumbernya.” Suara La Kabaura yang menggunakan tenaga dalam tinggi memiliki volume yang sama pada setiap telinga yang mendengarnya. Ternyata hampir seluruh masyarakat mendengarkan suara itu dengan volume yang hampir sama.
Setelah seminggu masyarakat menceritakan nyanyian tengah malam tersebut, maka pada malam jumat berikutnya, nyanyian itu kembali muncul. Seperti biasa La Kabaura kembali bangun tengah malam di dalam gudang senjata. Di tengah gelap gulita La Kabaura terbangun untuk mendirikan shalat malam. Dan setelah bangun, ia kembali membaca AlQuran. Maka seluruh penghuni kerajaan kembali terbangun mendengarkan nyanyian itu. Tak satu pun anggota warga kerajaan yang mengenal nyanyian itu.
Mendengarkan nyanyian itu, sang raja kembali membangunkan istrinya. “Istriku, coba kamu bangun! Bukankan suara itu kembali terdengar? Sejak suara pertama permaisuri telah terbangun.
“Kakanda, tolong perintahkan agar nyanyian itu diajarkan di dalam istana. Aku sangat sua dengan nyanyian itu.”
“Saya juga sangat suka dengan itu, istriku. Saya akan bangga kalau putra-putri kita memiliki kemampuan untuk menyanyikan lagu-lagu seperti itu.”
“Iya Baginda, Adinda juga akan begitu senang kalau putra-putri kita dapat menyanyikan suara tersebut.
“Tetapi apakah baginda tidak salah mengajarkan sesuatu yang belum kita kenal, siapa tahu suara-suara itu adalah suara setan.” Permaisuri merasa was-was atas keinginannya untuk mengajarkan nyanyian yang mereka belum kenal ada dan siapa penyanyinya.
Di sekitar kerajaan, masyarakat turun ke luar rumah semua. Mereka berjalan-jalan mencari asal suara tersebut. Mereka mencari ke bekang rumah, ke gua-gua dan mereka berkeliling kampung secara bersama-sama. Maka tiba-tiba suara itu menghilang.
La Kabaura pun kembali tidur. Masyarakat kembali kehilangan sumber suara tersebut. Cembalo perbincangan di masyarakat semakin membuat penasaran hampir seluruh rakyat kerajaan. Tidak di laut, tidak di pasar, tidak di kebun. Semua menceritakan nyanyian yang sudah dua malam jumat mereka dengar itu.
Semua masyarakat menganggumi suara itu, mereka merasa nyaman dengan nyanyian itu. Setelah hampir satu minggu mereka memperbincangkan nyanyian itu. Tibalah malam jumat berikutnya. Seperti biasa La Kabaura kembali bangun tengah malam. Setelah shalat, La Kabaura kembali membaca Alquran.
Bangunlah masyarakat untuk mencari sumber suara tersebut. Dan pengawal kerajaan di yang kebetulan pergi kencing di sekitar gudang senjata semakin jelas mendengarkan suara itu. Lalu ia memperhatikan gudang senjata. Ia melihat seberkas cahaya di dalam gudang senjata, sementara ia tahu bahwa dilarang membawa api di dalam gudang senjata. Dikhawatirkan jangan sampai terbakar. Tetapi pengawal kerajaan melihat adanya cahaya di dalam gudang senjata.
Maka mengintiplah pengawal itu ke dalam gudang senjata. Begitu ia terkesima dengan apa yang di lihatnya. Ia sedang menyaksikan La Kabaura sedang membaca sebuah kitab dan di cahaya tersebut berasal dari dadanya. Ia hampir sja melaporkan saat itu kepada raja, tetapi karena ia tertarik dengan suara tersebut, maka pengawal kerajaan tersebut tidak mau melaporkan peristiwa yang barusan dilihatnya.
Seperti biasa kembali masyarakat mencari sumber suara itu. Tetapi tidak pernah berhasil di mendapatkan sumber suara tersebut.
Besoknya raja memanggil seluruh pegawai kerajaan sehubungan dengan suara misterius yang membuatnya dirinya dan masyarakat penasaran karena keindahan suara tersebut.
“Mulai sekarang, kita harus mencari sumber suara tersebut, sebab itu sudah sangat meresahkan masyarakat.” Maka mengahadaplah pengawal kerajaan yang sudah sempat melihat La Kabaura tersebut.
n“Ampun Baginda, mengenai sumber suara itu, saya sudah melihatnya. Ia adalah suara anak kecil yang ada di gudang senjata itu. Ampun Baginda, atas kelancangan Hamba.
“Kalau benar itu perkataanmu, silahkan kau pergi panggil anak kecil itu untuk menghadap sekarang juga. Maka memohon pamitlah pengawal itu untuk pergi memanggil La Kabaura. Setiba di gudang senjata, La Kabaura sedang membersihkan senjata kerajaan.
“La Kabaura, silahkan ikut ssaya menghadap baginda Raja.”
“Untuk apa saya harus menghadap baginda Raja.”
“Karena kau selalu menyanyi di tengah malam dan itu mengganggu seluruh warga kerajaan”. Maka menghadaplah La Kabaura kepada baginda.
“Apakah kau yang selalu menyanyi tengah malam itu?” baginda raja menatap La Kabaura.
“Aku bukan menyanyi Baginda, aku membaca ayat-ayat Alquran.” Jawab La Kabaura
“Apa itu Alquran?’ baginda balik bertanya.
“Kitabullah Baginda, kita yang memuat ajaran Islam.
Setelah banyak menjelaskan tentang Islam, maka baginda raja meminta La Kabaura untuk mengajarkan ngaji kepada putra-putri raja. Maka sejak saat itu, La Kabaura bukan lagi menjadi penjaga gudang senjata, tetapi kini menjadi guru agama Islam di kerajaan Gowa.
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, maka tumbuhlah anak-anak raja menjadi putrid remaja yang cantik-cantik. Selama itu juga diajari tentang Islam oleh La Kabaura. Rasa kagum pun muncul di benak anak-anak raja akan kecerdasan La Kabaura. Sementara di sisi yang lain, La Kabaura pun tumbuhlah menjadi remaja yang tegap dan gagah. Ia pun sudah berlatih pencaksilat.
Bekal ilmu balaba yang dipelajarinya dari negeri leluhurnya di seberang lautan, membuatnya memiliki banyak kelebihan dalam ilmu bela diri. Maka masuklah La Kabaura menajadi prajurit kerajaan. Ia sangat berbakat dalam dunia militer di siang hari tetapi ia akan menjadi guru ngaji yang lembut jika sedang berhadapan dengan putra-putri raja, apalagi yang diajarinya sekarang sudah berubah menjadi gadis.
Suatu waktu sang raja sudah melihat anak-anak gadisnya sudah mulai besar. Maka raja pun mengadakan sayembara sepak raga untuk mencari pemuda-pemuda yang dapat mendampingi putra-putrinya suatau saat nanti. Acara dilaksanakan selama tujuh hari tujuh malam. Mulai dari pertandingan mengaji, sampai dengan pertandingan sepak raga.
Selama enam hari enam malam, La Kabaura belum pernah tertarik untuk ikut dalam permainan sepak raga tersebut. Sementara putri raja duduk di lantai dua rumahnya menunggu, siapa yang menjadi jodohnya. Karena siapa yang mampu menendang bola dan jatuh di gendongan putrid, maka itulah yang menjadi jodohnya.
Permainan raga dihadiri oleh berbagai utusan kerajaan di Nusantara. Seluruh kerajaan membawa putra mahkotanya untuk mendapatkan putri kerajaan Gowa. Sudah masuk hari ketujuh, maka tak satu pun yang mampu menendang bola dan jatuh di gendongan putrid. Raja pun sudah mulai khawatir, jangan-jangan putrinya tidak mendapatkan jodoh.
Maka setelah shalat jumat, di hari ketujuh La Kabaura memasuki ruang sepak raga. Tidak lama ia berdiri di tengah lapangan, maka tiba-tiba bola melenting di hadapannya. Maka bola diambilnya dengan kaki kanananya. Dan sejak saat itu, bola sudah tidak terlepas dari kakinya. Setiap gerakannya sangat menarik, hingga raja pun tertarik. Dan tiba-tiba ia menendang ke angkasa, bola raga pun tidak lai turun ke tanah. Tetapi malah terjatuh ke gendongan putrid raja.
Putrid raja terkejut, siapa gerangan yang kelak akan menjadi jodohnya tersebut. Maka larilah ia ke jendela lalu mengintip ke bawah. Dilihatnya La Kabaura masih menengadahkan mukannya ke arah loteng. Ia tersenyum melihat sang putrid muridnya yang duluan tersenyum padanya. Di sisi lain, sang raja merasa tidak enak dengan apa yang barusan terjadi.
Banyak utusan kerajaran-kerajaan lain, langsung berhenti bermain raga setelah kejadian itu. Sebagian langsung pulang, maka baginda raja mulai merasa tidak enak dengan La Kabaura. Akhirnya ia tidak setuju untuk menikahkan putrinya dengan penjaga gudang senjatanya. Maka diperintahkanlah untuk menangkap La Kabaura. Mendapatkan wirasat jelek tersebut, maka La Kabaura langsung berlari ke arah putrid dan menyuruhnya untuk melarikan diri.
Sang putri yang memang sudah jatuh cinta pada La Kabaura gurunya. Langsung saja ikut berlari dengan La Kabaura. Setengah hari mereka berlari, maka di belakang mereka Nampak ratusan prajurit kerajaan yang datang dengan marahnya untuk membunuh La Kabaura. Maka setelah mereka hampir ditemukan, La Kabaura memegang tangan putrid lalu membaca doa, maka menjelmalah mereka berdua menjadi batang kayu. Apa yang dipegangnya maka seperti itulah mereka akan menjelma.
Prajurit kerajaan tidak dapat lagi menemukan buronan tersebut. Dan setelah prajurit pergi maka La Kabaura dengan putrid tadi kembali menjelma menjadi manusia. Maka berjalanlah mereka menuju, setelah sekian lama berjalan kaki, maka mereka menemukan sungai. Maka La Kabaura menyuruh putrid raja untuk mandi dan mengajaknya untuk berwudhu.setelah keduanya berwudhu, maka La Kabaura melepaskan gelang sang putrid dan keduanya masuk ke dalam gelang tersebut. Maka hilanglah keduanya di pinggir sungai itu. Ternyata mereka telah sampai di tanah Buton.
Saat ini, air tempat mereka mandi dan berwudhu tadi, di sebut Jeneponto. Demikianlah cerita La Kabaura. Setiba di Buton, La Kabaura dinikahkan dengan putrid dan mereka akhirnya hidup bahagia dan tentram di dalam kerajaan Buton.