Jumat, 19 Maret 2010

Buton dalam Mitologi, Ideologi, dan Ilmu Pengetahuan

A.Pengantar

Buton sebagai salah satu Kesultanan yang ada di Nusantara, merupakan salah satu negeri atau bangsa yang trauma dalam sejarah (Zuhdi, 1999). Buton kehilangan konsepsi hidupnya selama berpuluh-puluh tahun. Buton tidak lagi mengenal dirinya, Buton terselimuti oleh mitologi dan ideologi, sehingga bangsa Buton kehilangan identitas dirinya sebagai bangsa yang memiliki dan mengagumi ilmu pengetahuan.

Perjalanan bangsa Buton pernah memasuki masa keemasannya yaitu pada masa pemerintahan Sultan Muhamad Idrus Kaimuddin. Ilmu Pengetahuan menjadi dasar dalam sistem pemerintahannya. Tidak salah kalau pada masa lalu kita mengenal ungkapan “Wolio siy mangkidi-kidi, kabongka-bongkana dunia”. Ungkapan leluhur Buton atas kebesaran bangsa Buton di atas, terlihat dari tingginya pergolakan ilmu pengetahuan di negeri ini . Penyebutan Buton sebagai pusat ilmu pengetahuan di masa lalu juga masih dapat ditelusuri dari banyaknya buah-buah pikiran leluhur kita yang tersimpan di dalam berbagai naskah. Hampir semua aspek kehidupan telah dibahas dalam naskah: pemerintahan, politik, pendidikan, persoalan perempuan, seks dan lain-lainnya.

Namun ungkapan tentang kebesaran Buton itu, hari ini perlu direfleksi kembali. Jangan sampai Buton kembali masuk ke dalam tahapan pemikiran mitologi, dan ideologi yang justru membawa Buton kepada masa kegelapan yang berdampak pada adanya perbedaan pandangan idiologis dalam masyarakat Buton sendiri. Sedanglan dalam sejarahnya, Buton telah mengalami tahapan berpikir ilmu pengetahuan yang membawa Buton pada masa keemasan di masa Muhamad Idrus Kaimuddin dan Syeh Haji Abdul Ganiu.

Untuk mengetahui lebih jauh tentang Buton dalam bingkai berpikir mitologi, ideology, dan ilmu pengetahuan, maka tulisan ini dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Studi pustaka (naskah dan beberapa referensi lainnya) dimaksudkan untuk mengetahui berbagai informasi mengenai sepek mitologi, ideologi dan ilmu pengetahuan di masa kesultanan Buton, sedangkan pengamatan dan wawancara dilakukan untuk mengetahui adat dan budaya Buton yang ada dalam masyarakat Buton dewasa ini. Selanjutnya data dianalisis dengan metode deskriptif kualitatif untuk menjelaskan perkembangan tahap-tahap pemikiran bangsa Buton di masa lalu dan hari ini.

B.Buton dalam Tahapan Pemikiran Mitologi

Dalam masyarakat Buton, tahapan pemikiran mitologi ini berlangsung sebelum abad ke-19 sampai awal abad ke-20. Menurut Kuntowijoyo (Dahlan dalam Ma’arif, 2005:25-26), mitos adalah suatu konsep tentang kenyataan yang mengandaikan bahwa dunia pengalaman kita sehari-hari terus-menerus disusupi oleh kekuatan-kekuatan keramat. Sistem pemikiran mitos ini ditandai cara berpikir pralogis (mistis) yang mengambil bentuk magis, pemberontakan dengan lokasi pedesaan, bersifat lokal, berlatar belakang ekonomi agraris masyarakat petani, solidaritas mekanis yang biasanya digerakan oleh model kepemimpinan seorang tokoh kharismatik.

Dalam sejarah perjalanan bangsa Buton, mitos jauh lebih jauh dari pada sejarah Buton sendiri. Cerita mengenai kelahiran Ratu Wa Kaaka merupakan salah satu contoh fiksi yang melatari lahirnya bangsa Buton yang berbaur dengan sejarah. Walaupun sejarah kehadiran Ratu Wakaaka berdasarkan fakta sejarah, tetapi masih disimpan dalam bingkai fiksi, legenda. Itulah pasal yang menjadi sebab mengapa fakta sejarah dalam mitos tapil dengan wadak yang terlampau samar dan sumir.

Sebagaimana disebutkan di atas, di awal-awal pertama tumbuhnya kerajaan Buton, sebagaimana kerajaan-kerajaan lain di dunia, semua memiliki mitos untuk membesarkan rajanya. Tersebutlah kisah raja-raja yang berasal dari buih, dari kahyangan, atau raja-raja yang datang dari tumbuhan. Dalam konteks itu, raja Buton pertama Ratu Wa Kaaka dimitoskan lahir dari bambu. Dan dari hasil perkawinananya dengan Si Batara yang merupakan laki-laki yang ditemukan di laut lahirlah Bulawambona (bdk. Zahari, 1977/1978; Zaenu, 1984).

Dunia mitologi ini, bagi bangsa Buton di zamannya, merupakan suatu yang harus ada dalam mendukung nilai kharismatik dari sang ratu, sebab jika ratu itu berasal dari manusia biasa, maka ia tidak akan memiliki kharismatik (Naskah Hikayat Negeri Buton). Maka untuk kepentingan itulah, mitologi dibutuhkan dalam kerajaan Buton dan kerajaan-kerajaan lain yang ada di dunia. Namun, tahapan berpikir mitologi itu, sudah ditinggalkan oleh bangsa-bangsa lain yang ada di dunia, sementara bangsa Buton sampai hari ini masih menggunakan cara berpikir mitologi dan menganggap bahwa kehidupan sehari-hari mereka selalu dipengaruhi oleh aspek-aspek mistis dan supranatural, akibatnya bangsa Buton terlambat untuk maju jika dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain yang telah bergeser ke dalam tahapan berpikir ilmu pengetahuan dan teknologi.

Memang mitos bukan hanya produk masyarakat tradisional, tetapi dalam dunia modern pun masih tetap menggunakan aspek mitos, dan disinilah perlunya kesadaran baru bagi masyarakat Buton bahwa pentingnya untuk berpikir dengan menggunakan metode ilmu pengetahuan yang objektif dan rasional. Dalam masyarakat Buton dewasa ini, sebagain masyarakat masih memiliki cara berpikir yang diselimuti oleh cara berpikir mitologi yang masih dipengaruhi oleh mitos-mitos lama.

Akibatnya, di era digital seperti ini, bangsa Buton mengalami kemerosotan cara berpikir. Bangsa Buton hampir tidak dapat melepaskan diri dari pola pikir mitologi, yang berdampak pada etos kerja mereka yang irasional dan tidak objektif, tetapi masih tetap terselimuti oleh mitos-mitos yang selama ini diyakininya sebagai bagian sejarah yang menguntungkan mereka. beberapa contoh dari cara berpikir mitologi itu adalah adanya penonjolan identitas yang ada dalam kalangan Buton. Mereka hanya mempertentangkan persoalan strata sosial, ‘ode’ dan bukan ‘ode’, karena mereka menganggap bahwa gelar itu merupakan sarana untuk mendapatkan kharismatik di dalam masyarakat. Lebih-lebih Belanda dengan metode politik belah bambunya berusaha untuk mengaburkan pola pikir Buton yang ilmiah dalam tatanan kehidupan mereka, misalnya ukuruan manusia Buton dalam martabat tujuh. Sementara di sisi yang lain, sebagian masyarakat Buton yang tidak menggunakan gelar itu akan terus-menerus melawan, pada hal saat ini, yang terpenting bagi bangsa Buton adalah kinerja dan profesionalisme.
Tidak semua yang disebut mitos itu salah dalam kehidupan manusia, tetapi seluruh hal-hal yang berbau mitologi harus mampu dijelaskan dengan pendekatan-pendekatan ilmu pengetahuan, karena dalam ilmu inilah bangsa Buton harus berada dalam realitas, walaupun tidak terlepas dari sejarah dan impian-impianya.

Di sinilah, dunia sufistik yang selalu menjadi dasar dari sebagian kehidupan masyarakat Buton harus dibongkar melalui penjelasan-penjelasan akademis, sehingga masa depan generasi Buton dapat mengerti tentang hakikat dirinya sendiri. Di sini, Islam sebagai salah satu pandangan masyarakat Buton juga harus mampu didekati dengan pendekatan-pendakatan akademis yang rasional. Karena tanpa melalu pendekatan rasionalitas, bisa jadi dunia hayalan kita tersesat pada apa yang dirasakan. Oleh karena itu, kultur budaya masyarakat Buton harus mengalami perubahan dasar berpikir, dari mitologi dan ideologi yang subjektif ke pola pikir ilmiah yang objektif.

C.Buton dalam Tahapan Pemikiran Ideologi

Buton sebagai sebuah bangsa telah terkoyak oleh adanya cara berpikir ideologi. Dalam tahap berpikir ini, ideologi tampil sebagai panglima dalam perjuangan menuju apa yang dicita-citakan oleh penganutnya. Maka sebagai sebuah bangsa yang di dalamnya terdapat berbagai kepentingan melahirkan beberapa kelompok masyarakat di dalam masyarakat Buton.

Masyarakat Buton mengenal konflik kepentingan tiga golongan Buton yaitu kamboru-mboru tolu palena, yang telah menyisakan konflik politik berkepanjangan yang ada di dalam masyarakat Buton. Konflik itulah yang pada akhirnya Buton terpuruk, hanya karena kepentingan golongan yang masing-masing merasa memiliki kebenaran masing-masing. Serta adanya, pelapisan masyarakat dalam masyarakat Buton, yang terdiri dari kaoumu, walaka, maradika dan batua, merupakan kepentingan politik sebagai buah dari cara berpikir yang lahir dari nilai-nilai ideologis yang harus di capai bersama oleh kelompok pengikutnya.

Dalam tahapan pemikiran ideologi, bangsa Buton telah masuk dalam organisasi-organisasi modern, maka lahirlah organisasi-organisasi modern tetapi masih tetap dalam pengaruh mitologi yang masih mengandalkan aspek kharismatik dari tokoh yang ada di dalam masyarakat. Keterlibatan Buton sebagai bangsa yang menganut ideologi, telah menyulap aspek mitologi dalam sejarah bangsa mereka sebagai bagian doktrinasi kelompok atau strata sosial. Sehingga yang bukan kelompok atau berbeda stara sosial dianggap sebagai lawan yang harus dikalahkan. Di ruang inilah bangsa Buton mengalami kemerosotan dalam ilmu pengetahuan. Karena mereka saling menggancurkan dalam pergolakan politik tradisional yang digerakan oleh ideologi kelompok tradisional.
Lebih gawat lagi, Buton sejak awal abad ke dua puluh atau lebih jauh lagi dari itu, Buton telah terjebak dalam pola ideologi yang panjang. Hal ini terlihat dari lahirnya golongan-golongan bangsawan sejak kelahiran Buton. Sejak adanya konsep kamboru-mburo tolu palena , bangsa Buton telah berada pada tahapan berpikir ideologi, yaitu nilai-nilai tertentu yang menjadi salah satu landansan perjuangan dari kelompok-kelompok ideologi tersebut.

Perjuangan bangsa Buton dengan berdasarkan ideologi yang menjadikan politik sebagai panglima telah membawa bangsa Buton pada kelemahan-kelemahan perjuangan menuju Buton yang maju dan bermartabat. Sehubungan dengan cara berpikir ideologi tersebut, Kuntowijoyo (dalam Sugito, 2005: 58-59) mengatakan bahwa ada beberapa keterbatasan yang ada pada cara berpikir ideologi, yaitu: (1) terbukanya peluang untuk merusak soliditas suatu bangsa, karena terkotak-kotak dalam berbagai golongan dan kepentingan, (2) akan menyedot alokasi sumber daya suatu bangsa ke politik dan menelantarkan pembinaan di bidang ekonomi, pendidikan, kebudayaan, dan moral bangsa tersebut; (3) mendorong munculnya pemikiran yang hanya berjangka pendek, kerdil dan miskin pemikiran yang memiliki visi jangka panjang; (4) jalur ideologi dan politik tidak dapat diandalkan dalam pembangunan sebuah bangsa di masa depan, karena tidak dapat memberikan solusi pada persoalan kompleks yang dihadapi oleh masyarakat umum; (5) perjuangan melalui jalur politik biasanya akan mengabaikan pembinaan nilai-nilai dasar suatu bangsa; dan (6) belum ada bukti empiris dalam sejarah modern yang mampu meyakinkan bahwa umat akan meraih kejayaan menyeluruh dengan menggunkan partai politk sebagai instrument perjauangan.

Dengan demikian, tahapan berpikir ideologi, merupakan tahapan berpikir yang dapat menghambat kemajuan suatu bangsa. Demikian juga dengan apa yang terjadi di dalam negeri Buton, dimana perpecahan masyarakat yang disebabkan oleh konflik politik, lebih-lebih pasca pemilu multi partai, seluruh tatanan masyarakat dihancurkan oleh adanya kepentingan politik sesaat, lebih-lebih mereka yang menggunakan uang untuk tujuan politiknya. Dengan demikian, bangsa Buton dapat dikatakan bahwa mereka telah keluar dari filosofi kehidupannya yang mengagumkan dan nilai-nilai kebenaran dan kemanusiaan sebagai mana yang termaktub dalam undang-undang martabat tujuh.

D.Buton dalam Tahapan Pemikiran Ilmu Pengetahuan

Dalam tahapan berpikir dengan menggunakan ilmu sebagai landasannya akan berbeda dengan menggunakan ideologi sebagai landasannya. Dalam ilmu sebagai landasan berpikir akan selalu melihat fakta dari sudut pandang objektif. Sedangkan ideologi akan selalu memandang fakta dari sudut pandang subjektifitas. Sehingga kepentingan pribadi dan golongan akan selalu menjadi prioritas dalam pola pikir politik (Kuntowijoyo dalam Sugito, 2005: 58-59).

Persoalan ideologi telah menjadi catatan sejarah yang paling menggenaskan di tanah Buton. Buton telah mendapatkan coretan sejarah yang paling mengerikan, saling mefitnah, sebagai akibat dari subjektifitas kerena pengaruh ideologi telah membawa Buton pada trauma yang panjang. Akibatnya Buton tidak dapat berbuat apa-apa. Oleh karena itu, penggunaan ilmu pengetahun dalam pembangunan Buton Raya perlu dipertimbangkan, karena objektifitas dalam pembangunan, akan berdampak pada terbukanya kesempatan bagi siapa saja yang mau bekerja secara professional.
Di masa lalu, Buton telah memiliki konsepsi ketatanegaraan yang begitu sempurna. Melalui Undang-Undang Martabat Tujuh, harkat dan martabat manusia telah ditentukan oleh kinerja. Kalau di dalam martabat tujuh orang yang dihormati ada empat banyaknya, (1) karena keberaniannya, (2) karena kealimannya, (3) karena mengorbankan hartanya, dan (4) karena membawa kepandaiannya di jalan pemerintah dalam menyelesaikan pekerjaan pemerintah Wolio (Niampe, 2007: 220-221). Dengan demikian, sejak dari dulu bangsa Buton telah mengenal objektifitas dalam mendudukkan konsep ketatanegaraan mereka.

Di samping itu, falsafah bangsa Buton dalam konsep Pobinci-binciki kuli yang kemudian di jelaskan dalam sara pataanguna (Pomaa-maasiaka, popia-piaraaka, pomae-maeaka, dan poangka-angkataka merupakan landasan dari hukum humanisme yang memiliki pandangan dimana manusia Buton memiliki hak dan kedudukan yang sama di mata hukum dan politik.

Dengan demikian, jika bangsa Buton kembali kepada falsafah hidup yang pernah dirumuskan oleh leluhur mereka, objektifitas sebagai salah satu syarat dari tahapan berpikir ilmu pengetahuan dapat menjadi landasan berpikir dalam pembangunan Buton Raya dewasa ini. Kamboru-mboru tolu palena, sebagai tiga kekuatan politik di negeri Buton akan terhindar dari pertikaian internal. Mereka akan menilai secara objektif dalam melihat siapa yang pantas dalam memimpin Buton. Dalam masyarakat Buton, melakukan penelusuran mengenai rekaman sejarah perjalan seorang istri dan calon sultan sesuai dengan data yang ada di masyarakat.

Selanjutnya, dengan menggunakan pola berpikir ilmu pengetahuan, siapa pun di negeri Buton ini memiliki kesempatan untuk berkarya, karena itulah yang diinginkan oleh Undang-Undang Martabat Tujuh. Semua strata sosial yang ada di Buton memiliki kesempatan yang sama dalam rangka memberikan kontribusi dalam pembangunan Buton Raya. Tidak ada lagi yang merasa minder dan merasa superior, tetapi empat starata sosial (kaomu, walaka, maradika dan batua) yang ada di Buton akan bersaing secara objektif dalam pembangunan Buton Raya. Karena pada prinsipnya mereka memiliki kedudukan yang sama dalam falsafah pobinci-binciki kuli.

Melalui tahapan berpikir ilmu pengetahuan, bangsa Buton dapat memasuki persaingan global yang penuh dengan kompetisi di berbagai bidang kehidupan, karena mereka akan mengikuti kompetisi tersebut dengan cara pandang yang rasional, obejektif dan suportif. Dengan menggunakan tahapan berpikir ilmu pengetahuan tersebut, bangsa Buton dapat dihindarkan dari intrik politik yang keji dan hina sebagai buah dari ideologi yang harus diperjuangkan oleh setiap penganutnya.

Di samping itu, melalui penggunaan tahapan berpikir ilmu dalam pembangunan Buton Raya, bangsa Buton akan dibangunkan dari kungkungan mitologi yang telah lama menyelimuti bangsa Buton. Kalau selama ini bangsa Buton besar dalam lamunan dan hayalan atau lebih tepat bangsa Buton hidup dalam dunia setengah fiksi dan setengah realitas, maka melalui berpikir ilmu dapat memperjelas mana fiksi dan mana realitas dalam kehidupan bangsa Buton.

Tidak ada yang membenci tahapan berpikir mitologi dan ideologi, tetapi harus disadari bahwa bangsa-bangsa lain di dunia sudah berjalan menuju jalan baru. Mereka sudah menggunakan ilmu pengetahuan dalam membangun kemajuan bangsanya. Sementara bangsa Buton, masih terjebak pada ungkapan tentang sejarah yang dirahasiakan. Sejarah yang dimitoskan, atau bahkan sejarah yang disembunyikan. Lihatlah, setiap generasi bangsa Buton mempertanyakan tentang sesuatu di Buton, maka jawaban yang paling popular dalam kalangan masyarakat Buton adalah bahwa itu adalah rahasia. Mengapa tidak dibongkar? Dengan menggunakan pendekatan ilmu pengetahuan, semua itu dapat diberikan argument dalam bentuk naratologi yang rasional dan obejektif sesuai dengan realitas sejarah yang ada di masa lalu.

Sebagai bangsa para sufisme, bangsa Buton mengenal konsep kenalilah dirimu, maka kau akan mengenal tuhanmu. Untuk itu, agar dapat membangun bangsa Buton, maka terlebih dahulu generasi bangsa Buton harus mengenal bangsa Buton itu sendiri. Baik Buton dalam konteks sejarah maupun Buton dalam konteks faham. Melalui metode ilmu pengetahuan, sejarah Buton harus ditulis dan dibuka secara terang benderang, sehingga dapat menjadi bagian sejarah dalam konteks Indonesia dan bahkan penulisan sejarah dunia. Karena selama ini sejarah Buton merupakan sejarah yang kalah dalam konteks Indonesia, dan ini mesti bangsa Buton menyadari bahwa ini adalah kesalahan bangsa Buton sendiri yang membuat sejarah bangsanya menjadi samar dalam bingkai fiksi dan realitas yang disamarkan oleh pengaruh mitos yang belum pernah tersibak atau sengaja dibiarkan.

Sebutlah, Hikayat Negeri Buton, yang mengisahkan tentang asal-usul negeri Buton, tidak semuanya berisi aspek realitas, tetapi juga berisi mengenai aspek-aspek fiksi yang mencampuri cerita tersebut. Sehingga dalam menentukan siapa pemiliki negeri Buton ini sebenarnya, apakah Si Panjongan adalah orang pertama di sini, di negeri Buton ini? Jawabannya, adalah bisa ya, dan juga bisa tidak? Sebab Hikayat Negeri Buton sendiri banyak dipengaruhi oleh Hikayat Negeri Banjar. Karena di dalam hikayat negeri Buton sendiri juga menjelaskan adanya beberapa kerajaan kecil yang sudah lama ada di Buton.

Diperlukan pendekatan ilmiah dalam membongkar sejarah masa lalu bangsa Buton. Karena melalui pendekatan ilmiah, bangsa Buton dapat membebaskan diri dari aspek mitologi. Demikian juga dengan aspek ideologi, melalui pendekatan ilmiah bangsa Buton akan menuju Buton Raya yang rasional, objektif, analisis, kritik dan sistematis. Buton Raya yang dapat memilah dimana data objektif, dan dimana prespektif yang pasti tidak ilmiah, dimana keberpihakan akan selalu dipengaruhi oleh factor subjektif.
Di samping itu, untuk mengembalikan bangsa Buton sebagai salah satu pusat kebudayaan dunia di masa lalu, perlunya membongkar kembali pendekatan leluhur bangsa Buton dalam merencanakan dan mengembangkan kebudayaan Buton. Buton sebagai salah satu negara demokrasi pertama di dunia , memiliki konsepsi pemerintahan yang mampu mengakomodasi individualisme, kapitalisme, sosialisme, hukum dan religious. Konsepsi kehidupan bangsa Buton sebagai negara demokrasi pertama di dunia, dapat dilihat dari konsep inda-indamo arata, somanamo karo, inda-indamo karo, somanamo lipu, inda-indamo lipu somanamo sara, inda-indamo sara somanamo agama sadaa-daa (Putra, 2000: 86).

Dari konsepsi kehidupan sebagaimana disebutkan di atas, bangsa Buton memiliki sistem konsep hidup yang mampu memberikan jawaban atas berbagai masalah yang ada di dunia. Antony Geddes (2003) yang hanya mempertemukan kapitalisme dan sosialime dalam bukunya Jalan Ketiga Pembaruan Demokrasi Sosial, sudah menggoyang tatanan dunia, sementara itu, leluhur bangsa Buton yang sejak lama telah merumuskan penyatuan berbagai konsep ideologi tersebut di atas, bangsa Buton tinggalkan, atau hanya mengambil sebagian dari konsep tersebut secara terpisah. Dalam hubungannya dengan ini, perlukah ada refleksi tentang apa yang dilakukan oleh bangsa Buton hari ini? Masihkan bangsa Buton hari ini menggunakan konsepsi hidup yang pernah dirumuskan oleh leluhur mereka atau tidak?

Rupanya, dengan mendekati konsepsi hidup yang pernah dibangun oleh leluhur Buton melalui pendekatan ilmu pengetahuan, bangsa Buton dapat menunjukkan diri sebagai bangsa yang mampu memberikan alternative pemecahan masalah-masalah dunia. Sebagai contoh, persoalan lingkungan yang menjadi isu utama dunia hari ini, dapat diselesaikan hanya dengan cara membuka konsepsi bangsa Buton mengenai konsep kangkilo . Sebab dengan konsep kangkilo, bangsa Buton tidak akan merusak lingkungan. Hanya saja, perlunya metode ilmiah untuk memberikan penjelasan akademis dalam meyakinkan dunia tentang konsep lingkungan yang ada dalam kangkilo tersebut.

E.Penutup
Sebagai bangsa yang pernah berjaya selama beberapa abad, bangsa Buton memiliki berbagai pengalaman dan perkembangan pemikiran sesuai dengan zamannya masing-masing. Diawal kemunculannya, bangsa Buton masih dibangun atau dikonstruksi oleh tahapan berpikir mitologi, dan saat itu, bangsa Buton mampu melahirkan tokoh-tokoh kharismatik yang dapat membangun Buton sebagai kerajaan besar. Tetapi kemajuan masih ditunjang oleh aspek irasionalitas, sebagai ciri masyarakat tradisional.
Pada tahapan berpikir ideologi, saat inilah bangsa Buton mengalami kemerosotan perkembangan, perselisihan elit politik Buton telah bermuara pada konflik politik yang berkepanjangan. Subjektivitas menjadi pertimbangan yang sering dijadikan sebagai landasan berpikir dalam memberikan tanggapan atas sesuatu. Akibatnya sikap seperti itu berdampak pada hancurnya bangsa Buton secara politik, sosial, ekonomi dan budaya.

Oleh karena itu, untuk dapat mengembalikan bangsa Buton seperti kejayaannya di masa lalu, maka pola pikir bangsa Buton harus dikembalikan pada pola pikir ilmu pengetahuan yang didasarkan pada prinsip-prinsip ilmiah. Dengan demikian, bangsa Buton mampu memilah mana fiksi dan realitas, mana data dan mana presepsi serta bangsa Buton dapat memiliki berbagai pendekatan akademis dalam membangun dialog yang terbuka, rasional, objektif, analisis, kritik dan sistematis dalam membangun Buton Raya di masa yang akan datang. Bukan bangsa Buton yang penuh mitos yang kabur, dan bangsa Buton dalam bingkai ideologi yang subjektif.

F.Daftar Pustaka
Giddens, Anthony. 2002. Jalan Ketiga Pembaharuan Demokrasi Sosial. Jakata: PT Gramedia Pustaka Utama.
La Niampe, 1998. Kabanti Bula Malino : Kajian Filologis Sastra Wolio Klasik. Bandung : Universitas Padjadjaran: Tesis Program Pascasarjana.
Putra, Maia Papara. 2000. Membangun dan Menghidupkan Kembali Falsafah Islam Hakiki dalam Lembaga Kitabullah. Makassar: yayasan AUA Menyingsing Pagi.
Sahidin, La Ode. 2007. Kangkilo Pataanguna: Tinjauan Filologis. Bandung: Tesis Fakultas Sastra Universitas Padjajaran.
Schoorl, Pim.2003. Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton. Jakarta: Djambatan, KITLV.
Udu, Sumiman. 2006. Naskah Hikayat Negeri Buton. Kendari: belum diterbitkan.
Zaenu, La Ode. 1984. Buton dalam Sejarah Kebudayaan. Surabaya: Suradipa.
Zahari, Abdul Mulku. 1977/1978. Sejarah dan Adat Wil Darul Butuni. Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Depdiknas.
Zuhdi, Susanto. 1999. Labu Wana Labu Rope: Sejarah Buton Abad XVII-XVIII. Jakarta: Disertasi Program Pascasarjana Universitas Indonesia.
Ma’arif, Syafi’i, 2005. Muslim Tanpa Mitos: Dunia Kuntowijoyo. Yogyakarta: Lembaga Presma Ekspresi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar