Kamis, 07 Oktober 2010

Kunjungan Keluarga ke Pantai Nambo



Salah satu cara untuk menikmati hidup adalah dengan membiarkan diri menyatu dengan alam. inilah saat-saat indah bersama di pantai Nambo, salah satu Destinasi wisata di Kota Kendari.

Kondisi jarak yang dekat antara Pantai Nambo dengan Kota Kendari menyebabkan kami dapat menikmati pemberian Tuhan ini dengan mudah. Anda juga dapat menikmatinya.

Indahnya Berenang di Wakatobi



Bagi teman-teman yang suka pada keindahan alam, maka datanglah ke Wakatobi, hubungi kami dan kami akan memberikan petunjuk bagaimana Anda Datang ke Wakatobi.

Di samping menikmati keindahan alamnya (lautnya) Anda juga dapat menikmati keindahan tradisinya.


TRADISI LISAN KABANTI: FUNGSI DAN PERANNYA DALAM MASYARAKAT WAKATOBI

Oleh : Sumiman Udu, S.Pd., M.Hum.

ABSTRAK
Tradisi lisan kaбanti merupakan salah satu bentuk puisi yang paling banyak berkembang dalam masyarakat Wakatobi dan Buton pada umumnya. Kaбanti lahir dan berkembang secara turun-temurun sebagai salah satu kesenian, maupun sebagai bagian dari berbagai aktivitas kehidupan masyarakat Wakatobi. Sehingga kaбanti merupakan rumah kebudayaan masyarakat Wakatobi. Di sisi yang lain, perkembangan berbagai kesenian modern, menyebabkan tradisi lisan kaбanti berada pada posisi yang mulai ditinggalkan oleh masyarakatnya. Hal ini disebabkan karena masyarakat Wakatobi dewasa ini tidak lagi memahami fungsi dan peran kaбanti sebagai penanda identitas dan rumah kebudayaannya.
Penelitian ini dilakukan dengan mengamati berbagai performansi kaбanti yang ada dalam masyarakat Wakatobi, yang dilengkapi dengan wawancara. Wawancara dilakukan dengan penyanyi kaбanti dan tokoh-tokoh masyarakat yang memahami adat dan budaya masyarakat Wakatobi. Data dari lapangan ditranskripsi dan terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia kemudian dianalisis dengan menggunakan metode analisis deskriptif untuk menguraikan fungsi dan peran kaбanti dalam masyarakat Wakatobi.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dalam masyarakat Wakatobi ditemukan beberapa fungsi dan peran kaбanti yaitu: a) berfungsi sebagai hiburan, b) alat untuk menyampaikan nasihat keagamaan; c) sebagai ingatan kolektif masyarakat tentang suatu peristiwa; d) sebagai sarana pendidikan bagi anak-anak dengan bahasa-bahasa yang bernilai tinggi; e) sebagai penghalus budi, penghalus rasa; f) sebagai sarana transfer budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya; g) sebagai pembangkit semangat; h) sebagai alat untuk memelihara sejarah setempat; i) sebagai alat protes sosial, yaitu memprotes ketidakadilan di dalam masyarakat. Selanjutnya, peran kaбanti dalam masyarakat Wakatobi sebagai berikut, yaitu (1) sebagai pengantar tidur, (2) sarana pengungkapan perasaan muda-mudi (pobanti), (3) bagian acara adat (kadandio), (4) penenang orang sakit (бae-бae), dan (5) nyanyian kerja. Selain itu, ada juga kaбanti yang dinyanyikan sebagai pengantar tarian atau bagian dari tarian, misalnya kaбanti yang menjadi bagian dari performansi tari lariangi, performansi tari pajoge, dan performansi tari kenta-kenta.
Kata kunci: tradisi lisan kaбanti, fungsi, peran, masyarakat Wakatobi.

Jumat, 14 Mei 2010

Buton dalam Mitologi, Ideologi, dan Ilmu Pengetahuan

Abastrac

Buton sebagai salah satu kesultanan yang ada di Nusantara, telah mengalami berbagai pergolakan pemikiran, mulai dari pemikiran yang mitologi, ideologi, sampai pada pemikiran berbasis ilmu pengetahuan. Namun, akhirnya Buton tidak dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan yang ada, hal ini disebabkan karena masyarakat Buton tidak dapat melepaskan diri dari aspek mitologi yang membuat mereka tidak rasional, tetapi penuh dengan irasional, tidak objektif, dan kemudian Buton dipecah belah oleh pemikiran ideologis yang juga tidak rasional dan objektif, Buton kehilangan aspek epistemology sebagai ruang untuk melakukan objektivitas dalam segala langkah.
Kajian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan fenomenologis untuk melihat dinamika kebudayaan masyarakat Buton.

Hasil kajian ini menunjukkan bahwa masyarakat Buton sampai hari ini masih dipengaruhi oleh aspek mitologi dan ideologi, sehingga masyarakat Buton tidak dapat berkembang menuju kemajuan sebagaimana beberapa daerah kesultanan yang ada di Nusantara dan dunia. Sementara kajayaan Buton di masa pemeritahan Muhamad Idrus Kaimuddin, saat ini ditinggalkan oleh masyarakat Buton sendiri.



kata kunci: Buton, mitologi, ideologi, ilmu pengetahuan


A. Pengantar

Buton sebagai salah satu Kesultanan yang ada di Nusantara, merupakan salah satu negeri atau bangsa yang trauma dalam sejarah (Zuhdi, 1999). Buton kehilangan konsepsi hidupnya selama berpuluh-puluh tahun. Buton tidak lagi mengenal dirinya, Buton terselimuti oleh mitologi dan ideologi, sehingga bangsa Buton kehilangan identitas dirinya sebagai bangsa yang memiliki dan mengagumi ilmu pengetahuan.

Perjalanan bangsa Buton pernah memasuki masa keemasannya yaitu pada masa pemerintahan Sultan Muhamad Idrus Kaimuddin. Ilmu Pengetahuan menjadi dasar dalam sistem pemerintahannya. Tidak salah kalau pada masa lalu kita mengenal ungkapan “Wolio siy mangkidi-kidi, kabongka-bongkana dunia”. Ungkapan leluhur Buton atas kebesaran bangsa Buton di atas, terlihat dari tingginya pergolakan ilmu pengetahuan di negeri ini . Penyebutan Buton sebagai pusat ilmu pengetahuan di masa lalu juga masih dapat ditelusuri dari banyaknya buah-buah pikiran leluhur kita yang tersimpan di dalam berbagai naskah. Hampir semua aspek kehidupan telah dibahas dalam naskah: pemerintahan, politik, pendidikan, persoalan perempuan, seks dan lain-lainnya.

Namun ungkapan tentang kebesaran Buton itu, hari ini perlu direfleksi kembali. Jangan sampai Buton kembali masuk ke dalam tahapan pemikiran mitologi, dan ideologi yang justru membawa Buton kepada masa kegelapan yang berdampak pada adanya perbedaan pandangan idiologis dalam masyarakat Buton sendiri. Sedanglan dalam sejarahnya, Buton telah mengalami tahapan berpikir ilmu pengetahuan yang membawa Buton pada masa keemasan di masa Muhamad Idrus Kaimuddin dan Syeh Haji Abdul Ganiu.

Untuk mengetahui lebih jauh tentang Buton dalam bingkai berpikir mitologi, ideology, dan ilmu pengetahuan, maka tulisan ini dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Studi pustaka (naskah dan beberapa referensi lainnya) dimaksudkan untuk mengetahui berbagai informasi mengenai sepek mitologi, ideologi dan ilmu pengetahuan di masa kesultanan Buton, sedangkan pengamatan dan wawancara dilakukan untuk mengetahui adat dan budaya Buton yang ada dalam masyarakat Buton dewasa ini. Selanjutnya data dianalisis dengan metode deskriptif kualitatif untuk menjelaskan perkembangan tahap-tahap pemikiran bangsa Buton di masa lalu dan hari ini.

B. Buton dalam Tahapan Pemikiran Mitologi

Dalam masyarakat Buton, tahapan pemikiran mitologi ini berlangsung sebelum abad ke-19 sampai awal abad ke-20. Menurut Kuntowijoyo (Dahlan dalam Ma’arif, 2005: 25-26), mitos adalah suatu konsep tentang kenyataan yang mengandaikan bahwa dunia pengalaman kita sehari-hari terus-menerus disusupi oleh kekuatan-kekuatan keramat. Sistem pemikiran mitos ini ditandai cara berpikir pralogis (mistis) yang mengambil bentuk magis, pemberontakan dengan lokasi pedesaan, bersifat lokal, berlatar belakang ekonomi agraris masyarakat petani, solidaritas mekanis yang biasanya digerakan oleh model kepemimpinan seorang tokoh kharismatik.

Dalam sejarah perjalanan bangsa Buton, mitos jauh lebih jauh dari pada sejarah Buton sendiri. Cerita mengenai kelahiran Ratu Wa Kaaka merupakan salah satu contoh fiksi yang melatari lahirnya bangsa Buton yang berbaur dengan sejarah. Walaupun sejarah kehadiran Ratu Wakaaka berdasarkan fakta sejarah, tetapi masih disimpan dalam bingkai fiksi, legenda. Itulah pasal yang menjadi sebab mengapa fakta sejarah dalam mitos tapil dengan wadak yang terlampau samar dan sumir.

Sebagaimana disebutkan di atas, di awal-awal pertama tumbuhnya kerajaan Buton, sebagaimana kerajaan-kerajaan lain di dunia, semua memiliki mitos untuk membesarkan rajanya. Tersebutlah kisah raja-raja yang berasal dari buih, dari kahyangan, atau raja-raja yang datang dari tumbuhan. Dalam konteks itu, raja Buton pertama Ratu Wa Kaaka dimitoskan lahir dari bambu. Dan dari hasil perkawinananya dengan Si Batara yang merupakan laki-laki yang ditemukan di laut lahirlah Bulawambona (bdk. Zahari, 1977/1978; Zaenu, 1984).

Dunia mitologi ini, bagi bangsa Buton di zamannya, merupakan suatu yang harus ada dalam mendukung nilai kharismatik dari sang ratu, sebab jika ratu itu berasal dari manusia biasa, maka ia tidak akan memiliki kharismatik (Naskah Hikayat Negeri Buton). Maka untuk kepentingan itulah, mitologi dibutuhkan dalam kerajaan Buton dan kerajaan-kerajaan lain yang ada di dunia. Namun, tahapan berpikir mitologi itu, sudah ditinggalkan oleh bangsa-bangsa lain yang ada di dunia, sementara bangsa Buton sampai hari ini masih menggunakan cara berpikir mitologi dan menganggap bahwa kehidupan sehari-hari mereka selalu dipengaruhi oleh aspek-aspek mistis dan supranatural, akibatnya bangsa Buton terlambat untuk maju jika dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain yang telah bergeser ke dalam tahapan berpikir ilmu pengetahuan dan teknologi.

Memang mitos bukan hanya produk masyarakat tradisional, tetapi dalam dunia modern pun masih tetap menggunakan aspek mitos, dan disinilah perlunya kesadaran baru bagi masyarakat Buton bahwa pentingnya untuk berpikir dengan menggunakan metode ilmu pengetahuan yang objektif dan rasional. Dalam masyarakat Buton dewasa ini, sebagain masyarakat masih memiliki cara berpikir yang diselimuti oleh cara berpikir mitologi yang masih dipengaruhi oleh mitos-mitos lama.

Akibatnya, di era digital seperti ini, bangsa Buton mengalami kemerosotan cara berpikir. Bangsa Buton hampir tidak dapat melepaskan diri dari pola pikir mitologi, yang berdampak pada etos kerja mereka yang irasional dan tidak objektif, tetapi masih tetap terselimuti oleh mitos-mitos yang selama ini diyakininya sebagai bagian sejarah yang menguntungkan mereka. beberapa contoh dari cara berpikir mitologi itu adalah adanya penonjolan identitas yang ada dalam kalangan Buton. Mereka hanya mempertentangkan persoalan strata sosial, ‘ode’ dan bukan ‘ode’, karena mereka menganggap bahwa gelar itu merupakan sarana untuk mendapatkan kharismatik di dalam masyarakat. Lebih-lebih Belanda dengan metode politik belah bambunya berusaha untuk mengaburkan pola pikir Buton yang ilmiah dalam tatanan kehidupan mereka, misalnya ukuruan manusia Buton dalam martabat tujuh. Sementara di sisi yang lain, sebagian masyarakat Buton yang tidak menggunakan gelar itu akan terus-menerus melawan, pada hal saat ini, yang terpenting bagi bangsa Buton adalah kinerja dan profesionalisme.
Tidak semua yang disebut mitos itu salah dalam kehidupan manusia, tetapi seluruh hal-hal yang berbau mitologi harus mampu dijelaskan dengan pendekatan-pendekatan ilmu pengetahuan, karena dalam ilmu inilah bangsa Buton harus berada dalam realitas, walaupun tidak terlepas dari sejarah dan impian-impianya.

Di sinilah, dunia sufistik yang selalu menjadi dasar dari sebagian kehidupan masyarakat Buton harus dibongkar melalui penjelasan-penjelasan akademis, sehingga masa depan generasi Buton dapat mengerti tentang hakikat dirinya sendiri. Di sini, Islam sebagai salah satu pandangan masyarakat Buton juga harus mampu didekati dengan pendekatan-pendakatan akademis yang rasional. Karena tanpa melalu pendekatan rasionalitas, bisa jadi dunia hayalan kita tersesat pada apa yang dirasakan. Oleh karena itu, kultur budaya masyarakat Buton harus mengalami perubahan dasar berpikir, dari mitologi dan ideologi yang subjektif ke pola pikir ilmiah yang objektif.

C. Buton dalam Tahapan Pemikiran Ideologi

Buton sebagai sebuah bangsa telah terkoyak oleh adanya cara berpikir ideologi. Dalam tahap berpikir ini, ideologi tampil sebagai panglima dalam perjuangan menuju apa yang dicita-citakan oleh penganutnya. Maka sebagai sebuah bangsa yang di dalamnya terdapat berbagai kepentingan melahirkan beberapa kelompok masyarakat di dalam masyarakat Buton.

Masyarakat Buton mengenal konflik kepentingan tiga golongan Buton yaitu kamboru-mboru tolu palena, yang telah menyisakan konflik politik berkepanjangan yang ada di dalam masyarakat Buton. Konflik itulah yang pada akhirnya Buton terpuruk, hanya karena kepentingan golongan yang masing-masing merasa memiliki kebenaran masing-masing. Serta adanya, pelapisan masyarakat dalam masyarakat Buton, yang terdiri dari kaoumu, walaka, maradika dan batua, merupakan kepentingan politik sebagai buah dari cara berpikir yang lahir dari nilai-nilai ideologis yang harus di capai bersama oleh kelompok pengikutnya.

Dalam tahapan pemikiran ideologi, bangsa Buton telah masuk dalam organisasi-organisasi modern, maka lahirlah organisasi-organisasi modern tetapi masih tetap dalam pengaruh mitologi yang masih mengandalkan aspek kharismatik dari tokoh yang ada di dalam masyarakat. Keterlibatan Buton sebagai bangsa yang menganut ideologi, telah menyulap aspek mitologi dalam sejarah bangsa mereka sebagai bagian doktrinasi kelompok atau strata sosial. Sehingga yang bukan kelompok atau berbeda stara sosial dianggap sebagai lawan yang harus dikalahkan. Di ruang inilah bangsa Buton mengalami kemerosotan dalam ilmu pengetahuan. Karena mereka saling menggancurkan dalam pergolakan politik tradisional yang digerakan oleh ideologi kelompok tradisional.
Lebih gawat lagi, Buton sejak awal abad ke dua puluh atau lebih jauh lagi dari itu, Buton telah terjebak dalam pola ideologi yang panjang. Hal ini terlihat dari lahirnya golongan-golongan bangsawan sejak kelahiran Buton. Sejak adanya konsep kamboru-mburo tolu palena , bangsa Buton telah berada pada tahapan berpikir ideologi, yaitu nilai-nilai tertentu yang menjadi salah satu landansan perjuangan dari kelompok-kelompok ideologi tersebut.

Perjuangan bangsa Buton dengan berdasarkan ideologi yang menjadikan politik sebagai panglima telah membawa bangsa Buton pada kelemahan-kelemahan perjuangan menuju Buton yang maju dan bermartabat. Sehubungan dengan cara berpikir ideologi tersebut, Kuntowijoyo (dalam Sugito, 2005: 58-59) mengatakan bahwa ada beberapa keterbatasan yang ada pada cara berpikir ideologi, yaitu: (1) terbukanya peluang untuk merusak soliditas suatu bangsa, karena terkotak-kotak dalam berbagai golongan dan kepentingan, (2) akan menyedot alokasi sumber daya suatu bangsa ke politik dan menelantarkan pembinaan di bidang ekonomi, pendidikan, kebudayaan, dan moral bangsa tersebut; (3) mendorong munculnya pemikiran yang hanya berjangka pendek, kerdil dan miskin pemikiran yang memiliki visi jangka panjang; (4) jalur ideologi dan politik tidak dapat diandalkan dalam pembangunan sebuah bangsa di masa depan, karena tidak dapat memberikan solusi pada persoalan kompleks yang dihadapi oleh masyarakat umum; (5) perjuangan melalui jalur politik biasanya akan mengabaikan pembinaan nilai-nilai dasar suatu bangsa; dan (6) belum ada bukti empiris dalam sejarah modern yang mampu meyakinkan bahwa umat akan meraih kejayaan menyeluruh dengan menggunkan partai politk sebagai instrument perjauangan.

Dengan demikian, tahapan berpikir ideologi, merupakan tahapan berpikir yang dapat menghambat kemajuan suatu bangsa. Demikian juga dengan apa yang terjadi di dalam negeri Buton, dimana perpecahan masyarakat yang disebabkan oleh konflik politik, lebih-lebih pasca pemilu multi partai, seluruh tatanan masyarakat dihancurkan oleh adanya kepentingan politik sesaat, lebih-lebih mereka yang menggunakan uang untuk tujuan politiknya. Dengan demikian, bangsa Buton dapat dikatakan bahwa mereka telah keluar dari filosofi kehidupannya yang mengagumkan dan nilai-nilai kebenaran dan kemanusiaan sebagai mana yang termaktub dalam undang-undang martabat tujuh.

D. Buton dalam Tahapan Pemikiran Ilmu Pengetahuan

Dalam tahapan berpikir dengan menggunakan ilmu sebagai landasannya akan berbeda dengan menggunakan ideologi sebagai landasannya. Dalam ilmu sebagai landasan berpikir akan selalu melihat fakta dari sudut pandang objektif. Sedangkan ideologi akan selalu memandang fakta dari sudut pandang subjektifitas. Sehingga kepentingan pribadi dan golongan akan selalu menjadi prioritas dalam pola pikir politik (Kuntowijoyo dalam Sugito, 2005: 58-59).

Persoalan ideologi telah menjadi catatan sejarah yang paling menggenaskan di tanah Buton. Buton telah mendapatkan coretan sejarah yang paling mengerikan, saling mefitnah, sebagai akibat dari subjektifitas kerena pengaruh ideologi telah membawa Buton pada trauma yang panjang. Akibatnya Buton tidak dapat berbuat apa-apa. Oleh karena itu, penggunaan ilmu pengetahun dalam pembangunan Buton Raya perlu dipertimbangkan, karena objektifitas dalam pembangunan, akan berdampak pada terbukanya kesempatan bagi siapa saja yang mau bekerja secara professional.

Di masa lalu, Buton telah memiliki konsepsi ketatanegaraan yang begitu sempurna. Melalui Undang-Undang Martabat Tujuh, harkat dan martabat manusia telah ditentukan oleh kinerja. Kalau di dalam martabat tujuh orang yang dihormati ada empat banyaknya, (1) karena keberaniannya, (2) karena kealimannya, (3) karena mengorbankan hartanya, dan (4) karena membawa kepandaiannya di jalan pemerintah dalam menyelesaikan pekerjaan pemerintah Wolio (Niampe, 2007: 220-221). Dengan demikian, sejak dari dulu bangsa Buton telah mengenal objektifitas dalam mendudukkan konsep ketatanegaraan mereka.

Di samping itu, falsafah bangsa Buton dalam konsep Pobinci-binciki kuli yang kemudian di jelaskan dalam sara pataanguna (Pomaa-maasiaka, popia-piaraaka, pomae-maeaka, dan poangka-angkataka merupakan landasan dari hukum humanisme yang memiliki pandangan dimana manusia Buton memiliki hak dan kedudukan yang sama di mata hukum dan politik.

Dengan demikian, jika bangsa Buton kembali kepada falsafah hidup yang pernah dirumuskan oleh leluhur mereka, objektifitas sebagai salah satu syarat dari tahapan berpikir ilmu pengetahuan dapat menjadi landasan berpikir dalam pembangunan Buton Raya dewasa ini. Kamboru-mboru tolu palena, sebagai tiga kekuatan politik di negeri Buton akan terhindar dari pertikaian internal. Mereka akan menilai secara objektif dalam melihat siapa yang pantas dalam memimpin Buton. Dalam masyarakat Buton, melakukan penelusuran mengenai rekaman sejarah perjalan seorang istri dan calon sultan sesuai dengan data yang ada di masyarakat.

Selanjutnya, dengan menggunakan pola berpikir ilmu pengetahuan, siapa pun di negeri Buton ini memiliki kesempatan untuk berkarya, karena itulah yang diinginkan oleh Undang-Undang Martabat Tujuh. Semua strata sosial yang ada di Buton memiliki kesempatan yang sama dalam rangka memberikan kontribusi dalam pembangunan Buton Raya. Tidak ada lagi yang merasa minder dan merasa superior, tetapi empat starata sosial (kaomu, walaka, maradika dan batua) yang ada di Buton akan bersaing secara objektif dalam pembangunan Buton Raya. Karena pada prinsipnya mereka memiliki kedudukan yang sama dalam falsafah pobinci-binciki kuli.

Melalui tahapan berpikir ilmu pengetahuan, bangsa Buton dapat memasuki persaingan global yang penuh dengan kompetisi di berbagai bidang kehidupan, karena mereka akan mengikuti kompetisi tersebut dengan cara pandang yang rasional, obejektif dan suportif. Dengan menggunakan tahapan berpikir ilmu pengetahuan tersebut, bangsa Buton dapat dihindarkan dari intrik politik yang keji dan hina sebagai buah dari ideologi yang harus diperjuangkan oleh setiap penganutnya.

Di samping itu, melalui penggunaan tahapan berpikir ilmu dalam pembangunan Buton Raya, bangsa Buton akan dibangunkan dari kungkungan mitologi yang telah lama menyelimuti bangsa Buton. Kalau selama ini bangsa Buton besar dalam lamunan dan hayalan atau lebih tepat bangsa Buton hidup dalam dunia setengah fiksi dan setengah realitas, maka melalui berpikir ilmu dapat memperjelas mana fiksi dan mana realitas dalam kehidupan bangsa Buton.

Tidak ada yang membenci tahapan berpikir mitologi dan ideologi, tetapi harus disadari bahwa bangsa-bangsa lain di dunia sudah berjalan menuju jalan baru. Mereka sudah menggunakan ilmu pengetahuan dalam membangun kemajuan bangsanya. Sementara bangsa Buton, masih terjebak pada ungkapan tentang sejarah yang dirahasiakan. Sejarah yang dimitoskan, atau bahkan sejarah yang disembunyikan. Lihatlah, setiap generasi bangsa Buton mempertanyakan tentang sesuatu di Buton, maka jawaban yang paling popular dalam kalangan masyarakat Buton adalah bahwa itu adalah rahasia. Mengapa tidak dibongkar? Dengan menggunakan pendekatan ilmu pengetahuan, semua itu dapat diberikan argument dalam bentuk naratologi yang rasional dan obejektif sesuai dengan realitas sejarah yang ada di masa lalu.

Sebagai bangsa para sufisme, bangsa Buton mengenal konsep kenalilah dirimu, maka kau akan mengenal tuhanmu. Untuk itu, agar dapat membangun bangsa Buton, maka terlebih dahulu generasi bangsa Buton harus mengenal bangsa Buton itu sendiri. Baik Buton dalam konteks sejarah maupun Buton dalam konteks faham. Melalui metode ilmu pengetahuan, sejarah Buton harus ditulis dan dibuka secara terang benderang, sehingga dapat menjadi bagian sejarah dalam konteks Indonesia dan bahkan penulisan sejarah dunia. Karena selama ini sejarah Buton merupakan sejarah yang kalah dalam konteks Indonesia, dan ini mesti bangsa Buton menyadari bahwa ini adalah kesalahan bangsa Buton sendiri yang membuat sejarah bangsanya menjadi samar dalam bingkai fiksi dan realitas yang disamarkan oleh pengaruh mitos yang belum pernah tersibak atau sengaja dibiarkan.

Sebutlah, Hikayat Negeri Buton, yang mengisahkan tentang asal-usul negeri Buton, tidak semuanya berisi aspek realitas, tetapi juga berisi mengenai aspek-aspek fiksi yang mencampuri cerita tersebut. Sehingga dalam menentukan siapa pemiliki negeri Buton ini sebenarnya, apakah Si Panjongan adalah orang pertama di sini, di negeri Buton ini? Jawabannya, adalah bisa ya, dan juga bisa tidak? Sebab Hikayat Negeri Buton sendiri banyak dipengaruhi oleh Hikayat Negeri Banjar. Karena di dalam hikayat negeri Buton sendiri juga menjelaskan adanya beberapa kerajaan kecil yang sudah lama ada di Buton.

Diperlukan pendekatan ilmiah dalam membongkar sejarah masa lalu bangsa Buton. Karena melalui pendekatan ilmiah, bangsa Buton dapat membebaskan diri dari aspek mitologi. Demikian juga dengan aspek ideologi, melalui pendekatan ilmiah bangsa Buton akan menuju Buton Raya yang rasional, objektif, analisis, kritik dan sistematis. Buton Raya yang dapat memilah dimana data objektif, dan dimana prespektif yang pasti tidak ilmiah, dimana keberpihakan akan selalu dipengaruhi oleh factor subjektif.

Di samping itu, untuk mengembalikan bangsa Buton sebagai salah satu pusat kebudayaan dunia di masa lalu, perlunya membongkar kembali pendekatan leluhur bangsa Buton dalam merencanakan dan mengembangkan kebudayaan Buton. Buton sebagai salah satu negara demokrasi pertama di dunia , memiliki konsepsi pemerintahan yang mampu mengakomodasi individualisme, kapitalisme, sosialisme, hukum dan religious. Konsepsi kehidupan bangsa Buton sebagai negara demokrasi pertama di dunia, dapat dilihat dari konsep inda-indamo arata, somanamo karo, inda-indamo karo, somanamo lipu, inda-indamo lipu somanamo sara, inda-indamo sara somanamo agama sadaa-daa (Putra, 2000: 86).

Dari konsepsi kehidupan sebagaimana disebutkan di atas, bangsa Buton memiliki sistem konsep hidup yang mampu memberikan jawaban atas berbagai masalah yang ada di dunia. Antony Geddes (2003) yang hanya mempertemukan kapitalisme dan sosialime dalam bukunya Jalan Ketiga Pembaruan Demokrasi Sosial, sudah menggoyang tatanan dunia, sementara itu, leluhur bangsa Buton yang sejak lama telah merumuskan penyatuan berbagai konsep ideologi tersebut di atas, bangsa Buton tinggalkan, atau hanya mengambil sebagian dari konsep tersebut secara terpisah. Dalam hubungannya dengan ini, perlukah ada refleksi tentang apa yang dilakukan oleh bangsa Buton hari ini? Masihkan bangsa Buton hari ini menggunakan konsepsi hidup yang pernah dirumuskan oleh leluhur mereka atau tidak?

Rupanya, dengan mendekati konsepsi hidup yang pernah dibangun oleh leluhur Buton melalui pendekatan ilmu pengetahuan, bangsa Buton dapat menunjukkan diri sebagai bangsa yang mampu memberikan alternative pemecahan masalah-masalah dunia. Sebagai contoh, persoalan lingkungan yang menjadi isu utama dunia hari ini, dapat diselesaikan hanya dengan cara membuka konsepsi bangsa Buton mengenai konsep kangkilo . Sebab dengan konsep kangkilo, bangsa Buton tidak akan merusak lingkungan. Hanya saja, perlunya metode ilmiah untuk memberikan penjelasan akademis dalam meyakinkan dunia tentang konsep lingkungan yang ada dalam kangkilo tersebut.

E. Penutup

Sebagai bangsa yang pernah berjaya selama beberapa abad, bangsa Buton memiliki berbagai pengalaman dan perkembangan pemikiran sesuai dengan zamannya masing-masing. Diawal kemunculannya, bangsa Buton masih dibangun atau dikonstruksi oleh tahapan berpikir mitologi, dan saat itu, bangsa Buton mampu melahirkan tokoh-tokoh kharismatik yang dapat membangun Buton sebagai kerajaan besar. Tetapi kemajuan masih ditunjang oleh aspek irasionalitas, sebagai ciri masyarakat tradisional.
Pada tahapan berpikir ideologi, saat inilah bangsa Buton mengalami kemerosotan perkembangan, perselisihan elit politik Buton telah bermuara pada konflik politik yang berkepanjangan. Subjektivitas menjadi pertimbangan yang sering dijadikan sebagai landasan berpikir dalam memberikan tanggapan atas sesuatu. Akibatnya sikap seperti itu berdampak pada hancurnya bangsa Buton secara politik, sosial, ekonomi dan budaya.

Oleh karena itu, untuk dapat mengembalikan bangsa Buton seperti kejayaannya di masa lalu, maka pola pikir bangsa Buton harus dikembalikan pada pola pikir ilmu pengetahuan yang didasarkan pada prinsip-prinsip ilmiah. Dengan demikian, bangsa Buton mampu memilah mana fiksi dan realitas, mana data dan mana presepsi serta bangsa Buton dapat memiliki berbagai pendekatan akademis dalam membangun dialog yang terbuka, rasional, objektif, analisis, kritik dan sistematis dalam membangun Buton Raya di masa yang akan datang. Bukan bangsa Buton yang penuh mitos yang kabur, dan bangsa Buton dalam bingkai ideologi yang subjektif.

F. Daftar Pustaka
Giddens, Anthony. 2002. Jalan Ketiga Pembaharuan Demokrasi Sosial. Jakata: PT Gramedia Pustaka Utama.
La Niampe, 1998. Kabanti Bula Malino : Kajian Filologis Sastra Wolio Klasik. Bandung : Universitas Padjadjaran: Tesis Program Pascasarjana.
Putra, Maia Papara. 2000. Membangun dan Menghidupkan Kembali Falsafah Islam Hakiki dalam Lembaga Kitabullah. Makassar: yayasan AUA Menyingsing Pagi.
Sahidin, La Ode. 2007. Kangkilo Pataanguna: Tinjauan Filologis. Bandung: Tesis Fakultas Sastra Universitas Padjajaran.
Schoorl, Pim.2003. Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton. Jakarta: Djambatan, KITLV.
Udu, Sumiman. 2006. Naskah Hikayat Negeri Buton. Kendari: belum diterbitkan.
Zaenu, La Ode. 1984. Buton dalam Sejarah Kebudayaan. Surabaya: Suradipa.
Zahari, Abdul Mulku. 1977/1978. Sejarah dan Adat Wil Darul Butuni. Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Depdiknas.
Zuhdi, Susanto. 1999. Labu Wana Labu Rope: Sejarah Buton Abad XVII-XVIII. Jakarta: Disertasi Program Pascasarjana Universitas Indonesia.
Ma’arif, Syafi’i, 2005. Muslim Tanpa Mitos: Dunia Kuntowijoyo. Yogyakarta: Lembaga Presma Ekspresi.

Rabu, 07 April 2010

Budaya Tradisi Lisan Yang Diabaikan

Tradisi lisan saat ini masih diabaikan, baik dari sisi kajian ilmu pengetahuan maupun aspek ekonominya. Padahal, tradisi lisan warisan budaya bangsa Indonesia yang sangat beragam, mempunyai potensi besar untuk dikembangkan dari sisi budaya maupun ekonomi.

”Tradisi lisan juga bernilai ekonomis bagi masyarakat,” kata Ahli Menteri Bidang Pranata Sosial Departemen Kebudayaan dan Pariwisata sekaligus salah seorang Pembina Asosiasi Tradisi Lisan, Mukhlis PaEni, dalam jumpa pers yang diselenggarakan Asosiasi Tradisi Lisan dan Pemerintah Kabupaten Wakatobi, Sabtu (8/11) di Jakarta. Kegiatan itu terkait dengan penyelenggaraan Seminar Internasional Tradisi Lisan Nusantara Ke-VI dan Festival Tradisi Lisan Maritim di Wakatobi pada 1-3 Desember 2008.

Menurut Mukhlis, pewarisan budaya berlaku sebagai proses sosial dan umumnya secara lisan, sebelum orang mengenal budaya tulis. Tradisi lisan antara lain narasi, legenda, anekdot, pantun, atau syair. Dalam cakupan lebih luas, tradisi lisan dapat berupa pembacaan sastra, visualisasi sastra dengan gerakan dan tari, hingga penyajian cerita melalui aktualisasi adegan oleh pemeran. Tradisi lisan juga berkaitan dengan sistem kognitif masyarakat, seperti adat istiadat, sejarah, etika, sistem geneologi, dan sistem pengetahuan.

Menurut Mukhlis, tradisi lisan merupakan deposit penting dalam khazanah tambang budaya Indonesia. Terdapat ratusan etnik dan budayanya di Tanah Air.

”Di era ekonomi dan industri kreatif, deposit ini seharusnya dikelola untuk kesejahteraan masyarakat,” ujarnya.

Sumber inspirasi

Mukhlis menambahkan, memasukkan tradisi sebagai bagian dari industri kreatif bukan berarti mentah-mentah mencabut tradisi itu dari akarnya dan ”menjualnya” atau mengomersialisasikannya begitu saja. Namun, tradisi lisan itu menjadi sumber inspirasi untuk penciptaan produk kreatif, misalnya musik, program televisi, film, teater, opera, dan produk lain yang mempunyai nilai ekonomis. Dapat pula dibuat semacam duplikasi yang khusus untuk industri kreatif. Dia mencontohkan naskah I La Galigo dari Makasar.

”Naskah tersebut pernah dijadikan pertunjukan oleh Robert Wilson dan dipentaskan di luar negeri. Untuk menonton I La Galigo, orang Indonesia harus nonton di teater di Amsterdam, Belanda, dan membayar puluhan euro,” ujarnya.

Memiliki nilai tambah

Ketua Asosiasi Tradisi Lisan sekaligus pengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Pudentia MPPS, mengatakan, pada intinya bagaimana tradisi lisan yang sangat kaya di Indonesia tersebut agar mempunyai nilai tambah dan kekuatan untuk masuk ke industri kreatif. Asosiasi Tradisi Lisan sendiri, setelah merevitalisasi sejumlah tradisi lisan, kini mulai memikirkan bagaimana agar tradisi lisan tersebut dapat terus teraktulisasi di dalam masyarakat dan memberikan nilai tambah.

”Terkadang setelah revitalisasi, tradisi tersebut tetap sulit untuk mendapatkan tempat di masyarakat dan dilupakan kembali,” ujar Pudentia.

Untuk itu, Asosiasi Tradisi Lisan mulai membuat sejumlah film, salah satunya tentang Teater Mak Yong, sebuah teater Melayu yang hampir punah. Lembaga nirlaba tersebut juga mengumpulkan ratusan hasil penelitian mengenai mitos, cerita daerah, kesenian tradisional, bahasa, kajian etnografi, dan komunikasi yang didokumentasikan lembaga tersebut.

Bupati Wakatobi Hugua, dalam kesempatan yang sama, berpendapat, tradisi lisan bagian dari eksistensi manusia. Kabupaten Wakatobi yang merupakan daerah kepulauan tidak hanya kaya akan alam bawah lautnya, tetapi juga budaya termasuk tradisi lisannya.

Jumat, 19 Maret 2010

PERAN PEREMPUAN DALAM PEMBANGUNAN BUTON RAYA

A.Pengantar
Perempuan pernah mengalami masa-masa gemilang di dalam sejarah kesultanan Buton. Keterlibatan perempuan di dalam sistem pemerintahan Buton di masa lalu dapat dilihat dari keberadaan raja Buton pertama dan raja Buton kedua. Raja Buton pertama adalah Ratu Wakaaka dan raja keduanya adalah Ratu Bulawambona (Zahari, 1977/1978; Zaenu, 1984). Di zaman kesultanan, perempuan bertanggung jawaba atas kesejahteraan dan keselamatan kesultanan. Di samping itu, tugas perempuan adalah menjadi guru bagi anak-anak Buton. Sehingga dapat dikatakan bahwa peran perempuan dalam masyarakat Buton sejak awal berdirinya kerajaan Buton telah menempati posisi-posisi strategis.
Melihat berbagai peran perampuan di masa lalu, keterlibatan perempuan dalam berbagai dimensi kehidupan telah menjadikan Buton sebagai salah satu kesultanan yang menempatkan posisi laki-laki dan perempuan dalan kondisi yang saling melengkapi. Oleh karena itu, dalam pembangunan Buton Raya keterlibatan perempuan dan laki-laki dapat menciptakan suatu keharmonisan yang dapat menjadi sumber kekuatan dalam menciptakan kreativitas dan kinerja yang baik. Hal ini senada yang dikemukakan oleh orang-orang tua Buton bahwa keharmonisan keluarga berimplikasi pada vitalitas kinerja anggota keluarga tersebut.
Pentingnya penelusuran konsep mengenai peran perempuan di dalam sistem pemerintahan kesultanan Buton, mengingat sistem ini pernah diterapkan dalam kerajaan Buton selama beberapa abad . Selama itu pula, keterlibatan perempuan dalam sistem pemerintahan kesultanan Buton begitu besar. Hal ini dapat dilihat dari keberadaan perempuan sebagai ratu dan sebagai oputa bawine (permaisuri) dan sara bawine (Dewan Perempuan) dalam sistem pemerintan kesultanan Buton.
Untuk mengetahui lebih jauh tentang peran perempuan dalam pembangunan Buton Raya di masa depan, maka tulisan ini dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Studi pustaka (naskah dan beberapa referensi lainnya) dimaksudkan untuk mengetahui berbagai informasi mengenai peran perempuan dalam sistem kesultanan Buton di masa lalu, sedangkan pengamatan dan wawancara dilakukan untuk mengetahui adat dan budaya Buton yang ada dalam masyarakat Buton dewasa ini. Selanjutnya data dianalisis dengan metode analisis deskriptif kualitatif untuk menjelaskan peran perempuan dalam sistem pemerintahan kesultanan Buton dan peran perempuan dan pembangunan Buton Raya.

B.Peran Perempuan dalam Pembangunan Buton Raya
Untuk menjelaskan peran perempuan dalam pembangunan Buton Raya, maka analisis dalam tulisan ini akan dilakukan dengan melihat beberapa hal yang terkait dengan peran perempuan di masa kesultanan Buton, karena peran perempuan dalam pembangunan Buton Raya, diharapkan berakar dari budaya Buton sebagai identitas. Dengan berakar pada nilai-nilai kebutonan yang dipadukan dengan nilai-nilai baru sesuai dengan perkembangan dewasa ini, diharapkan peran perempuan dalam pembangunan Buton dapat dimaksimalkan sesuai sehingga dapat menjadi kekuatan pembangunan yang bersinergi dalam menciptakan harmisits dan kinerja yang tinggi serta kualitas kerja yang memiliki daya saing yang tinggi.
1. Peran Perempuan dalam Bidang Pemerintahan
Peran perempuan dalam pembangunan Buton Raya khususnya dalam sektor pemerintahan dapat dimaksimalkan dengan melihat beberapa peran perempuan dalam sistem pemerintahan kesultanan Buton di masa lalu. Di masa lalu, perempuan pernah tampil sebagai ratu pertama dan ratu kedua kerajaan Buton. Ini menunjukkan bahwa perempuan waktu itu memegang peranan penting dalam sistem pemerintahan kerajaan Buton.
Setelah raja Buton kelima sekaligus sultan Buton pertama (Lakilaponto/Latimba-timbanga) (Zuhdi, 1995: 54), kedudukan perempuan di dalam pemerintahan kesultanan Buton sudah mengalami kemerosotan. Sejak saat itu, perempuan tidak pernah lagi menduduki posisi strategis sebagai sultan dalam pemerintahan kesultanan Buton. Tetapi, perempuan masih terlibat dalam sistem pemerintahan kesultanan Buton sebagai permaisuri. Keterlibatan perempuan tersebut dapat dilihat dari adanya prosesi pelantikan istri sultan sebagai oputa bawina (permaisuri) yang hampir sama dengan upacara untuk pelantikan sultan. Pelaksana upacara itu ialah istri para pejabat yang terlibat dalam upacara pelantikan sultan (Berg, 1939: 519).
Dalam tugasnya sebagai oputa bawina (permasuri), perempuan memiliki dua peran penting yaitu menjaga keselamatan dan kesejahteraan kesultanan. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Schoorl (2003: 217) bahwa, peran perempuan dalam kesultanan Buton adalah menjaga kesejahteraan dan keselamatan kesultanan dari berbagai macam penyakit, bencana alam dan panen yang gagal. Selian itu, permaisuri juga secara khusus bertugas untuk menjaga kesehatan dan keselamatan sultan.
Dalam kehidupan masyarakat Buton, perempuan juga bertanggung jawab atas beberapa hal, yaitu (1) merawat anak, (2) mencari rezeki bersama-sama dengan suami, (3) mendidik anak, dan (4) melakukan amalan, (amala) untuk melindungi keselamatan suami disaat berada di luar rumah (Udu, 2006: 145). Sehubungan dengan tanggung jawab tersebut, diuraikan dalam Sarana Azali dan Sarana Susua bahwa perempuan berkewajiban untuk mengatur hal-hal yang berhubungan dengan perawatan dan pendidikan anak-anak di dalam kesultanan.
Keberadaan perempuan dalam masyarakat Buton, dapat juga dilihat dari pandangan hidup (faham) masyarakat Buton yang memandang bahwa kesuksesan hidup hanya dapat diraih jika ada keharmonisan suami istri dalam keluarga. Segala percekokan dalam rumah tangga akan berdampak negatif pada masa depan kehidupan mereka, sebaliknya keharmonisan keluarga akan berdampak positif pada kesuksesan keluarga. Demikian juga dalam sistem pemerintahan, bahwa keharmonisan keluarga kesultanan akan berdampak pada keselamatan dan kesejahteraan keluarga, sebaliknya jika permaisuri tidak dapat menjalankan tugasnya dalam mendampingi sultan, maka akan berdampak negatif bagi jalannya pemerintahan (Udu, 2009: 3).
Dengan demikian, peran perempuan dalam pembangunan Buton Raya harus didasarkan pada nilai-nilai kebutonan sebagai jati diri dan sebagai landasan dalam melakukan aktivitas dalam berbagai dimensi kehidupan. Kalau di zaman kesultanan istri seseorang merupakan salah satu pertimbangan dalam pencalonan sultan, maka syarat seperti itu sebaiknya dapat dijadikan sebagai salah satu pertimbangan dalam proses pembangunan sistem pemerintahan Buton Raya.
Di sampiang itu, untuk memaksimalkan peran perempuan sebagaimana perannya di masa lalu, maka sara bawine yang pernah ada di masa kesultanan Buton masih tetap relevan untuk masa-masa yang akan datang. Karena melalui sara bawine atau Dewan Perwakilan Perempuan (DPP) perempuan dapat merumuskan berbagai kebutuhannya sebagaimana yang diperankan oleh sara bawine di masa lalu. Melalui DPP-lah, perempuan dapat merencanakan pendidikan, kesejateraan, ekonomi bagi Buton Raya. Melalui DPP juga, diharapkan perempuan mampu memiliki sensifitas yang tinggi terhadap berbagai masalah perempuan Buton Raya.
Keterlibatan perempuan dalam bidang pemerintahan, akan bersinergi dengan peran laki-laki dalam pembangunan Buton Raya. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh John Shors (2006) bahwa kehadiran seorang perempuan dalam kehidupan seorang laki-laki adalah ketika laki-laki itu bergerak, maka ia akan mengintip dari belakang, tetapi ketika laki-laki itu tidak dapat lagi bergerak, maka ia akan datang memberikan saran dan solusi dalam berbagai situasi. Ini sejalan dengan padangan masyarakat Buton bahwa terdapat kecenderungan bahwa setiap laki-laki yang sukses di dalam masyarakat Buton, adalah laki-laki yang di dukung oleh perempuan yang besar, berpikir demokratis dan terlibat dalam pengambilan keputusan di dalam keluarga.
Oleh karena itu, keterlibatan perempuan dalam bidang pemerintahan di masa lalu, bukan suatu yang kebetulan, tetapi atas kesadaran dari konsep sufisme yang mendasari faham kebutonan yang diilhami oleh pentingnya keharmonisan laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan. Sehubungan dengan persoalan hubungan laki-laki dan perempuan tersebut, Anthony Giddens (2003: 107) mengatakan bahwa bangsa manapun yang mau sukses di masa depan harus di dukung keluarga-keluarga yang demokratis. Dimana keluarga demokratis memiliki ciri (1) saling menghormati, (2) adanya otonomi keluarga, dan (3) pengambilan keputusan melalui komunikasi. Dengan demikian, pengambilan keputusan bukan lagi dalam bentuk dominasi orang tua atau laki-laki, melainkan diambil dari hasil komunikasi yang dilakukan oleh anggota keluarga, termasuk anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan. Dengan demikian, keterlibatan perempuan dalam pembangunan Buton Raya dapat mendukung percepatan pembangunan Buton Raya sehingga dapat mensejajarkan diri dengan negeri-negeri lain yang ada di dunia.

2. Peran Perempuan dalam Bidang Sosial Kultural
Dalam bidang sosial kultural, kedudukan dan peran perempuan dalam kesultanan Buton dipengaruhi oleh sistem pelapisan masyarakat. Ada empat lapisan masyarakat dalam masyarakat Buton, yaitu kaomu , walaka , maradika dan batua . Berdasarkan pelapisan tersebut, laki-laki dapat menikahi perempuan yang sederajat dengannya atau perempuan yang lebih rendah derajatnya, tetapi perempuan tidak dapat menikahi laki-laki yang berada pada kelas sosial di bawahnya (Munafi, 2001).
Berdasarkan pelapisan masyarakat Buton di atas, rupanya perempuan masih diposisikan dalam posisi subordinasi. Mengapa laki-laki dapat menikah dengan perempuan di bawahnya, sedangkan perempuan tidak dapat menikah dengan laki-laki di bawah strata sosialnya? Pada hal jika kita merujuk pada Undang-Undang Martabat Tujuh yang termaktub dalam Sarana Wolio, maka masyarakat Buton akan memberikan penghargaan kepada seseorang atas karyanya. Di dalam martabat dijelaskan bahwa yang dihormati itu ada empat banyaknya (1) karena keberaniannya, (2) karena kealimannya, (3) karena mengorbankan hartanya, dan (4) karena membawa kepandaiannya di jalan pemerintah dalam menyelesaikan pekerjaan pemerintah Wolio (Niampe, 2007: 220-221).
Oleh karena itu, dalam pembangunan Buton Raya peran perempuan dan laki-laki harus dikembalikan pada identitas Buton yang termaktub dalam Undang-Undang Martabat Tujuh tersebut. Bahwa manusia itu pada prinsipnya memiliki kedudukan yang sama di depan hukum. Karena masyarakat Buton mengenal hukum pobinci-binciki kuli yang meliputi pomaa-masiaka, popia-piaraka, poangka-angkataka pomae-maeaka. Saling menyayangi, saling memelihara, saling menghormati dan saling takut menakutkan (Putra, 2000: 86). Manusia dihormati bukan karena jenis kelaminnya melainkan karena karyanya.
Dengan demikian, dalam pembangunan Buton Raya, hendaknya bangsa Buton harus menoleh ke belakang kembali berpegang teguh pada Undang-Undang Martabat Tujuh sebagai salah satu landasan filosofis dalam menata kebudayaan yang pernah disepakati oleh leluhur Buton. Karena dengan berpegang teguh pada Undang-Undang Martabat Tujuh tersebut, maka siapapun, laki-laki dan perempuan dapat berperan secara maksimal dalam pembangunan Buton Raya.
Dalam Undang-Undang Martabat Tujuh dinyatakan bahwa mereka yang dihormati adalah mereka yang berjasa, sehingga terbuka peluang kepada siapa saja untuk berkarya, karena hanya mereka yang berkaryalah yang akan mendapatkan penghargaan. Di sini, dapat dilihat bahwa aspek prefesionalisme sangat dihargai dalam kultur masyarakat Buton. Dengan demikian, Undang-Undang Martabat Tujuh sebagai landasan kehidupan berbangsa dan bernegara bagi bangsa Buton sudah saatnya ditelaah sebagai dasar pijakan sosial cultural kita dalam pembangunan Buton Raya. Karena dengan mengembalikan harkat dan martabat bangsa Buton sebagaimana yang ada dalam Martabat Tujuh tersebut, maka peran perempuan dalam pembangunan Buton Raya dapat dimaksimalkan.

3. Peran Perempuan dalam Bidang Ekonomi
Di zaman kesultanan Buton, salah tugas perempuan yang paling penting adalah menjaga kesejahteraan kesultanan. Ini merupakan tugas penting seorang permaisuri dalam mendampingi sultan. Dalam tugasnya untuk menjaga kesejahteraan kesultanan ini, permaisuri memegang tanggung jawab yang berat, antara lain ia harus selalu melakukan semedi (amala) dan ia tidak diperkenankan untuk keluar rumah demi melindungi kesultanan dari gagal panen (Schoorl, 2003: 217).
Permaisuri memegang peranan penting dalam menjaga kesejahteraan kesultanan. Jika kebun masyarakat gagal panen, maka pasti ada yang salah sistem pemerintahan kesultanan Buton. Faham Buton itu menjadi tanggung jawab permaisuri, disitulah keselamatan dan kesejahteraan kesultanan berada di tangan permaisuri. Dalam pandangan masyarakat Buton, kesejahteraan keluarga sangat ditentukan oleh perempuan . Seorang pedagang yang berlayar dengan perahu karoro ke luar daerah, rezekinya ditentukan oleh keberadaan istri di dalam rumah. Kesuksesan suami di dalam bidang ekonomi merupakan kesuksesan istri di dalam rumah.
Jika sebuah keluarga mengalami kesuksesan di bidang ekonomi, maka pertanyaan orang-orang Buton adalah “siapa istrinya?”, bukan “siapa suaminya?”, karena dalam orang-orang Buton memahami bahwa dunia luar sangat dipengaruhi oleh keharmonisan di dalam keluarga. Sehingga kesuksesan laki-laki di luar rumah dalam berbagai bidang kehidupan sangat dipengaruhi oleh keberadaan perempuan yang ada di dalam rumah. Keharmonisan keluarga Buton, akan mempengaruhi dunia luar yang pada akhirnya akan berdampak pada kesejahteraan keluarga dan masyarakat Buton secara keseluruhan.
Lebih jauh dijelaskan bahwa, dalam menjaga kesejahteraan sosial tersebut, masyarakat percaya bahwa untuk memulai pembukaan lahan pertanian atau mengawali panen harus dimulai oleh seorang perempuan cantik dan banyak anaknya serta berkecukupan dalam kehidupan keluarganya . Karena perempuan cantik dan banyak anak serta berkecukupan tersebut merupakan simbol dari keberuntungan dan kesejahteraan.
Oleh karena itu, dalam pembangunan ekonomi Buton Raya, perempuan bertanggung jawab atas masalah-masalah ekonomi keluagra dan pemerintahan Buton Raya. Paling tidak, istri bupati atau istri gubernur Buton Raya harus malu atau takut jika suaminya hanya memperkaya kelompoknya, lebih-lebih hanya memperkaya keluarganya.
Di sisi yang lain, keterlibatan perempuan dalam pembangunan ekonomi Buton Raya, perlu melihat keterlibatan perempuan di masa lalu. Dimana bangsa Buton akan memiliki ingatan kolektif mengenai kesuksesan perempuan Buton dalam bidang ekonomi. Dengan demikian, keterlibatan perempuan dalam sektor ekonomi perlu dipertimbangkan. Untuk melibatkan perempuan dalam pembangunan ekonomi Buton Raya, maka ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan yaitu (1) perempuan mampu mengakses perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan pembangunan ekonomi Buton Raya.
Keterlibatan perempuan dalam pembangunan ekonomi Buton Raya, diperlukan karena angkatan kerja masyarakat Buton yang paling efektif dan efisien di pasar adalah perempuan . Mereka lebih sabar dan efisien dalam mengelola pasar jika di bandingkan dengan laki-laki. Di samping itu, perempuan juga sangat teliti, sabar, ulet dan tabah dalam menjalankan ekonomi keluarga.
Maka untuk membangun ekonomi Buton Raya, kesadaran bahwa keharmonisan keluarga yang dibangun atas prinsip saling melengkapi antara laki-laki dan perempuan merupakan modal utama bagi bangsa Buton untuk membangun ekonominya. Di samping itu, jika perempuan diberi akses ruang-ruang produksi di masa depan, baik dalam bidang industri, pertanian, peternakan, maupun dalam bidang perikanan, dan pariwisata. Perempuan akan memberikan sinergisitas yang baik dalam mengisi ruang-ruang produksi tersebut, karena kehadiran perempuan secara biologis pun memiliki daya tahan, kesabaran, kecermatan dan ketelitian dalam menghasilkan produk-produk lokal yang unggul dan dapat bersaing di pasar global.

4. Peran Perempuan dalam Bidang Pendidikan
di zaman kesultanan Buton, salah satu kriteria istri calon sultan adalah kriteria, apakah istri calon sultan tersebut dapat mendidik anak-anak dalam kesultanan atau tidak? Oleh karena itu, permaisuri (oputa bawine) berperan sebagai guru di dalam lingkungan kesultanan Buton. Dalam tugasnya sebagai guru tersebut, perempuan (permaisuri) memegang peran strategis dalam menanamkan konsep kebutonan kepada generasi Buton di masa depan. Masa depan Kesultanan Buton berada di tangan perempuan sebagai guru. Oleh karena itu, permaisuri harus memiliki ilmu yang tinggi. Baik ilmu keduniaan maupun ilmu-ilmu kebatinan (amala).
Di bidang sastra, masyarakat Buton mengenal Wa Ode Samarati sebagai sastrawan. Ia menulis kabanti yang berjudul Kanturuna Molingkana ‘lampu dalam perjalanan’ (Niampe, 1998: 61). Keberadaan penyair perempuan tersebut, tentunya berhubungan dengan tugas-tugas perempuan (permaisuri dan Sarana Bawine) dalam memberikan pendidikan bagi perempuan di lingkungan istana.
Tugas perempuan (permaisuri) dalam bidang pendidikan ini dilakukan mulai sejak proses pendidikan calon ibu di dalam lingkungan kesultanan, terutama mengenai ilmu berumah tangga (bdk. Udu, 2006: 6). Karena menurut orang-orang Buton, pendidikan seseorang sudah harus dimulai sejak dalam proses pembuatannya. Jadi calon ibu sudah harus mempelajari ilmu berumah tangga yang diajarkan oleh permaisuri bersama-sama dengan sara bawine (Dewan Perempuan).
Untuk kepentingan ilmu berumah tangga inilah masyarakat Buton mengenal kabanti Kaluku Panda Atuwu Incana Dempa (Rusdin, 2002: 117; Udu, 2007: 3). Sebab ilmu berumah tangga ini merupakan puncak ilmu pengetahuan di dalam masyarakat Buton. Karena ilmu berrumahtangga tersebut berhubungan dengan berbagai bidang kehidupan selanjutnya. Di sinilah perempuan (permaisuri) diatur dalam sarana susua untuk merawat dan mendidik anak-anak dan perempuan Buton yang ada di lingkungan kesultanan.
Perempuan merupakan peletak dasar kebudayaan dalam kehidupan manusia. Merekalah guru kita yang pertama di dunia ini. Disini, anak-anak Buton sudah harus didik oleh ibunya tentang budaya Buton sejak dini. Cantor dan Bernay (1998: 314) mengatakan bahwa ibu berperan dalam reproduksi kepribadian seorang anak, hal ini disebabkan oleh adanya ikatan batin antara anak dan ibunya. Di sinilah peran perempuan Buton dalam pendidikan anak-anak Buton. Sehubungan dengan itu, dalam dalam masyarakat Buton Sara Bawine memiliki peran strategis dalam melakukan pendidikan mengenai ilmu berumah tangga kepada gadis-gadis dalam kegiatan sombo’a atau pingitan. Sehingga tradisi pendidikan dalam kultru budaya Buton tersebut masih sangat relevan untuk ditransformasikan ke dalam pola pendidikan karakter anak-anak Buton dewasa ini.
Di samping itu, dalam pembangunan Buton Raya perempuan sudah harus profesionalisme di bidangnya masing-masing, mereka sudah harus keluar dari streotipe bahwa perempuan hanya hidup dalam 3R, (dapur, sumur dan ranjang). Untuk meningkatkan peran perempuan di masa depan, kesadaran mengenai pentingnya keterlibatan perempuan dalam bidang pendidikan perlu merefleksikan peran-peran perempuan sebagai peletak dasar kebudayaan bagi anak-anak Buton di masa lalu. Oleh karena itu, di masa depan perempuan sudah harus mampu mengakses berbagai jenjang pendidikan sebagai modal dalam pembinaan generasi Buton di masa depan.
Tuntutan undang-undang mengenai anggaran pendidikan 20% bagi penyelenggaran pemerintahan di bangsa ini, merupakan suatu yang diharuskan bagi setiap pemerintah daerah. Namun, bagi Buton Raya anggaran pendidikan itu perlu direnungkan karena pembangunan sesungguhnya adalah pembangunan Sumber daya manusia. Untuk itu, di masa depan, Buton dalam ungkapan Wolio ini kabongka-bongkana dunia perlu direalisasikan atau dikembalikan sebagaimana eksisitensi ilmu pengetahuan di masa lalu.
Bahwa pembangunan Sumber Daya Manusia, bagi pemerintah Buton Raya di masa depan merupakan syarat utama dalam menciptakan masyarakat adil dan makmur dalam pembangunan Buton Raya. Komitmen pemerintah pusat untuk menyediakan anggaran pendidikan 20% dari APBN sekurang-kurangnya perlu diapresiasi oleh pemerintah daerah sebagai salah satu prioritas dalam pembangunannya. Dengan adanya upaya peningkatan kapasitas sumber daya manusia perempuan Buton, maka masyarakat Buton Raya dapat memiliki pengetahuan dan skill sehingga dapat hidup sejahtera, adil dan makmur sebagaimana yang dicita-citakan bersama. Tetapi jika, pembangunan sumber daya manusia bukan menjadi prioritas dalam pembangunan Buton Raya, maka bisa jadi Buton Raya akan kehilangan konsepsi dirinya sebagai mana disinyalir oleh leluhur Buton bahwa Wolio ini kabongka-bongkana dunia. Karena ungkapan itu merupakan refleksi atas keberadaaan Buton sebagai salah satu pusat dari puncak-puncak ilmu pengetahuan dunia di zamannya.

5. Peran Perempuan dalam Bidang Politik
Untuk melihat keterlibatan perempuan dalam bidang politik dalam pembangunan Buton Raya, maka sejak awal perempuan Buton telah dinobatkan menjadi raja. Di samping itu, juga dikenal sara bawine (dewan perempuan) yang dipimpin oleh permaisuri. Keterlibatan sarana bawine (dewan perempuan) ini bertugas untuk menjaga keselamatan dan kesejahteraan kesultanan. Di samping itu, sara bawine ini tentunya bertugas untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan di dalam kesultanan Buton.
Di dalam masyarakat Buton, khususnya masyarakat Wangi-Wangi mengenal tarian honari mosega. Dalam performansi tarian ini, perempuan masuk mendahului kaum laki-laki. Ini menunjukkan bahwa dalam hal negosiasi dan peperangan perempuan Buton lebih banyak unggul di banding dengan laki-laki. Di samping itu, tarian ini merupakan ingatan kolektif masyarakat Buton tentang strategi perang dalam menghadapi musuh. Hal ini merupakan aplikasi konsep politik bangsa Buton yang terdapat dalam kitab Bula Malino karya Muhamad Idrus Kaimuddin sebagaimana pernyataan (La Ode Malim, 1983: 16) yang mengatakan bahwa jika musuh datang dengan kekuatannya hadapi dengan kelembutanmu tapi jangan minta dilindungi, jika musuh datang dengan kepintarannya hadapi dengan kebodohanmu, tapi jangan berguru, jika musuh datang dengan kekayaanya, hadapi dengan kemiskinanmu, tapi jangan meminta, dan jika musuh datang dengan kelemahannya, maka lindungilah dan perlakukanlah dengan baik.
Oleh karena itu, dalam pembangunan Buton Raya yang dicita-citakan oleh bangsa Buton, keterlibatan perempuan harus dikembalikan sebagaimana keterlibatan perempuan dimasa lalu. Perempuan harus dilibatkan dalam berbagai pengambilan keputusan di dalam berbagai ranah kehidupan sosial dan pemerintahan pemerintahan Buton Raya.

C.Penutup
Selama berabad-abad perempuan Buton telah memerankan berbagai peran strategis dalam berbagai bidang kehidupan. Mereka pernah menjadi ratu, menjadi permaisuri, dan memiliki lembaga adat (sara bawine) dalam membangun Buton di masa lalu. Oleh karena itu, dalam pembangunan Buton Raya, peran perempuan harus dimaksimalkan sebagaimana peran perempuan di masa kesultanan.
Keterlibatan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan dalam pembangunan Buton Raya merupakan sesuatu yang mutlak, karena keharmonisan laki-laki dan perempuan akan memberikan kekuatan pembangunan yang luar biasa. Dalam ruang demokrasi, laki-laki dan perempuan Buton Raya harus saling member satu sama lain, sehingga terwujud masyarakat Buton Raya yang memiliki sinergisitas yang tinggi, serta memiliki etos kerja dan daya saing tinggi dalam memenangkan persaingan di era global. Di situlah, Buton Raya menuju sebagai mana ramalan leluhur kita bahwa Buton akan mengalami masa kejayaan setelah seratus enam puluh lima tahun sejak kejayaannya di masa lalu, dan saat itu adalah terserah dari keharmonisan generasi Buton Raya hari ini dan akan datang.

D.Daftar Pustaka
Cantor. Dorothy W., dan Bernay, Toni. 1998. Women in Power: Kiprah Wanita dalam Dunia Politik. Diterjemahkan oleh J. Dwi Helly Purnomo (editor). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Giddens, Anthony. 2002. Jalan Ketiga Pembaharuan Demokrasi Sosial. Jakata: PT Gramedia Pustaka Utama.
La Niampe, 1998. Kabanti Bula Malino : Kajian Filologis Sastra Wolio Klasik. Bandung : Universitas Padjadjaran: Tesis Program Pascasarjana.
La Ode Malim, 1958. Membara di Api Tuhan. Ujung Pandang: Balai Bahasa Ujung Pandang
Munafi, La Ode Abdul. 2001. Langke dalam Kehidupan Orang Buton di Sulawesi Tenggara (Kajian Strukturalisme tentang Pranata Migrasi. Bandung : Tesis Program Pascasarjana Universitas Padjajaran
Putra, Maia Papara. 2000. Membangun dan Menghidupkan Kembali Falsafah Islam Hakiki dalam Lembaga Kitabullah. Makassar: Yayasan AUA Menyingsing Pagi
Rusdin, Ali. 2002. Kaluku Panda: Telaah Filologis Naskah Wolio. Bandung: Tesis Pascasarjana Universitas Padjajaran.
Schoorl, Pim.2003. Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton. Jakarta: Djambatan, KITLV.
Shors, Jhon. 2006. Tajmahal: Kisah Cinta Abadi. Bandung: Mizan.
Udu, Sumiman. 2006. Citra Perempuan dalam Kabanti: Tinjauan Sosiofeminis. Yogyakarta: Tesis Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada.
Udu, Sumiman. 2007. Konsep Seks Masyarakat Buton dalam Naskah Kabanti Kaluku Panda Atuwu Incana Dempa: Tinjauan Semiotik dan Etnografi. Bima NTB: Makalah Simposium Internasional Manassa tanggal 26-28 Juli 2007.
Udu, Sumiman. 2009. Perempuan dalam Sistem Pemerintahan Kesultanan Buton:Suatu Tatanan yang Terlupakan. Makalah dalam Seminar Nasional yang dilaksanakan oleh PSW-UGM Kamis, 18 Juni 2009 Pukul 08-00 – 17.00 WIB.
Zaenu, La Ode. 1984. Buton dalam Sejarah Kebudayaan. Surabaya: Suradipa.
Zahari, Abdul Mulku. 1977/1978. Sejarah dan Adat Wil Darul Butuni. Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Depdiknas.
Zuhdi, Susanto. 1999. Labu Wana Labu Rope: Sejarah Buton Abad XVII-XVIII. Jakarta: Disertasi Program Pascasarjana Universitas Indonesia.

Buton dalam Mitologi, Ideologi, dan Ilmu Pengetahuan

A.Pengantar

Buton sebagai salah satu Kesultanan yang ada di Nusantara, merupakan salah satu negeri atau bangsa yang trauma dalam sejarah (Zuhdi, 1999). Buton kehilangan konsepsi hidupnya selama berpuluh-puluh tahun. Buton tidak lagi mengenal dirinya, Buton terselimuti oleh mitologi dan ideologi, sehingga bangsa Buton kehilangan identitas dirinya sebagai bangsa yang memiliki dan mengagumi ilmu pengetahuan.

Perjalanan bangsa Buton pernah memasuki masa keemasannya yaitu pada masa pemerintahan Sultan Muhamad Idrus Kaimuddin. Ilmu Pengetahuan menjadi dasar dalam sistem pemerintahannya. Tidak salah kalau pada masa lalu kita mengenal ungkapan “Wolio siy mangkidi-kidi, kabongka-bongkana dunia”. Ungkapan leluhur Buton atas kebesaran bangsa Buton di atas, terlihat dari tingginya pergolakan ilmu pengetahuan di negeri ini . Penyebutan Buton sebagai pusat ilmu pengetahuan di masa lalu juga masih dapat ditelusuri dari banyaknya buah-buah pikiran leluhur kita yang tersimpan di dalam berbagai naskah. Hampir semua aspek kehidupan telah dibahas dalam naskah: pemerintahan, politik, pendidikan, persoalan perempuan, seks dan lain-lainnya.

Namun ungkapan tentang kebesaran Buton itu, hari ini perlu direfleksi kembali. Jangan sampai Buton kembali masuk ke dalam tahapan pemikiran mitologi, dan ideologi yang justru membawa Buton kepada masa kegelapan yang berdampak pada adanya perbedaan pandangan idiologis dalam masyarakat Buton sendiri. Sedanglan dalam sejarahnya, Buton telah mengalami tahapan berpikir ilmu pengetahuan yang membawa Buton pada masa keemasan di masa Muhamad Idrus Kaimuddin dan Syeh Haji Abdul Ganiu.

Untuk mengetahui lebih jauh tentang Buton dalam bingkai berpikir mitologi, ideology, dan ilmu pengetahuan, maka tulisan ini dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Studi pustaka (naskah dan beberapa referensi lainnya) dimaksudkan untuk mengetahui berbagai informasi mengenai sepek mitologi, ideologi dan ilmu pengetahuan di masa kesultanan Buton, sedangkan pengamatan dan wawancara dilakukan untuk mengetahui adat dan budaya Buton yang ada dalam masyarakat Buton dewasa ini. Selanjutnya data dianalisis dengan metode deskriptif kualitatif untuk menjelaskan perkembangan tahap-tahap pemikiran bangsa Buton di masa lalu dan hari ini.

B.Buton dalam Tahapan Pemikiran Mitologi

Dalam masyarakat Buton, tahapan pemikiran mitologi ini berlangsung sebelum abad ke-19 sampai awal abad ke-20. Menurut Kuntowijoyo (Dahlan dalam Ma’arif, 2005:25-26), mitos adalah suatu konsep tentang kenyataan yang mengandaikan bahwa dunia pengalaman kita sehari-hari terus-menerus disusupi oleh kekuatan-kekuatan keramat. Sistem pemikiran mitos ini ditandai cara berpikir pralogis (mistis) yang mengambil bentuk magis, pemberontakan dengan lokasi pedesaan, bersifat lokal, berlatar belakang ekonomi agraris masyarakat petani, solidaritas mekanis yang biasanya digerakan oleh model kepemimpinan seorang tokoh kharismatik.

Dalam sejarah perjalanan bangsa Buton, mitos jauh lebih jauh dari pada sejarah Buton sendiri. Cerita mengenai kelahiran Ratu Wa Kaaka merupakan salah satu contoh fiksi yang melatari lahirnya bangsa Buton yang berbaur dengan sejarah. Walaupun sejarah kehadiran Ratu Wakaaka berdasarkan fakta sejarah, tetapi masih disimpan dalam bingkai fiksi, legenda. Itulah pasal yang menjadi sebab mengapa fakta sejarah dalam mitos tapil dengan wadak yang terlampau samar dan sumir.

Sebagaimana disebutkan di atas, di awal-awal pertama tumbuhnya kerajaan Buton, sebagaimana kerajaan-kerajaan lain di dunia, semua memiliki mitos untuk membesarkan rajanya. Tersebutlah kisah raja-raja yang berasal dari buih, dari kahyangan, atau raja-raja yang datang dari tumbuhan. Dalam konteks itu, raja Buton pertama Ratu Wa Kaaka dimitoskan lahir dari bambu. Dan dari hasil perkawinananya dengan Si Batara yang merupakan laki-laki yang ditemukan di laut lahirlah Bulawambona (bdk. Zahari, 1977/1978; Zaenu, 1984).

Dunia mitologi ini, bagi bangsa Buton di zamannya, merupakan suatu yang harus ada dalam mendukung nilai kharismatik dari sang ratu, sebab jika ratu itu berasal dari manusia biasa, maka ia tidak akan memiliki kharismatik (Naskah Hikayat Negeri Buton). Maka untuk kepentingan itulah, mitologi dibutuhkan dalam kerajaan Buton dan kerajaan-kerajaan lain yang ada di dunia. Namun, tahapan berpikir mitologi itu, sudah ditinggalkan oleh bangsa-bangsa lain yang ada di dunia, sementara bangsa Buton sampai hari ini masih menggunakan cara berpikir mitologi dan menganggap bahwa kehidupan sehari-hari mereka selalu dipengaruhi oleh aspek-aspek mistis dan supranatural, akibatnya bangsa Buton terlambat untuk maju jika dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain yang telah bergeser ke dalam tahapan berpikir ilmu pengetahuan dan teknologi.

Memang mitos bukan hanya produk masyarakat tradisional, tetapi dalam dunia modern pun masih tetap menggunakan aspek mitos, dan disinilah perlunya kesadaran baru bagi masyarakat Buton bahwa pentingnya untuk berpikir dengan menggunakan metode ilmu pengetahuan yang objektif dan rasional. Dalam masyarakat Buton dewasa ini, sebagain masyarakat masih memiliki cara berpikir yang diselimuti oleh cara berpikir mitologi yang masih dipengaruhi oleh mitos-mitos lama.

Akibatnya, di era digital seperti ini, bangsa Buton mengalami kemerosotan cara berpikir. Bangsa Buton hampir tidak dapat melepaskan diri dari pola pikir mitologi, yang berdampak pada etos kerja mereka yang irasional dan tidak objektif, tetapi masih tetap terselimuti oleh mitos-mitos yang selama ini diyakininya sebagai bagian sejarah yang menguntungkan mereka. beberapa contoh dari cara berpikir mitologi itu adalah adanya penonjolan identitas yang ada dalam kalangan Buton. Mereka hanya mempertentangkan persoalan strata sosial, ‘ode’ dan bukan ‘ode’, karena mereka menganggap bahwa gelar itu merupakan sarana untuk mendapatkan kharismatik di dalam masyarakat. Lebih-lebih Belanda dengan metode politik belah bambunya berusaha untuk mengaburkan pola pikir Buton yang ilmiah dalam tatanan kehidupan mereka, misalnya ukuruan manusia Buton dalam martabat tujuh. Sementara di sisi yang lain, sebagian masyarakat Buton yang tidak menggunakan gelar itu akan terus-menerus melawan, pada hal saat ini, yang terpenting bagi bangsa Buton adalah kinerja dan profesionalisme.
Tidak semua yang disebut mitos itu salah dalam kehidupan manusia, tetapi seluruh hal-hal yang berbau mitologi harus mampu dijelaskan dengan pendekatan-pendekatan ilmu pengetahuan, karena dalam ilmu inilah bangsa Buton harus berada dalam realitas, walaupun tidak terlepas dari sejarah dan impian-impianya.

Di sinilah, dunia sufistik yang selalu menjadi dasar dari sebagian kehidupan masyarakat Buton harus dibongkar melalui penjelasan-penjelasan akademis, sehingga masa depan generasi Buton dapat mengerti tentang hakikat dirinya sendiri. Di sini, Islam sebagai salah satu pandangan masyarakat Buton juga harus mampu didekati dengan pendekatan-pendakatan akademis yang rasional. Karena tanpa melalu pendekatan rasionalitas, bisa jadi dunia hayalan kita tersesat pada apa yang dirasakan. Oleh karena itu, kultur budaya masyarakat Buton harus mengalami perubahan dasar berpikir, dari mitologi dan ideologi yang subjektif ke pola pikir ilmiah yang objektif.

C.Buton dalam Tahapan Pemikiran Ideologi

Buton sebagai sebuah bangsa telah terkoyak oleh adanya cara berpikir ideologi. Dalam tahap berpikir ini, ideologi tampil sebagai panglima dalam perjuangan menuju apa yang dicita-citakan oleh penganutnya. Maka sebagai sebuah bangsa yang di dalamnya terdapat berbagai kepentingan melahirkan beberapa kelompok masyarakat di dalam masyarakat Buton.

Masyarakat Buton mengenal konflik kepentingan tiga golongan Buton yaitu kamboru-mboru tolu palena, yang telah menyisakan konflik politik berkepanjangan yang ada di dalam masyarakat Buton. Konflik itulah yang pada akhirnya Buton terpuruk, hanya karena kepentingan golongan yang masing-masing merasa memiliki kebenaran masing-masing. Serta adanya, pelapisan masyarakat dalam masyarakat Buton, yang terdiri dari kaoumu, walaka, maradika dan batua, merupakan kepentingan politik sebagai buah dari cara berpikir yang lahir dari nilai-nilai ideologis yang harus di capai bersama oleh kelompok pengikutnya.

Dalam tahapan pemikiran ideologi, bangsa Buton telah masuk dalam organisasi-organisasi modern, maka lahirlah organisasi-organisasi modern tetapi masih tetap dalam pengaruh mitologi yang masih mengandalkan aspek kharismatik dari tokoh yang ada di dalam masyarakat. Keterlibatan Buton sebagai bangsa yang menganut ideologi, telah menyulap aspek mitologi dalam sejarah bangsa mereka sebagai bagian doktrinasi kelompok atau strata sosial. Sehingga yang bukan kelompok atau berbeda stara sosial dianggap sebagai lawan yang harus dikalahkan. Di ruang inilah bangsa Buton mengalami kemerosotan dalam ilmu pengetahuan. Karena mereka saling menggancurkan dalam pergolakan politik tradisional yang digerakan oleh ideologi kelompok tradisional.
Lebih gawat lagi, Buton sejak awal abad ke dua puluh atau lebih jauh lagi dari itu, Buton telah terjebak dalam pola ideologi yang panjang. Hal ini terlihat dari lahirnya golongan-golongan bangsawan sejak kelahiran Buton. Sejak adanya konsep kamboru-mburo tolu palena , bangsa Buton telah berada pada tahapan berpikir ideologi, yaitu nilai-nilai tertentu yang menjadi salah satu landansan perjuangan dari kelompok-kelompok ideologi tersebut.

Perjuangan bangsa Buton dengan berdasarkan ideologi yang menjadikan politik sebagai panglima telah membawa bangsa Buton pada kelemahan-kelemahan perjuangan menuju Buton yang maju dan bermartabat. Sehubungan dengan cara berpikir ideologi tersebut, Kuntowijoyo (dalam Sugito, 2005: 58-59) mengatakan bahwa ada beberapa keterbatasan yang ada pada cara berpikir ideologi, yaitu: (1) terbukanya peluang untuk merusak soliditas suatu bangsa, karena terkotak-kotak dalam berbagai golongan dan kepentingan, (2) akan menyedot alokasi sumber daya suatu bangsa ke politik dan menelantarkan pembinaan di bidang ekonomi, pendidikan, kebudayaan, dan moral bangsa tersebut; (3) mendorong munculnya pemikiran yang hanya berjangka pendek, kerdil dan miskin pemikiran yang memiliki visi jangka panjang; (4) jalur ideologi dan politik tidak dapat diandalkan dalam pembangunan sebuah bangsa di masa depan, karena tidak dapat memberikan solusi pada persoalan kompleks yang dihadapi oleh masyarakat umum; (5) perjuangan melalui jalur politik biasanya akan mengabaikan pembinaan nilai-nilai dasar suatu bangsa; dan (6) belum ada bukti empiris dalam sejarah modern yang mampu meyakinkan bahwa umat akan meraih kejayaan menyeluruh dengan menggunkan partai politk sebagai instrument perjauangan.

Dengan demikian, tahapan berpikir ideologi, merupakan tahapan berpikir yang dapat menghambat kemajuan suatu bangsa. Demikian juga dengan apa yang terjadi di dalam negeri Buton, dimana perpecahan masyarakat yang disebabkan oleh konflik politik, lebih-lebih pasca pemilu multi partai, seluruh tatanan masyarakat dihancurkan oleh adanya kepentingan politik sesaat, lebih-lebih mereka yang menggunakan uang untuk tujuan politiknya. Dengan demikian, bangsa Buton dapat dikatakan bahwa mereka telah keluar dari filosofi kehidupannya yang mengagumkan dan nilai-nilai kebenaran dan kemanusiaan sebagai mana yang termaktub dalam undang-undang martabat tujuh.

D.Buton dalam Tahapan Pemikiran Ilmu Pengetahuan

Dalam tahapan berpikir dengan menggunakan ilmu sebagai landasannya akan berbeda dengan menggunakan ideologi sebagai landasannya. Dalam ilmu sebagai landasan berpikir akan selalu melihat fakta dari sudut pandang objektif. Sedangkan ideologi akan selalu memandang fakta dari sudut pandang subjektifitas. Sehingga kepentingan pribadi dan golongan akan selalu menjadi prioritas dalam pola pikir politik (Kuntowijoyo dalam Sugito, 2005: 58-59).

Persoalan ideologi telah menjadi catatan sejarah yang paling menggenaskan di tanah Buton. Buton telah mendapatkan coretan sejarah yang paling mengerikan, saling mefitnah, sebagai akibat dari subjektifitas kerena pengaruh ideologi telah membawa Buton pada trauma yang panjang. Akibatnya Buton tidak dapat berbuat apa-apa. Oleh karena itu, penggunaan ilmu pengetahun dalam pembangunan Buton Raya perlu dipertimbangkan, karena objektifitas dalam pembangunan, akan berdampak pada terbukanya kesempatan bagi siapa saja yang mau bekerja secara professional.
Di masa lalu, Buton telah memiliki konsepsi ketatanegaraan yang begitu sempurna. Melalui Undang-Undang Martabat Tujuh, harkat dan martabat manusia telah ditentukan oleh kinerja. Kalau di dalam martabat tujuh orang yang dihormati ada empat banyaknya, (1) karena keberaniannya, (2) karena kealimannya, (3) karena mengorbankan hartanya, dan (4) karena membawa kepandaiannya di jalan pemerintah dalam menyelesaikan pekerjaan pemerintah Wolio (Niampe, 2007: 220-221). Dengan demikian, sejak dari dulu bangsa Buton telah mengenal objektifitas dalam mendudukkan konsep ketatanegaraan mereka.

Di samping itu, falsafah bangsa Buton dalam konsep Pobinci-binciki kuli yang kemudian di jelaskan dalam sara pataanguna (Pomaa-maasiaka, popia-piaraaka, pomae-maeaka, dan poangka-angkataka merupakan landasan dari hukum humanisme yang memiliki pandangan dimana manusia Buton memiliki hak dan kedudukan yang sama di mata hukum dan politik.

Dengan demikian, jika bangsa Buton kembali kepada falsafah hidup yang pernah dirumuskan oleh leluhur mereka, objektifitas sebagai salah satu syarat dari tahapan berpikir ilmu pengetahuan dapat menjadi landasan berpikir dalam pembangunan Buton Raya dewasa ini. Kamboru-mboru tolu palena, sebagai tiga kekuatan politik di negeri Buton akan terhindar dari pertikaian internal. Mereka akan menilai secara objektif dalam melihat siapa yang pantas dalam memimpin Buton. Dalam masyarakat Buton, melakukan penelusuran mengenai rekaman sejarah perjalan seorang istri dan calon sultan sesuai dengan data yang ada di masyarakat.

Selanjutnya, dengan menggunakan pola berpikir ilmu pengetahuan, siapa pun di negeri Buton ini memiliki kesempatan untuk berkarya, karena itulah yang diinginkan oleh Undang-Undang Martabat Tujuh. Semua strata sosial yang ada di Buton memiliki kesempatan yang sama dalam rangka memberikan kontribusi dalam pembangunan Buton Raya. Tidak ada lagi yang merasa minder dan merasa superior, tetapi empat starata sosial (kaomu, walaka, maradika dan batua) yang ada di Buton akan bersaing secara objektif dalam pembangunan Buton Raya. Karena pada prinsipnya mereka memiliki kedudukan yang sama dalam falsafah pobinci-binciki kuli.

Melalui tahapan berpikir ilmu pengetahuan, bangsa Buton dapat memasuki persaingan global yang penuh dengan kompetisi di berbagai bidang kehidupan, karena mereka akan mengikuti kompetisi tersebut dengan cara pandang yang rasional, obejektif dan suportif. Dengan menggunakan tahapan berpikir ilmu pengetahuan tersebut, bangsa Buton dapat dihindarkan dari intrik politik yang keji dan hina sebagai buah dari ideologi yang harus diperjuangkan oleh setiap penganutnya.

Di samping itu, melalui penggunaan tahapan berpikir ilmu dalam pembangunan Buton Raya, bangsa Buton akan dibangunkan dari kungkungan mitologi yang telah lama menyelimuti bangsa Buton. Kalau selama ini bangsa Buton besar dalam lamunan dan hayalan atau lebih tepat bangsa Buton hidup dalam dunia setengah fiksi dan setengah realitas, maka melalui berpikir ilmu dapat memperjelas mana fiksi dan mana realitas dalam kehidupan bangsa Buton.

Tidak ada yang membenci tahapan berpikir mitologi dan ideologi, tetapi harus disadari bahwa bangsa-bangsa lain di dunia sudah berjalan menuju jalan baru. Mereka sudah menggunakan ilmu pengetahuan dalam membangun kemajuan bangsanya. Sementara bangsa Buton, masih terjebak pada ungkapan tentang sejarah yang dirahasiakan. Sejarah yang dimitoskan, atau bahkan sejarah yang disembunyikan. Lihatlah, setiap generasi bangsa Buton mempertanyakan tentang sesuatu di Buton, maka jawaban yang paling popular dalam kalangan masyarakat Buton adalah bahwa itu adalah rahasia. Mengapa tidak dibongkar? Dengan menggunakan pendekatan ilmu pengetahuan, semua itu dapat diberikan argument dalam bentuk naratologi yang rasional dan obejektif sesuai dengan realitas sejarah yang ada di masa lalu.

Sebagai bangsa para sufisme, bangsa Buton mengenal konsep kenalilah dirimu, maka kau akan mengenal tuhanmu. Untuk itu, agar dapat membangun bangsa Buton, maka terlebih dahulu generasi bangsa Buton harus mengenal bangsa Buton itu sendiri. Baik Buton dalam konteks sejarah maupun Buton dalam konteks faham. Melalui metode ilmu pengetahuan, sejarah Buton harus ditulis dan dibuka secara terang benderang, sehingga dapat menjadi bagian sejarah dalam konteks Indonesia dan bahkan penulisan sejarah dunia. Karena selama ini sejarah Buton merupakan sejarah yang kalah dalam konteks Indonesia, dan ini mesti bangsa Buton menyadari bahwa ini adalah kesalahan bangsa Buton sendiri yang membuat sejarah bangsanya menjadi samar dalam bingkai fiksi dan realitas yang disamarkan oleh pengaruh mitos yang belum pernah tersibak atau sengaja dibiarkan.

Sebutlah, Hikayat Negeri Buton, yang mengisahkan tentang asal-usul negeri Buton, tidak semuanya berisi aspek realitas, tetapi juga berisi mengenai aspek-aspek fiksi yang mencampuri cerita tersebut. Sehingga dalam menentukan siapa pemiliki negeri Buton ini sebenarnya, apakah Si Panjongan adalah orang pertama di sini, di negeri Buton ini? Jawabannya, adalah bisa ya, dan juga bisa tidak? Sebab Hikayat Negeri Buton sendiri banyak dipengaruhi oleh Hikayat Negeri Banjar. Karena di dalam hikayat negeri Buton sendiri juga menjelaskan adanya beberapa kerajaan kecil yang sudah lama ada di Buton.

Diperlukan pendekatan ilmiah dalam membongkar sejarah masa lalu bangsa Buton. Karena melalui pendekatan ilmiah, bangsa Buton dapat membebaskan diri dari aspek mitologi. Demikian juga dengan aspek ideologi, melalui pendekatan ilmiah bangsa Buton akan menuju Buton Raya yang rasional, objektif, analisis, kritik dan sistematis. Buton Raya yang dapat memilah dimana data objektif, dan dimana prespektif yang pasti tidak ilmiah, dimana keberpihakan akan selalu dipengaruhi oleh factor subjektif.
Di samping itu, untuk mengembalikan bangsa Buton sebagai salah satu pusat kebudayaan dunia di masa lalu, perlunya membongkar kembali pendekatan leluhur bangsa Buton dalam merencanakan dan mengembangkan kebudayaan Buton. Buton sebagai salah satu negara demokrasi pertama di dunia , memiliki konsepsi pemerintahan yang mampu mengakomodasi individualisme, kapitalisme, sosialisme, hukum dan religious. Konsepsi kehidupan bangsa Buton sebagai negara demokrasi pertama di dunia, dapat dilihat dari konsep inda-indamo arata, somanamo karo, inda-indamo karo, somanamo lipu, inda-indamo lipu somanamo sara, inda-indamo sara somanamo agama sadaa-daa (Putra, 2000: 86).

Dari konsepsi kehidupan sebagaimana disebutkan di atas, bangsa Buton memiliki sistem konsep hidup yang mampu memberikan jawaban atas berbagai masalah yang ada di dunia. Antony Geddes (2003) yang hanya mempertemukan kapitalisme dan sosialime dalam bukunya Jalan Ketiga Pembaruan Demokrasi Sosial, sudah menggoyang tatanan dunia, sementara itu, leluhur bangsa Buton yang sejak lama telah merumuskan penyatuan berbagai konsep ideologi tersebut di atas, bangsa Buton tinggalkan, atau hanya mengambil sebagian dari konsep tersebut secara terpisah. Dalam hubungannya dengan ini, perlukah ada refleksi tentang apa yang dilakukan oleh bangsa Buton hari ini? Masihkan bangsa Buton hari ini menggunakan konsepsi hidup yang pernah dirumuskan oleh leluhur mereka atau tidak?

Rupanya, dengan mendekati konsepsi hidup yang pernah dibangun oleh leluhur Buton melalui pendekatan ilmu pengetahuan, bangsa Buton dapat menunjukkan diri sebagai bangsa yang mampu memberikan alternative pemecahan masalah-masalah dunia. Sebagai contoh, persoalan lingkungan yang menjadi isu utama dunia hari ini, dapat diselesaikan hanya dengan cara membuka konsepsi bangsa Buton mengenai konsep kangkilo . Sebab dengan konsep kangkilo, bangsa Buton tidak akan merusak lingkungan. Hanya saja, perlunya metode ilmiah untuk memberikan penjelasan akademis dalam meyakinkan dunia tentang konsep lingkungan yang ada dalam kangkilo tersebut.

E.Penutup
Sebagai bangsa yang pernah berjaya selama beberapa abad, bangsa Buton memiliki berbagai pengalaman dan perkembangan pemikiran sesuai dengan zamannya masing-masing. Diawal kemunculannya, bangsa Buton masih dibangun atau dikonstruksi oleh tahapan berpikir mitologi, dan saat itu, bangsa Buton mampu melahirkan tokoh-tokoh kharismatik yang dapat membangun Buton sebagai kerajaan besar. Tetapi kemajuan masih ditunjang oleh aspek irasionalitas, sebagai ciri masyarakat tradisional.
Pada tahapan berpikir ideologi, saat inilah bangsa Buton mengalami kemerosotan perkembangan, perselisihan elit politik Buton telah bermuara pada konflik politik yang berkepanjangan. Subjektivitas menjadi pertimbangan yang sering dijadikan sebagai landasan berpikir dalam memberikan tanggapan atas sesuatu. Akibatnya sikap seperti itu berdampak pada hancurnya bangsa Buton secara politik, sosial, ekonomi dan budaya.

Oleh karena itu, untuk dapat mengembalikan bangsa Buton seperti kejayaannya di masa lalu, maka pola pikir bangsa Buton harus dikembalikan pada pola pikir ilmu pengetahuan yang didasarkan pada prinsip-prinsip ilmiah. Dengan demikian, bangsa Buton mampu memilah mana fiksi dan realitas, mana data dan mana presepsi serta bangsa Buton dapat memiliki berbagai pendekatan akademis dalam membangun dialog yang terbuka, rasional, objektif, analisis, kritik dan sistematis dalam membangun Buton Raya di masa yang akan datang. Bukan bangsa Buton yang penuh mitos yang kabur, dan bangsa Buton dalam bingkai ideologi yang subjektif.

F.Daftar Pustaka
Giddens, Anthony. 2002. Jalan Ketiga Pembaharuan Demokrasi Sosial. Jakata: PT Gramedia Pustaka Utama.
La Niampe, 1998. Kabanti Bula Malino : Kajian Filologis Sastra Wolio Klasik. Bandung : Universitas Padjadjaran: Tesis Program Pascasarjana.
Putra, Maia Papara. 2000. Membangun dan Menghidupkan Kembali Falsafah Islam Hakiki dalam Lembaga Kitabullah. Makassar: yayasan AUA Menyingsing Pagi.
Sahidin, La Ode. 2007. Kangkilo Pataanguna: Tinjauan Filologis. Bandung: Tesis Fakultas Sastra Universitas Padjajaran.
Schoorl, Pim.2003. Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton. Jakarta: Djambatan, KITLV.
Udu, Sumiman. 2006. Naskah Hikayat Negeri Buton. Kendari: belum diterbitkan.
Zaenu, La Ode. 1984. Buton dalam Sejarah Kebudayaan. Surabaya: Suradipa.
Zahari, Abdul Mulku. 1977/1978. Sejarah dan Adat Wil Darul Butuni. Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Depdiknas.
Zuhdi, Susanto. 1999. Labu Wana Labu Rope: Sejarah Buton Abad XVII-XVIII. Jakarta: Disertasi Program Pascasarjana Universitas Indonesia.
Ma’arif, Syafi’i, 2005. Muslim Tanpa Mitos: Dunia Kuntowijoyo. Yogyakarta: Lembaga Presma Ekspresi.