Abstrak
Tulisan ini merupakan upaya untuk mengungkap konsep kearifan lokal masyarakat Buton. Sebagai sebuah kesultanan, Buton memiliki berbagai konsep kearifan lokal yang ada dalam masyarakatnya. Misalnya konsep kearifan lokal terhadap lingkungan, (hutan, laut, karang, sungai) sistem politik, sistem sosial (konsep mengenai keluarga termasuk konsep seks).
Bagi masyarakat Buton, tatacara seks merupakan sesuatu yang fundamental terutama dalam upaya menciptakan generasi yang berbudaya dan bermartabat. Itulah sebabnya masyarakat Buton mengenal upacara pingitan untuk mengajarkan tatacara seks bagi calon ibu dan bapak yang mau dinikahkan. Sebab mereka percaya bahwa rusaknya generasi terletak dari pemahaman ayah dan ibunya tentang hubungan seks. Untuk kepentingan pengajaran bagi calon ayah dan ibu itulah naskah kabanti Kaluku Panda Atuwu Incuna Dempa selanjutnya disingkat (KP) hadir dalam kehidupan keluarga masyarakat Buton. Oleh karena itu, upaya penelusuran mengenai konsep kearifan lokal mengenai seks tersebut sangat penting terutama dalam mewujudkan generasi bangsa yang berbudaya dan bermartabat.
Data penelitian ini adalah naskah (KP) dan data lapangan berupa padangan masyarakat Buton tentang seks. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan semiotik dan etnografi. Pendekatan semiotik digunakan untuk menangkap makna teks kabanti (KP), sedangkan pendekatan etnografi digunakan untuk menelusuri konsep seks yang ada dalam pandangan masyarakat Buton.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam naskah kabanti (KP) menggambarkan tata cara pemilihan lahan (jodoh), waktu untuk menebas pohon (melamar, pernikahan), waktu untuk menanam (berhubungan intim), cara menanam (cara berhubungan intim), sampai pada cara perawatan bibit yang disemai hingga lahir menjadi seorang bayi. Dalam naskah juga dijelaskan mengenai sifat anak jika orang tunya mengikuti kaidah-kaidah seks, demikian juga implikasi jika terjadi kesalahan baik dalam pemilihan lahan, waktu menebas, menanam, ataupun cara merawat tanaman yang ada akan berdampak pada sifat anak atau bayi tersebut.
Sedangkan hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa tidak semua masyarakat Buton masih mengenal tata cara seks sebagaimana yang terdapat dalam naskah kabanti (KP). Hal ini disebabkan tidak semua generasi Buton diperkenankan untuk mempelajari naskah kabanti (KP). Dengan demikian, data lapangan menunjukkan bahwa keluarga yang mempunyai pengetahuan mengenai tata cara seks sebagaimana yang terdapat dalam naskah kabanti (KP) mempunyai anak-anak yang cenderung berbudaya dan bermartabat. Hal ini disebabkan karena tatacara seks tersebut berimplikasi pada sifat anak-anak. Sehingga berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, keluarga yang mempunyai pengetahuan tentang tata cara seks sebagaimana yang terdapat dalam naskah kabanti (KP) adalah keluarga bangsawan atau keluarga yang dihargai dalam masyarakat. Sedangkan di sisi yang lain, keluarga yang tidak mengenal konsep seks tersebut memiliki kecenderungan untuk mempunyai anak-anak nakal dan tidak berbudaya serta tidak bermartabat.
Kata Kunci: konsep seks, masyarakat Buton, kabanti, kaluku panda, semiotik, etnografi
A.Pendahuluan
Sebagai kesultanan, Buton memiliki peninggalan budaya baik yang didokumentasikan dalam bentuk lisan (tradisi lisan) maupun dalam bentuk tulisan (naskah). Nilai-nilai budaya Buton yang tersimpan dalam tradisi lisan dan tulisan (naskah) tersebut memiliki berbagai nilai kearifan lokal yang dapat berguna bagi pengembangan kebudayaan saat ini dan di masa yang akan datang. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Mursal Esten (1999: 105) bahwa sastra tradisi dapat menjadi sumber bagi suatu penciptaan budaya baru di dalam masyarakat modern. Oleh karena itu, penulusuran nilai-nilai budaya yang berakar pada masyarakat dapat memberikan inspirasi bagi terjadinya budaya baru. Di samping itu nilai-nilai budaya yang berakar dari masyarakat dapat memperkuat jati diri masyarakatnya dan dapat menjadi penanda identitas masyarakatnya sendiri.
Nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Buton yang tersimpan dalam tradisi lisan maupun naskah tersebut meliputi segenab kehidupan masyarakat Buton. Nilai-nilai kearifan lokal yang terdapat dalam naskah-naskah Buton tersebut dapat berupa nilai kearifan lokal terhadap lingkungan (hutan, laut, sungai, karang), sistem politik, konsep kesehatan, konsep pendidikan dan sistem sosial (termasuk di dalamnya mengenai konsep seks dalam kehidupan keluarga masyarakat Buton).
Bagi masyarakat Buton, tatacara seks merupakan hal fundamental dalam kehidupan mereka. Tata cara seks tersebut penting, terutama dalam upaya menciptakan generasi yang berbudaya dan bermartabat. Itulah sebabnya masyarakat Buton mengenal upacara pingitan untuk mengajarkan tata cara seks bagi calon ibu dan calon ayah yang mau dinikahkan. Mereka percaya bahwa pemahaman calon ayah dan calon ibu tentang tata cara seks akan mempengaruhi kualitas anak-anak mereka. Untuk kepentingan pengajaran bagi calon ayah dan ibu itulah naskah kabanti Kaluku Panda Atuwu Incana Dempa yang selanjutnya disingkat (KP) hadir dalam kehidupan keluarga masyarakat Buton. Oleh karena itu, upaya penelusuran mengenai konsep seks masyarakat Buton dalam naskah kabanti tersebut perlu dilakukan, terutama dalam rangka mentransformasikan nilai-nilai kerarifan lokal tersebut ke dalam kehidupan bangsa Buton dewasa ini.
Kabanti Kaluku Panda Atuwu Incana Dempa (KP) yang berarti “Kelapa Pendek yang Tumbuh di Batu Cadas” merupakan naskah kabanti yang ditulis oleh La Kobu (Yarona La Buandairi) yang bergelar Petapasina Baadia yang berarti yang memperbaiki kehidupan orang Baadia di bidang seks atau yang menanamkan adab seks di dalam masyarakat Baadia (Kraton Buton). Naskah ini memiliki banyak salinan dan sampai saat ini masih banyak tersebar di dalam masyarakat Buton. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Ali Rusdin (2002) bahwa naskah kabanti (KP) merupakan naskah yang banyak dijumpai dalam keluarga-keluarga yang ada dalam masyarakat Buton.
Persebaran naskah yang luas di dalam masyarakat Buton ini, menunjukkan bahwa naskah ini hidup dalam masyarakat pendukungnya. Hal ini disebabkan karena masyarakat Buton masih mempercayai bahwa generasi Buton yang berbudaya dan bermartabat ditentukan oleh proses penciptaannya. Kehadiran naskah kabanti (KP) dalam kepercayaan masyarakat Buton masih memegang peranan penting dalam menciptakan generasi Buton dimasa lalu, hari ini dan di masa yang akan datang.
Sehubungan dengan itu, orang-orang tua Buton dapat meramalkan seorang anak yang dilahirkannya, apakah seorang anak akan menjadi orang besar, orang baik, orang pintar atau bahkan anak itu kelak akan menjadi orang bodoh dan orang jahat sejak ia dilahirkan. Hal ini disimpulkan dari latar belakang orang tua, perilaku orang tua sejak proses penciptaan, proses pemeliharaan di masa-masa kehamilan sampai pada proses kelahiran.
Jika dibaca secara sekilas, naskah kabanti (KP) hanya menyajikan tata cara berkebun, tetapi bagi masyarakat Buton simbol-simbol itulah yang kemudian dimaknai sebagai petunjuk yang memuat konsep seks dalam kehidupan rumah tangga masyarakat Buton. Oleh karena itu, untuk mengungkap makna teks kabanti (KP) diperlukan pendekatan semiotik-etnografi, yakni upaya memaknai teks berdasarkan sudut pandang masyarakat dan budaya pendukung teks tersebut. Dalam hal ini, naskah kabanti (KP) akan dimaknai dari prespektif masyarakat Buton sebagai masyarakat pendukungnya. Karena makna kabanti (KP) akan dapat dipahami melalui konvensi pemaknaan yang ada dalam masyarakat Buton sebagai masyarakat pemilik naskah tersebut.
B. Tata Cara Pemilihan Jodoh
Kabanti (KP) sebagai kitab yang memuat tentang konsep seks masyarakat Buton atau memuat tentang tata cara berkeluarga bagi masyarakat Buton dimulai dari saat memilih jodoh sampai pada proses perawatan bibit yang disemai. Hal ini berangkat dari pemahaman masyarakat Buton bahwa sifat dapat diturunkan dari orang tua kepada anak-anaknya . Oleh karena itu, dalam kajian mengenai konsep seks masyarakat Buton, persoalan pertama yang dipikirkan adalah soal pemilihan jodoh. Proses pemilihan jodoh ini merupakan salah satu penegasan yang terdapat dalam naskah kabanti (KP). Hal ini dapat dilihat kutipan berikut.
Ee karoku fikiria porikana
Wakutuuna tongkana beu porikana
Piliakea tana mosantaogana
Nunua mpuu ponue molaengana Wahai diriku pikirkan lebih dahulu
Waktu engkau masa menebas
Pilihkan tanah yang subur
Telusuri betul tanah yang memuaskan
Bait kabanti di atas menunjukkan peringatan bagi generasi Buton untuk berhati-hati dalam memilih jodoh. Kata ‘tanah’ dalam teks kabanti di atas bagi masyarakat Buton diinterprestasikan sebagai perempuan. Artinya bahwa tanah yang subur adalah perempuan yang subur, perempuan yang memiliki potensi untuk dapat melahirkan anak-anak yang baik. Perempuan yang berasal dari keluarga yang baik-baik. Oleh kerena itu, penelusuran yang dilakukan oleh orang tua terhadap jodoh anak-anaknya didasarkan pada sejarah kehidupan dan silsilah orang tuanya.
Fokus penelitian orang tua Buton pada saat memilih jodoh bagi anak-anaknya adalah aspek sifat (akhlak) yang dimiliki oleh suatu keluarga tertentu secara turun-temurun. Mereka akan meneliti apakah keluarga tersebut pernah melanggar adat atau tidak, pernah terhukum atau tidak, dan apakah keluarga tersebut memiliki akhlak yang baik atau tidak. Dari situlah orang-orang tua Buton menitikberatkan penelitiannya pada saat memilih jodoh bagi anak-anak mereka. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Wa Habi (40) bahwa sifat orang tua akan banyak mempengaruhi sifat anak-anaknya. Perilaku ayah dan ibunya saat hamil akan mempengaruhi sifat anak yang dikandungnya.
Kepercayaan masyarakat Buton bahwa sifat orang tua banyak mempengaruhi sifat anak-anaknya tersebut dapat dilihat dari sistem ketatanegaraan Buton. Walaupun kesultanan Buton tidak mengenal darah biru dan putra mahkota, tetapi dalam sejarahnya, Dewan Siolimbona Kesultanan Buton pernah memesan putra mahkota dari Sultan Muhamad Idrus Kaimuddin karena Dewan Siolimbona memiliki keyakinan bahwa sultan dapat menurunkan sifat-sifatnya yang adil pada anak-anaknya . Dengan demikian, masyarakat Buton sangat hati-hati dalam proses pemilihan jodoh bagi anak-anaknya karena mereka percaya bahwa tidak mungkin mendapat generasi yang baik pada keturunan yang tidak baik akhlaknya.
Implikasi dari konsep seks tersebut di atas, tidak terlepas dari pemahaman masyarakat Buton bahwa calon sultan sudah harus ditelusuri sejak ia masih kecil atau bahkan dari silsilah orang tuanya. Selain itu, pentingnya pemilihan tanah (perempuan) dalam teks kabanti di atas, mengacu pada salah satu pertimbangan bahwa kelayakan seorang calon sultan untuk menjadi sultan adalah dilihat dari kelayakan seorang istri untuk menjadi permaisuri (Shcoorl, 2003: 227). Tentunya ada rahasia yang dimiliki oleh masyarakat Buton dalam memilih jodoh. Rahasia yang dicari oleh masyarakat Buton sebenarnya adalah apakah sebuah keluarga tersebut memahami konsep seks dalam naskah kabanti (KP) itu atau tidak, sebab mereka meyakini bahwa seks bukan saja kebutuhan badani tetapi proses untuk menuju keillahian. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Pim Schoorl bahwa kehidupan spritual mistitisme masyarakat Buton menitikberatkan kehidupan cinta kasih dalam keluarga dan masyarakat. Mereka menganggap bahwa hubungan antara laki-laki dan perempuan sebagai model atau hal lain ciptaan Tuhan. Hubungan kasih sayang antara ayah dan ibu dalam proses lahirnya manusia adalah hubungan yang mengarah kepada penyatuan kepada Tuhan (Schoorl, 2003: 227-228).
Walaupun masyarakat Buton berhati-hati dalam hal pemilihan jodoh, tetapi tidak jarang juga mereka kurang teliti dalam menelusuri latar belakang kehidupan seseorang baik pribadi maupun sejarah keluarganya. Mengenai hal tersebut, tradisi lisan kabanti masyarakat barata Kaedupa menjelaskan sebagai berikut.
Nopilimo dhi ntotono’a
Kambedha te gandu bubuko Ia telah memilih di tempat yang subur
Tetapi ternyata hanya jagung yang berulat
Data etnografi tersebut di atas menjelaskan bahwa walaupun generasi Buton telah berhati-hati dalam memilih jodoh sebagaimana dianjurkan dalam naskah kabanti (KP), tetapi tidak semua orang Buton mampu menelusuri jodoh anak-anaknya dengan baik. Bagi masyarakat Buton kegagalan dalam pemilihan jodoh tersebut menyebutnya dengan istilah gandu bubuko.
Sehubungan dengan hal tersebut, masyarakat Buton memiliki pandangan bahwa dalam memilih jodoh bagi anak-anaknya terdapat kriteria yang harus diperhatikan yakni aspek fisik, keturunan, harta dan akhlak dari seseorang yang akan dilamar menjadi menantu. Ini tentunya dipengaruhi oleh konsep Islam mengenai kriteria calon istri/suami. Sedangkan dalam masyarakat Buton dewaasa ini aspek yang ditonjolkan dalam memilih jodoh adalah aspek akhlak. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh La Musuidu bahwa orang-orang tua Buton memilih jodoh bagi anak-anaknya selalu mempertimbangkan pake (akhlaknya) .
Wa leama tonto di komba
Tepolaro nantoogeno Yang cantik dapat dilihat di bulan
Tetapi akhlak yang lebih utama
Teks kabanti dalam tradisi lisan tersebut, merupakan salah satu pandangan masyarakat Buton, terutama dalam melihat calon menantu bagi anak-anaknya. Dimana dijelaskan bahwa kalau masalah kencatikan, masih dapat kita lihat pada bulan, tetapi yang paling penting dalam kehidupan dalam kehidupan keluarga adalah akhlak.
C. Waktu untuk Menebas (Melamar)
Di samping hal-hal yang telah disebutkan di atas, naskah kabanti (KP) juga menjelaskan tentang waktu-waktu yang baik untuk melamar. Waktu yang baik untuk melamar atau menikahkan anak-anak bagi masyarakat Buton adalah ketika anak-anak sudah memasuki usia dewasa. Masyarakat Buton percaya bahwa pernikahan diusia dewasa akan mempengaruhi kualitas generasi. Dalam naskah kabanti (KP) dikiaskan dengan menggunakan tamsil kilat dan guntur. Hal ini dapat dilihat dalam teks kabanti berikut.
Guntu tumondu kapajagana moincana
Obibitona tandana tao baao
Linti-lintina kapekalapena tana
Osiytumo wakutuuna momulia Guntur yang kedengaran pertanda nyata
Kilat halilintar pertanda tahun baru
Ujung-ujungnya perbaikan kesuburan tanah
Itulah yang dinamakan waktu yang mulia (penanaman)
Bait kabanti di atas menunjukkan bahwa waktu yang baik untuk menebas adalah pada saat ada tanda yang nyata. Tanda yang nyata tersebut dapat dilihat dari kondisi fisik dan mental dari seorang laki-laki atau perempuan. Oleh karena itu, masa yang baik untuk menebas dalam masyarakat Buton adalah jika kata dan hati telah sejalan. Pada saat itulah, seseorang telah memiliki kesiapan untuk melamar atau dilamar oleh pasangan hidupnya.
Penggunaan tamsil kilat dan guntur dalam naskah kabanti (KP) tidak terlepas dari pengaruh pemahaman masyarakat Buton tentang tanda-tanda alam. Oleh karena itu, seorang remaja yang sudah mau menikah sudah harus memiliki kesiapan fisik dan mental untuk menjalani kehidupan rumah tangga. Di samping itu, penggunaan kilat dan guntur dalam teks kabanti di atas, juga dapat dimaknai sebagai tanda yang harus dipelajari apakah putra-putri, apakah mereka sudah siap untuk dinikahkan atau belum? Kesiapan mereka tersebut dapat dilihat dari sikap dan jawaban mereka saat ditanya oleh kedua orang tua mereka.
Sehubungan dengan waktu melamar/ menikah tersebut, jika perempuan atau laki-laki dinikahkan sebelum dewasa, maka masyarakat Buton memiliki data etnografi dalam bentuk tradisi lisan sebagai berikut.
Kaasi wa kalemo-lemo
Kuheka runga-rungangkomo Kasihan Wa Kalemo-lemo
Aku memetikmu di saat kamu masih muda
Data etnografi tersebut di atas, merupakan suatu ingatan kolektif masyarakat Buton mengenai pentingnya kematangan atau kedewasaan bagi calon suami atau calon istri. Banyak pernikahan usia dini yang berakhir dengan perceraian di dalam masyarakat Buton. Rata-rata mereka menikah tidak lagi menerima petunjuk orang tua, tetapi mereka terbawa cinta mereka. Akibatnya, secara mental mereka belum siap, dan penderitaan pun mulai melanda keluarga tersebut. Dalam keluarga yang tidak berlandaskan kasih sayang tersebut, mustahil untuk mendapatkan generasi yang berbudaya dan bermartabat. Tetapi yang akan terlahir adalah generasi yang bodoh, mudah histeri dan kerdil cara berpikirnya.
Dalam kehidupan masyarakat Buton, guntur dan kilat merupakan pertanda untuk menebas atau membuka lahan pertanian. Di dalam teks kabanti (KA) dijelaskan bahwa guntur dan kilat harus merata baru dilakukan penamaman. Hal ini dapat dilihat kutipan berikut.
Urango pea guntu rende ngkalelei
Daangiapo tandana bibitona tawakala
Kumalintina pasaramo aumbamo
Pentaamea waona posaranakaa
Iweitumo maka upombulaia Engkau dengarkan bunyi yang merata
Ada dahulu tanda kilat tawakal
Tanda pasrah pada tuhan telah ada
Nantikanlah hujan yang menjadi harapan
Disitulah baru engkau menanam
Sebagian masyarakat Buton menafsirkan bait ini sebagai tanda untuk melihat kedewasaan seorang anak yang akan dinikahkan. Misalnya, jika seorang anak muda masih menyebut beberapa orang gadis, itu pertanda ia belum dewasa. Artinya anak muda tersebut belum tawakal untuk menikahi seorang perempuan. Tetapi jika yang ia cintai tinggal satu orang perempuan dengan sepenuh hatinya, maka orang-orang tua Buton sudah seharusnya memilih waktu-waktu yang baik untuk melangsungkan pernikahan. Dengan demikian, masa yang baik untuk menebas bagi generasi muda Buton adalah usia dewasa karena diusia dewasa seseorang sudah memiliki kesiapan untuk menjalani kehidupan rumah tangga.
D. Waktu untuk Menanam (Berhubungan Intim)
Dalam naskah kabanti (KP) di samping membicarakan mengenai tata cara pemilihan jodoh atau lahan, juga dilengkapi dengan informasi mengenai waktu-waktu yang baik untuk menebas dan menanam (berhubungan intim). Masyarakat Buton meyakini bahwa waktu melakukan sesuatu mempunyai peran dalam menentukan hasil dari sesuatu tersebut, termasuk waktu untuk melakukan pernikahan, hubungan seks dan pekerjaan lainnya.
Oleh karena itu, hari-hari yang baik untuk melakukan hubungan seks dalam naskah kabanti (KP) adalah hari Jumat, Senin, Rabu dan Kamis. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut.
Eo malope jumaa tee isinene
Temo dhuka arabaa tee hamisi
Temodaki bholi umpombulaiya
Temo duka wakutuu apepali Waktu yang baik Jum’at dan Senin
Dan pula Rabu dan Kamis
Hari yang jelek jangan menanam
Dan juga waktu yang terlarang
Sedangkan hari-hari yang terlarang untuk melakukan hubungan seks menurut naskah kabanti (KP) adalah hari Sabtu, Minggu dan Selasa. Hal ini dapat kita lihat dalam kutipan berikut.
Sapotuu ahadhi tee salasa
Osiytumo eyo inda momalape Sabtu, Ahad dan Selasa
Itulah hari yang tidak baik
Di samping hari-hari yang telah disebutkan di atas, naskah kabanti (KP) juga memuat informasi mengenai waktu-waktu yang baik dan yang buruk untuk melakukan hubungan seks. Waktu yang baik untuk melakukan hubungan seks dalam naskah kabanti (KP) adalah waktu Shubuh, Zuhur dan Isa. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut.
Wakutuu talu anguna motopenena
Osiytumo wakutuu momulia
Wakutuu subuh tee dhoro
Te isa kamondona talu angu Waktu yang tiga yang terbaik
Itulah waktu yang mulia
Waktu subuh dan dhuhur
Dengan isa genab menjadi tiga
Sedangkan waktu-waktu yang terlarang adalah waktu ashar dan magrib. Hal ini dapat kita lihat dalam bait berikut.
Wakutuuna asara teemagaribi
Osiytumo wakutuu apepali Waktu ashar dan magrib
Waktu itulah yang terlarang
Dalam konsep etnografi masyarakat Buton ditemukan bahwa hari-hari yang baik dan waktu yang baik untuk melakukan hubungan seks dapat mempengaruhi kualitas keturunan mereka. Tetapi sebagian masyarakat Buton mempercayai bahwa melakukan hubungan intim di waktu shubuh, akan berdampak pada anak yang pendek umurnya, sehingga mereka memilih untuk melakukan hubungan intim di waktu Isa. Mereka meyakini bahwa anak yang lahir dengan hasil hubungan intim di waktu isa akan panjang umurnya. Di samping itu, anak tersebut kelak akan memiliki akhlak yang baik, taat pada ajaran agama. Sedangkan anak yang lahir dari hasil hubungan intim pada waktu Dhuhur akan berdampak pada wataknya yang keras.
Di dalam teks naskah kabanti (KP) juga menjelaskan mengenai dampak dari hasil penanaman yang tidak sesuai dengan waktu yang baik. Dampak dari penanaman yang dilakukan pada hari-hari yang tidak baik tersebut, dikiaskan bahwa tanaman yang ditanam di hari jelek pertanda tanaman dimakan rayap. Hal ini dapat dilihat teks berikut.
Eyo madaki tee wakutuu apepali
Alamtina akandea mparo-mparo Hari jelek hari yang terlarang
Pertanda tanaman dimakan rayap
Adanya waktu-waktu yang baik dan buruk untuk melakukan hubungan seks dalam naskah kabanti (KP) merupakan salah satu pelajaran bagi masyarakat Buton tentang tata cara seks. Sehubungan dengan waktu untuk melakukan hubungan seks tersebut, masyarakat Buton juga melarang melakukan hubungan seks disaat gerhana bulan. Mereka menganggap bahwa melakukan hubungan seks disaat gerhana bulan adalah ‘pemali’. Mereka meyakini bahwa berhubungan intim pada saat bulan purnama akan berdampak pada wajah anak yang dapat lahir dalam keadaan sumbing. Sedangkan hubungan seks yang dilakukan pada waktu air laut pasang akan berdampak pada kemudahan rezeki bagi calon bayi.
Dengan demikian, masyarakat Buton melakukan pemingitan sebelum menikahkan anak-anaknya untuk mengajarkan tata cara seks kepada kedua mempelai. Tetapi pada perkembangan dewasa ini kebanyakan generasi Buton tidak mau lagi dipingit. Malah mereka menganggap bahwa pingitan adalah salah satu upaya untuk membelanggu perempuan. Banyak generasi muda Buton yang menganggap bahwa budaya masa lalu adalah budaya yang tidak penting bagi kehidupan masyarakat Buton dewasa ini.
E. Cara Menanam (Cara Berhubungan Intim)
Di samping menjelaskan hari dan waktu yang baik untuk melakukan hubungan seks, kabanti (KP) juga menjelaskan mengenai tata cara berhubungan seks. Di dalam teks kabanti (KP) dijelaskan tata cara berhubungan seks itu dengan kutipan berikut.
Podo saide boli ukaago-ago
Pombulayitu bolipo sau pombula
Ukamatapea wao molagi
Urango pea guntu rende ngkalelei Pelan-pelan dan jangan terburu-buru
Menanam itu jangan asal menanam
Lihat tanda hujan yang terus menerus
Engkau dengarkan bunyi yang merata
Teks kabanti di atas, menjelaskan bahwa dalam melaksanakan hubungan seks tidak boleh dilakukan dengan cara terburu-buru. Pekerjaaan apa pun jika dilakukan secara terburu-buru hasilnya akan jelek, baik prosesnya maupun hasil akhirnya. Di dalam teks kabanti juga dijelaskan peringatan bahwa dalam menanam jangan asal menanam. Karena menanam (melakukan seks) dengan cara terburu-buru akan mempengaruhi kualitas seks dan kualitas keturunan.
Sedangkan pada baris /ukamatapea wao molagi/ “lihat tanda hujan yang terus menerus”, /urango pea guntu rende ngkalelei/ “engkau dengarkan bunyi yang merata”, di sini menjelaskan tentang tata cara rangsangan yang harus dilakukan pada semua daerah sensitif yang ada pada tubuh masing-masing pasangan (bagian sensitif pada kedua pasangan). Rangsangan harus merata baru dilakukan penanaman (melakukan penetrasi).
Sehubungan dengan waktu penetrasi, dalam naskah kabanti (KP) digambarkan bahwa harus ada tanda pasrah dari seorang istri baru melakukan penetrasi. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut.
Daangiapo tandana bibitona tawakala
Kumalintina pasaramo aumbamo
Pentaamea waona posaranakaa
Iweitumo maka upombulaia Ada dahulu tanda kilat tawakal
Tanda pasrah pada Tuhan telah ada
Nantikanlah hujan yang menjadi harapan
Di situlah baru engkau menanam
Teks kabanti di atas, merupakan petunjuk dalam melakukan hubungan seks yang menjelaskan bahwa ransangan harus merata ke seluruh tubuh, dan perempuan telah tawakal baru dapat melakukan penetrasi. Hal ini dapat dilihat dari kilat dan guntur yang telah merata ke seluruh tubuh dan itu pertanda hujan telah dekat.
Sehubungan dengan tata cara berhubungan seks tersebut, dalam prosesi perkawinan masyarakat Buton, biasanya ada seorang ibu-ibu yang menyamar dari keluarga perempuan (yang dituakan) mengevaluasi calon suami dengan pertanyaan tentang tata cara seks dihari pernikahan. Biasanya ibu-ibu tersebut duduk di pintu rumah perempuan atau di tangga rumah paling bawah. Perempuan tersebut akan memberikan pertanyaan kepada calon pengantin laki-laki dan bertanya tentang jumlah tangga rumah yang akan dinaikinya. Pertanyaan itu biasanya dalam bentuk sebagai berikut, “Sekarang kamu akan naik ke rumahnyanya La .... (nama ayah pengantin perempuan) apakah kamu telah mengetahui berapa tangga rumahnya”? Jika calon pengantin laki-laki salah menjawab, maka biasanya akan ditahan di depan pintu atau dilarang masuk ke dalam rumah. Pada saat itu semua orang akan mengentahui bahwa calon pengantin belum memiliki pengetahuan tentang tata cara seks. Jika hal itu terjadi, maka akan berimplikasi pada malam pertama mereka. Laki-laki yang menjawab salah akan disuruh pulang untuk bertanya mengenai tata cara seks pada keluarganya. Tetapi jika jawabannya benar, maka kedua pengantin akan menikmati malam pertama tanpa dihalangi oleh keluarga perempuan karena dianggap telah memahami tata cara seks sebagaimana yang diajarkan dalam naskah kabanti (KP).
Jumlah tangga rumah yang dimaksudkan di dalam pertanyaan masyarakat Buton di atas bukanlah tangga rumah yang ada di depannya, melainkan tangga sorgawi atau beberapa tempat rangsangan yang ada pada tubuh seorang perempuan. Di dalam naskah kabanti (KP) tidak dijelaskan secara rinci mengenai beberapa tangga dalam proses hubungan seks tersebut, tetapi akan dijelaskan dalam syara dan adat yang dalam masyarakat Buton.
Dalam kehidupan masyarakat Buton dewasa ini, konsep seks ini sangat dirahasiakan karena tata cara seks ini berhubungan dengan kepercayaan mereka bahwa tata cara seks dapat mempengaruhi kualitas generasinya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Wa Ode Hijrah bahwa salah satu rahasia keluarga yang memiliki anak-anak yang sukses adalah terletak pada tata cara melakukan hubungan seks disaat menciptakan anak-anak itu .
F. Cara Perawatan Bibit
Di dalam naskah kabanti (KP) di samping menjelaskan mengenai waktu untuk menebas, waktu untuk menanam dan cara menanam, juga menjelaskan tata cara merawat bibit yang disemai tersebut. Sehubungan dengan tata cara merawat bibit yang disemai tersebut, naskah kabanti (KP) menjelaskan bahwa pagarilah dengan sara dan adat. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut.
Tondoakea sarai tee adati
Sisiakea faradluu moyincana
Kabubusina zikiri tee tasubehe
Perawoina kahaluwati tee toba Pagarilah dengan sara dan adat
Sisihkan dengan fardhu yang nyata
Penyiramnya zikir dan tasbih
Perawatannya khalwat dan tobat
Teks kabanti di atas, menggambarkan bahwa tata cara merawat bibit yang disemaikan adalah harus dipagari dengan syara dan adat. Dalam kehidupan masyarakat Buton sangat mementingkan kesucian (thaharah). Sehubungan dengan tata cara kehidupan berkeluarga masyarakat Buton, kesucian merupakan salah satu penekanan yang diberikan oleh adat. Untuk merawat bibit yang telah disemai tersebut, setelah melakukan hubungan seks seorang istri harus mensucikan diri lebih dahulu dari pada laki-laki. Ini akan berdampak pada proses kelahiran dan kualitas bayi yang dilahirkan. Yang dimaksud dengan kesucian dalam kehidupan masyarakat Buton adalah kesucian sebagaimana yang dijelaskan oleh Muhamad Idrus Kaimuddin dalam kabanti Bula Malino. Di situ dijelaskan bahwa “Wahai diriku, sucikanlah dirimu”, yang ditafsirkan olah La Ode Malim bahwa belum dikatakan suci seseorang kalau baru mandi tujuh kali satu hari, belum dikatakan suci seseorang kalau baru mandi dengan memakai sabun, seseorang dikatakan suci kalau ia telah suci lahir dan batin (Malim, 1983: 20).
Di samping itu, merawat bibit yang disemai di dalam rahim tersebut, dijelaskan dalam naskah (KP) sebagai berikut.
Ee karoku mopeelona kalape
Tee ingkomiu monununa kalabia
Palihara potontomu tee onimu
Malinguaka ilarangina sarai Wahai diriku yang mencari kebaikan
Dan kamu sekalian yang mencari kemuliaan
Peliharalah penglihatan dan perkataanmu
Dari segala yang dilarang oleh sara
Teks kabanti tersebut di atas menunjukkan ajaran mengenai tata cara merawat bibit yang baik. Jika mau mendapatkan bayi yang baik, maka peliharalah penglihatan dan perkataan dari segala yang dilarang oleh sara (agama). Yang dimaksud dengan larangan sara dalam naskah kabanti (KP) di atas adalah jika seorang istri sedang mengandung atau hamil seorang suami tidak boleh melakukan perbuatan zina. Hal ini dapat dilihat dalam berikut.
Wakutuuna akambeli mbeliyitu
Udala iki tee telaena kampunga
Beu potiba tee bawine iweyitu
Alae-lae atawa mokototona Waktu engkau berjalan-jalan itu
Engkau berjalan di persimpangan jalan
Engkau bertemu dengan perempuan di situ
Gadis atau yang punya hak
Moko kumbako uzina boli unda
Osiytumo cacu inda motamba
Ee karoku boli ukajoro-joro
Pengkaanana bari-baria mingkumu Walau dipanggilmu berzina jangan mau
Itulah racun yang tidak ada obatnya
Wahai diriku jangan bersifat jahat
Hati-hatilah dengan segala gerak perbuatanmu
Pori pepei bara sala upokawa
Boli pewau ulausi mokogundina
Temo hakuna imatauna hukumu
Maekaia barancoo usidaraa Berhati-hatilah jangan sampai bertemu
Jangan berani terhadap gundiknya orang
Itu adalah haknya yang diketahui hukum
Takuti, jangan sampai engkau terjerumus
Ulauaka idala inciayitu
Apesuamo racu incana kaaromu
Apopeelumo ujuyitu tee badamu
Aponantimo katada tee antomu Kapan engkau berani di jalan itu
Masuklah racun di dalam dirimu
Saling mencarilah ujung itu di badanmu
Saling mencari yang tajam dengan isimu
Beberapa bait kabanti di atas, menunjukkan larangan sara dan adat yang ada untuk keluarga yang menginginkan keturunan yang baik-baik. Rupanya pengarang sangat memahami pengaruh perselingkuhan dan dampaknya pada psikologis seorang ibu yang sedang hamil. Psikologis yang tidak bahagia akan mempengaruhi kualitas bayi yang sedang dikandungnya.
Selanjutnya dalam adat, orang Buton sangat menjunjung tinggi perempuan yang hamil. Mereka melakukan komba oalu (Bulan ke delapan kehamilan) sebagai upaya untuk memperingati perjuangan dan pengorbanan perempuan. Di samping itu, jika seorang istri dalam keadaan hamil, maka istri dan suami tersebut tidak dapat melakukan sesuatu perbuatan yang sia-sia (mencuri, berbohong dan lain-lain) atau merusak alam seperti menyiksa hewan, memotong hewan, merusak hutan. Dalam pemahaman masyarakat Buton, itu akan berimplikasi pada sifat anak yang ada dalam kandungan.
G. Implikasi Konsep Seks bagi Masyarakat Buton
Telah banyak tulisan yang membicarakan tentang cara membina generasi bangsa yang berbudaya, berkualitas dan berdaya saing dalam rangka memasuki era global. Sehubungan dengan itu, kabanti (KP) sebagai salah satu kamasutra Buton, menjelaskan implikasi yang dapat terjadi jika seseorang tidak memahami tata cara berhubungan seks.
Di dalam teks kabanti (KP) dijelaskan bahwa jika tata cara seks tersebut tidak diindahkan, maka bibit yang dihasilkan akan dimakan rayap. Tentunya dari aspek kualitas akan menurun, dan bahkan anak-anak seperti ini akan menjadi beban masyarakat. atau bahkan mereka akan meninggal sebelum terlahir atau ketika mereka masih bayi. Peringatan seperti itu dapat dilihat dari kutipan berikut.
Eyo madaki tee wakutuu apepali
Alamtina akandea mparo-mparo Hari jelek hari yang terlarang
Pertanda tanaman dimakan rayap
Selanjutnya, bagi anak-anak yang lahir dari hasil hubungan seks di hari-hari yang baik (Jumat, Senin, Rabu dan Kamis) dan waktu yang baik yakni waktu isa, dhuhur dan subuh akan memiliki sifat yang baik, sehingga mereka akan berbudaya, bermartabat dan biasanya mereka akan berkualitas dan memiliki daya saing yang tinggi. Sebaliknya bagi mereka yang lahir dari hari-hari dan waktu yang terlarang, masyarakat Buton meyakini bahwa anak-anak itu akan memiliki akhlak yang jelek dan pada akhirnya mereka tidak berbudaya, tidak bermartabat dan daya saingya pun semakin rendah.
Di dalam teks kabanti (KP) dijelaskan tentang tata cara perawatan bibit yang disemai. Di atas telah dijelaskan bahwa untuk merawat bibit yang disemai harus dipagari dengan syara dan adat. Khusus untuk ajaran syariat, kesucian menjadi landasan perawatan bibit yang ada dalam masyarakat Buton. Bagi perempuan yang malas membersihkan diri terutama setelah melakukan hubungan seks, maka akan berdampak pada proses kelahiran yang susah. Di samping itu, tentunya harus tetap dijaga dengan tasbih agar jiwa ibu dan ayah dari si cabang bayi itu tetap berada dalam keadaan suci.
Dalam kehidupan masyarakat Buton, hukum syara sangat tegas bila berhubungan dengan perzinahan. Dalam sejarah masyarakat Buton seorang sultan dapat dijatuhi hukum nabu polo, yaitu ditenggelamkan ke tengah lautan. Hal ini sebagai langkah pemerintah kesultanan Buton untuk menjaga dan mendidik generasi muda Buton di masa yang akan datang, bahwa perzinahan berimplikasi pada kualitas keturunan generasi Buton.
Oleh karena itu, konsep seks dalam naskah kabanti (KP) memiliki implikasi dalam rangka menciptakan generasi yang berbudaya, bermartabat di dalam masyarakat kesultanan Buton. Tidak berlebihan jika orang-orang tua Buton sangat berhati-hati dalam memilih dan mendidik anak-anak mereka dalam kehidupan adat. Hal ini dapat dilihat dari banyak moment adat yang ditujukan pada pembentukan mental calon ayah dan ibu sejak mereka masih bayi atau kanak-kanak. Beberapa moment adat tersebut adalah komba oalu, gunti hotu, karia (toba), landa wuta, dan terakhir adalah sombo (pingitan) menjelang mereka akan dinikahkan. Semua itu adalah sarana pembelajaran generasi Buton menganai adat dan berpuncak pada pengajaran mengenai konsep seks sebagai bagian tertinggi dari ajaran adat dan budaya Buton.
H. Penutup
Berdasarkan pembahasan di atas, maka naskah kabanti (KP) merupakan salah satu naskah Buton yang memuat tentang adab seks bagi masyarakat Buton yang tentunya memiliki nilai kearifan lokal yang berharga bagi pembinaan generasi bangsa. Jika ditrasformasikan ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dewasa ini, maka tidak menutup kemungkinan akan tercipta generasi muda yang unggul dan bermartabat di masa-masa yang akan datang.
Daftar Pustaka
Esten, Mursal. 1999. Desentralisasi Kebudayaan. Bandung: Angkasa.
Rusdin, Ali. 2002. Kaluku Panda: Telaah Filologis Naskah Wolio. Bandung: Tesis Pascasarjana Universitas Padjajaran.
Schoorl, Pim.2003. Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton. Jakarta: Djambatan, KITLV.
Malim, La Ode. 1983. Membara di Api Tuhan: Alih Bahasa dan Terjemahan. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
Naskah kabanti Kaluku Panda Atuwu Incana Dempa
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar