Jumat, 19 Maret 2010

PERAN PEREMPUAN DALAM PEMBANGUNAN BUTON RAYA

A.Pengantar
Perempuan pernah mengalami masa-masa gemilang di dalam sejarah kesultanan Buton. Keterlibatan perempuan di dalam sistem pemerintahan Buton di masa lalu dapat dilihat dari keberadaan raja Buton pertama dan raja Buton kedua. Raja Buton pertama adalah Ratu Wakaaka dan raja keduanya adalah Ratu Bulawambona (Zahari, 1977/1978; Zaenu, 1984). Di zaman kesultanan, perempuan bertanggung jawaba atas kesejahteraan dan keselamatan kesultanan. Di samping itu, tugas perempuan adalah menjadi guru bagi anak-anak Buton. Sehingga dapat dikatakan bahwa peran perempuan dalam masyarakat Buton sejak awal berdirinya kerajaan Buton telah menempati posisi-posisi strategis.
Melihat berbagai peran perampuan di masa lalu, keterlibatan perempuan dalam berbagai dimensi kehidupan telah menjadikan Buton sebagai salah satu kesultanan yang menempatkan posisi laki-laki dan perempuan dalan kondisi yang saling melengkapi. Oleh karena itu, dalam pembangunan Buton Raya keterlibatan perempuan dan laki-laki dapat menciptakan suatu keharmonisan yang dapat menjadi sumber kekuatan dalam menciptakan kreativitas dan kinerja yang baik. Hal ini senada yang dikemukakan oleh orang-orang tua Buton bahwa keharmonisan keluarga berimplikasi pada vitalitas kinerja anggota keluarga tersebut.
Pentingnya penelusuran konsep mengenai peran perempuan di dalam sistem pemerintahan kesultanan Buton, mengingat sistem ini pernah diterapkan dalam kerajaan Buton selama beberapa abad . Selama itu pula, keterlibatan perempuan dalam sistem pemerintahan kesultanan Buton begitu besar. Hal ini dapat dilihat dari keberadaan perempuan sebagai ratu dan sebagai oputa bawine (permaisuri) dan sara bawine (Dewan Perempuan) dalam sistem pemerintan kesultanan Buton.
Untuk mengetahui lebih jauh tentang peran perempuan dalam pembangunan Buton Raya di masa depan, maka tulisan ini dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Studi pustaka (naskah dan beberapa referensi lainnya) dimaksudkan untuk mengetahui berbagai informasi mengenai peran perempuan dalam sistem kesultanan Buton di masa lalu, sedangkan pengamatan dan wawancara dilakukan untuk mengetahui adat dan budaya Buton yang ada dalam masyarakat Buton dewasa ini. Selanjutnya data dianalisis dengan metode analisis deskriptif kualitatif untuk menjelaskan peran perempuan dalam sistem pemerintahan kesultanan Buton dan peran perempuan dan pembangunan Buton Raya.

B.Peran Perempuan dalam Pembangunan Buton Raya
Untuk menjelaskan peran perempuan dalam pembangunan Buton Raya, maka analisis dalam tulisan ini akan dilakukan dengan melihat beberapa hal yang terkait dengan peran perempuan di masa kesultanan Buton, karena peran perempuan dalam pembangunan Buton Raya, diharapkan berakar dari budaya Buton sebagai identitas. Dengan berakar pada nilai-nilai kebutonan yang dipadukan dengan nilai-nilai baru sesuai dengan perkembangan dewasa ini, diharapkan peran perempuan dalam pembangunan Buton dapat dimaksimalkan sesuai sehingga dapat menjadi kekuatan pembangunan yang bersinergi dalam menciptakan harmisits dan kinerja yang tinggi serta kualitas kerja yang memiliki daya saing yang tinggi.
1. Peran Perempuan dalam Bidang Pemerintahan
Peran perempuan dalam pembangunan Buton Raya khususnya dalam sektor pemerintahan dapat dimaksimalkan dengan melihat beberapa peran perempuan dalam sistem pemerintahan kesultanan Buton di masa lalu. Di masa lalu, perempuan pernah tampil sebagai ratu pertama dan ratu kedua kerajaan Buton. Ini menunjukkan bahwa perempuan waktu itu memegang peranan penting dalam sistem pemerintahan kerajaan Buton.
Setelah raja Buton kelima sekaligus sultan Buton pertama (Lakilaponto/Latimba-timbanga) (Zuhdi, 1995: 54), kedudukan perempuan di dalam pemerintahan kesultanan Buton sudah mengalami kemerosotan. Sejak saat itu, perempuan tidak pernah lagi menduduki posisi strategis sebagai sultan dalam pemerintahan kesultanan Buton. Tetapi, perempuan masih terlibat dalam sistem pemerintahan kesultanan Buton sebagai permaisuri. Keterlibatan perempuan tersebut dapat dilihat dari adanya prosesi pelantikan istri sultan sebagai oputa bawina (permaisuri) yang hampir sama dengan upacara untuk pelantikan sultan. Pelaksana upacara itu ialah istri para pejabat yang terlibat dalam upacara pelantikan sultan (Berg, 1939: 519).
Dalam tugasnya sebagai oputa bawina (permasuri), perempuan memiliki dua peran penting yaitu menjaga keselamatan dan kesejahteraan kesultanan. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Schoorl (2003: 217) bahwa, peran perempuan dalam kesultanan Buton adalah menjaga kesejahteraan dan keselamatan kesultanan dari berbagai macam penyakit, bencana alam dan panen yang gagal. Selian itu, permaisuri juga secara khusus bertugas untuk menjaga kesehatan dan keselamatan sultan.
Dalam kehidupan masyarakat Buton, perempuan juga bertanggung jawab atas beberapa hal, yaitu (1) merawat anak, (2) mencari rezeki bersama-sama dengan suami, (3) mendidik anak, dan (4) melakukan amalan, (amala) untuk melindungi keselamatan suami disaat berada di luar rumah (Udu, 2006: 145). Sehubungan dengan tanggung jawab tersebut, diuraikan dalam Sarana Azali dan Sarana Susua bahwa perempuan berkewajiban untuk mengatur hal-hal yang berhubungan dengan perawatan dan pendidikan anak-anak di dalam kesultanan.
Keberadaan perempuan dalam masyarakat Buton, dapat juga dilihat dari pandangan hidup (faham) masyarakat Buton yang memandang bahwa kesuksesan hidup hanya dapat diraih jika ada keharmonisan suami istri dalam keluarga. Segala percekokan dalam rumah tangga akan berdampak negatif pada masa depan kehidupan mereka, sebaliknya keharmonisan keluarga akan berdampak positif pada kesuksesan keluarga. Demikian juga dalam sistem pemerintahan, bahwa keharmonisan keluarga kesultanan akan berdampak pada keselamatan dan kesejahteraan keluarga, sebaliknya jika permaisuri tidak dapat menjalankan tugasnya dalam mendampingi sultan, maka akan berdampak negatif bagi jalannya pemerintahan (Udu, 2009: 3).
Dengan demikian, peran perempuan dalam pembangunan Buton Raya harus didasarkan pada nilai-nilai kebutonan sebagai jati diri dan sebagai landasan dalam melakukan aktivitas dalam berbagai dimensi kehidupan. Kalau di zaman kesultanan istri seseorang merupakan salah satu pertimbangan dalam pencalonan sultan, maka syarat seperti itu sebaiknya dapat dijadikan sebagai salah satu pertimbangan dalam proses pembangunan sistem pemerintahan Buton Raya.
Di sampiang itu, untuk memaksimalkan peran perempuan sebagaimana perannya di masa lalu, maka sara bawine yang pernah ada di masa kesultanan Buton masih tetap relevan untuk masa-masa yang akan datang. Karena melalui sara bawine atau Dewan Perwakilan Perempuan (DPP) perempuan dapat merumuskan berbagai kebutuhannya sebagaimana yang diperankan oleh sara bawine di masa lalu. Melalui DPP-lah, perempuan dapat merencanakan pendidikan, kesejateraan, ekonomi bagi Buton Raya. Melalui DPP juga, diharapkan perempuan mampu memiliki sensifitas yang tinggi terhadap berbagai masalah perempuan Buton Raya.
Keterlibatan perempuan dalam bidang pemerintahan, akan bersinergi dengan peran laki-laki dalam pembangunan Buton Raya. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh John Shors (2006) bahwa kehadiran seorang perempuan dalam kehidupan seorang laki-laki adalah ketika laki-laki itu bergerak, maka ia akan mengintip dari belakang, tetapi ketika laki-laki itu tidak dapat lagi bergerak, maka ia akan datang memberikan saran dan solusi dalam berbagai situasi. Ini sejalan dengan padangan masyarakat Buton bahwa terdapat kecenderungan bahwa setiap laki-laki yang sukses di dalam masyarakat Buton, adalah laki-laki yang di dukung oleh perempuan yang besar, berpikir demokratis dan terlibat dalam pengambilan keputusan di dalam keluarga.
Oleh karena itu, keterlibatan perempuan dalam bidang pemerintahan di masa lalu, bukan suatu yang kebetulan, tetapi atas kesadaran dari konsep sufisme yang mendasari faham kebutonan yang diilhami oleh pentingnya keharmonisan laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan. Sehubungan dengan persoalan hubungan laki-laki dan perempuan tersebut, Anthony Giddens (2003: 107) mengatakan bahwa bangsa manapun yang mau sukses di masa depan harus di dukung keluarga-keluarga yang demokratis. Dimana keluarga demokratis memiliki ciri (1) saling menghormati, (2) adanya otonomi keluarga, dan (3) pengambilan keputusan melalui komunikasi. Dengan demikian, pengambilan keputusan bukan lagi dalam bentuk dominasi orang tua atau laki-laki, melainkan diambil dari hasil komunikasi yang dilakukan oleh anggota keluarga, termasuk anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan. Dengan demikian, keterlibatan perempuan dalam pembangunan Buton Raya dapat mendukung percepatan pembangunan Buton Raya sehingga dapat mensejajarkan diri dengan negeri-negeri lain yang ada di dunia.

2. Peran Perempuan dalam Bidang Sosial Kultural
Dalam bidang sosial kultural, kedudukan dan peran perempuan dalam kesultanan Buton dipengaruhi oleh sistem pelapisan masyarakat. Ada empat lapisan masyarakat dalam masyarakat Buton, yaitu kaomu , walaka , maradika dan batua . Berdasarkan pelapisan tersebut, laki-laki dapat menikahi perempuan yang sederajat dengannya atau perempuan yang lebih rendah derajatnya, tetapi perempuan tidak dapat menikahi laki-laki yang berada pada kelas sosial di bawahnya (Munafi, 2001).
Berdasarkan pelapisan masyarakat Buton di atas, rupanya perempuan masih diposisikan dalam posisi subordinasi. Mengapa laki-laki dapat menikah dengan perempuan di bawahnya, sedangkan perempuan tidak dapat menikah dengan laki-laki di bawah strata sosialnya? Pada hal jika kita merujuk pada Undang-Undang Martabat Tujuh yang termaktub dalam Sarana Wolio, maka masyarakat Buton akan memberikan penghargaan kepada seseorang atas karyanya. Di dalam martabat dijelaskan bahwa yang dihormati itu ada empat banyaknya (1) karena keberaniannya, (2) karena kealimannya, (3) karena mengorbankan hartanya, dan (4) karena membawa kepandaiannya di jalan pemerintah dalam menyelesaikan pekerjaan pemerintah Wolio (Niampe, 2007: 220-221).
Oleh karena itu, dalam pembangunan Buton Raya peran perempuan dan laki-laki harus dikembalikan pada identitas Buton yang termaktub dalam Undang-Undang Martabat Tujuh tersebut. Bahwa manusia itu pada prinsipnya memiliki kedudukan yang sama di depan hukum. Karena masyarakat Buton mengenal hukum pobinci-binciki kuli yang meliputi pomaa-masiaka, popia-piaraka, poangka-angkataka pomae-maeaka. Saling menyayangi, saling memelihara, saling menghormati dan saling takut menakutkan (Putra, 2000: 86). Manusia dihormati bukan karena jenis kelaminnya melainkan karena karyanya.
Dengan demikian, dalam pembangunan Buton Raya, hendaknya bangsa Buton harus menoleh ke belakang kembali berpegang teguh pada Undang-Undang Martabat Tujuh sebagai salah satu landasan filosofis dalam menata kebudayaan yang pernah disepakati oleh leluhur Buton. Karena dengan berpegang teguh pada Undang-Undang Martabat Tujuh tersebut, maka siapapun, laki-laki dan perempuan dapat berperan secara maksimal dalam pembangunan Buton Raya.
Dalam Undang-Undang Martabat Tujuh dinyatakan bahwa mereka yang dihormati adalah mereka yang berjasa, sehingga terbuka peluang kepada siapa saja untuk berkarya, karena hanya mereka yang berkaryalah yang akan mendapatkan penghargaan. Di sini, dapat dilihat bahwa aspek prefesionalisme sangat dihargai dalam kultur masyarakat Buton. Dengan demikian, Undang-Undang Martabat Tujuh sebagai landasan kehidupan berbangsa dan bernegara bagi bangsa Buton sudah saatnya ditelaah sebagai dasar pijakan sosial cultural kita dalam pembangunan Buton Raya. Karena dengan mengembalikan harkat dan martabat bangsa Buton sebagaimana yang ada dalam Martabat Tujuh tersebut, maka peran perempuan dalam pembangunan Buton Raya dapat dimaksimalkan.

3. Peran Perempuan dalam Bidang Ekonomi
Di zaman kesultanan Buton, salah tugas perempuan yang paling penting adalah menjaga kesejahteraan kesultanan. Ini merupakan tugas penting seorang permaisuri dalam mendampingi sultan. Dalam tugasnya untuk menjaga kesejahteraan kesultanan ini, permaisuri memegang tanggung jawab yang berat, antara lain ia harus selalu melakukan semedi (amala) dan ia tidak diperkenankan untuk keluar rumah demi melindungi kesultanan dari gagal panen (Schoorl, 2003: 217).
Permaisuri memegang peranan penting dalam menjaga kesejahteraan kesultanan. Jika kebun masyarakat gagal panen, maka pasti ada yang salah sistem pemerintahan kesultanan Buton. Faham Buton itu menjadi tanggung jawab permaisuri, disitulah keselamatan dan kesejahteraan kesultanan berada di tangan permaisuri. Dalam pandangan masyarakat Buton, kesejahteraan keluarga sangat ditentukan oleh perempuan . Seorang pedagang yang berlayar dengan perahu karoro ke luar daerah, rezekinya ditentukan oleh keberadaan istri di dalam rumah. Kesuksesan suami di dalam bidang ekonomi merupakan kesuksesan istri di dalam rumah.
Jika sebuah keluarga mengalami kesuksesan di bidang ekonomi, maka pertanyaan orang-orang Buton adalah “siapa istrinya?”, bukan “siapa suaminya?”, karena dalam orang-orang Buton memahami bahwa dunia luar sangat dipengaruhi oleh keharmonisan di dalam keluarga. Sehingga kesuksesan laki-laki di luar rumah dalam berbagai bidang kehidupan sangat dipengaruhi oleh keberadaan perempuan yang ada di dalam rumah. Keharmonisan keluarga Buton, akan mempengaruhi dunia luar yang pada akhirnya akan berdampak pada kesejahteraan keluarga dan masyarakat Buton secara keseluruhan.
Lebih jauh dijelaskan bahwa, dalam menjaga kesejahteraan sosial tersebut, masyarakat percaya bahwa untuk memulai pembukaan lahan pertanian atau mengawali panen harus dimulai oleh seorang perempuan cantik dan banyak anaknya serta berkecukupan dalam kehidupan keluarganya . Karena perempuan cantik dan banyak anak serta berkecukupan tersebut merupakan simbol dari keberuntungan dan kesejahteraan.
Oleh karena itu, dalam pembangunan ekonomi Buton Raya, perempuan bertanggung jawab atas masalah-masalah ekonomi keluagra dan pemerintahan Buton Raya. Paling tidak, istri bupati atau istri gubernur Buton Raya harus malu atau takut jika suaminya hanya memperkaya kelompoknya, lebih-lebih hanya memperkaya keluarganya.
Di sisi yang lain, keterlibatan perempuan dalam pembangunan ekonomi Buton Raya, perlu melihat keterlibatan perempuan di masa lalu. Dimana bangsa Buton akan memiliki ingatan kolektif mengenai kesuksesan perempuan Buton dalam bidang ekonomi. Dengan demikian, keterlibatan perempuan dalam sektor ekonomi perlu dipertimbangkan. Untuk melibatkan perempuan dalam pembangunan ekonomi Buton Raya, maka ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan yaitu (1) perempuan mampu mengakses perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan pembangunan ekonomi Buton Raya.
Keterlibatan perempuan dalam pembangunan ekonomi Buton Raya, diperlukan karena angkatan kerja masyarakat Buton yang paling efektif dan efisien di pasar adalah perempuan . Mereka lebih sabar dan efisien dalam mengelola pasar jika di bandingkan dengan laki-laki. Di samping itu, perempuan juga sangat teliti, sabar, ulet dan tabah dalam menjalankan ekonomi keluarga.
Maka untuk membangun ekonomi Buton Raya, kesadaran bahwa keharmonisan keluarga yang dibangun atas prinsip saling melengkapi antara laki-laki dan perempuan merupakan modal utama bagi bangsa Buton untuk membangun ekonominya. Di samping itu, jika perempuan diberi akses ruang-ruang produksi di masa depan, baik dalam bidang industri, pertanian, peternakan, maupun dalam bidang perikanan, dan pariwisata. Perempuan akan memberikan sinergisitas yang baik dalam mengisi ruang-ruang produksi tersebut, karena kehadiran perempuan secara biologis pun memiliki daya tahan, kesabaran, kecermatan dan ketelitian dalam menghasilkan produk-produk lokal yang unggul dan dapat bersaing di pasar global.

4. Peran Perempuan dalam Bidang Pendidikan
di zaman kesultanan Buton, salah satu kriteria istri calon sultan adalah kriteria, apakah istri calon sultan tersebut dapat mendidik anak-anak dalam kesultanan atau tidak? Oleh karena itu, permaisuri (oputa bawine) berperan sebagai guru di dalam lingkungan kesultanan Buton. Dalam tugasnya sebagai guru tersebut, perempuan (permaisuri) memegang peran strategis dalam menanamkan konsep kebutonan kepada generasi Buton di masa depan. Masa depan Kesultanan Buton berada di tangan perempuan sebagai guru. Oleh karena itu, permaisuri harus memiliki ilmu yang tinggi. Baik ilmu keduniaan maupun ilmu-ilmu kebatinan (amala).
Di bidang sastra, masyarakat Buton mengenal Wa Ode Samarati sebagai sastrawan. Ia menulis kabanti yang berjudul Kanturuna Molingkana ‘lampu dalam perjalanan’ (Niampe, 1998: 61). Keberadaan penyair perempuan tersebut, tentunya berhubungan dengan tugas-tugas perempuan (permaisuri dan Sarana Bawine) dalam memberikan pendidikan bagi perempuan di lingkungan istana.
Tugas perempuan (permaisuri) dalam bidang pendidikan ini dilakukan mulai sejak proses pendidikan calon ibu di dalam lingkungan kesultanan, terutama mengenai ilmu berumah tangga (bdk. Udu, 2006: 6). Karena menurut orang-orang Buton, pendidikan seseorang sudah harus dimulai sejak dalam proses pembuatannya. Jadi calon ibu sudah harus mempelajari ilmu berumah tangga yang diajarkan oleh permaisuri bersama-sama dengan sara bawine (Dewan Perempuan).
Untuk kepentingan ilmu berumah tangga inilah masyarakat Buton mengenal kabanti Kaluku Panda Atuwu Incana Dempa (Rusdin, 2002: 117; Udu, 2007: 3). Sebab ilmu berumah tangga ini merupakan puncak ilmu pengetahuan di dalam masyarakat Buton. Karena ilmu berrumahtangga tersebut berhubungan dengan berbagai bidang kehidupan selanjutnya. Di sinilah perempuan (permaisuri) diatur dalam sarana susua untuk merawat dan mendidik anak-anak dan perempuan Buton yang ada di lingkungan kesultanan.
Perempuan merupakan peletak dasar kebudayaan dalam kehidupan manusia. Merekalah guru kita yang pertama di dunia ini. Disini, anak-anak Buton sudah harus didik oleh ibunya tentang budaya Buton sejak dini. Cantor dan Bernay (1998: 314) mengatakan bahwa ibu berperan dalam reproduksi kepribadian seorang anak, hal ini disebabkan oleh adanya ikatan batin antara anak dan ibunya. Di sinilah peran perempuan Buton dalam pendidikan anak-anak Buton. Sehubungan dengan itu, dalam dalam masyarakat Buton Sara Bawine memiliki peran strategis dalam melakukan pendidikan mengenai ilmu berumah tangga kepada gadis-gadis dalam kegiatan sombo’a atau pingitan. Sehingga tradisi pendidikan dalam kultru budaya Buton tersebut masih sangat relevan untuk ditransformasikan ke dalam pola pendidikan karakter anak-anak Buton dewasa ini.
Di samping itu, dalam pembangunan Buton Raya perempuan sudah harus profesionalisme di bidangnya masing-masing, mereka sudah harus keluar dari streotipe bahwa perempuan hanya hidup dalam 3R, (dapur, sumur dan ranjang). Untuk meningkatkan peran perempuan di masa depan, kesadaran mengenai pentingnya keterlibatan perempuan dalam bidang pendidikan perlu merefleksikan peran-peran perempuan sebagai peletak dasar kebudayaan bagi anak-anak Buton di masa lalu. Oleh karena itu, di masa depan perempuan sudah harus mampu mengakses berbagai jenjang pendidikan sebagai modal dalam pembinaan generasi Buton di masa depan.
Tuntutan undang-undang mengenai anggaran pendidikan 20% bagi penyelenggaran pemerintahan di bangsa ini, merupakan suatu yang diharuskan bagi setiap pemerintah daerah. Namun, bagi Buton Raya anggaran pendidikan itu perlu direnungkan karena pembangunan sesungguhnya adalah pembangunan Sumber daya manusia. Untuk itu, di masa depan, Buton dalam ungkapan Wolio ini kabongka-bongkana dunia perlu direalisasikan atau dikembalikan sebagaimana eksisitensi ilmu pengetahuan di masa lalu.
Bahwa pembangunan Sumber Daya Manusia, bagi pemerintah Buton Raya di masa depan merupakan syarat utama dalam menciptakan masyarakat adil dan makmur dalam pembangunan Buton Raya. Komitmen pemerintah pusat untuk menyediakan anggaran pendidikan 20% dari APBN sekurang-kurangnya perlu diapresiasi oleh pemerintah daerah sebagai salah satu prioritas dalam pembangunannya. Dengan adanya upaya peningkatan kapasitas sumber daya manusia perempuan Buton, maka masyarakat Buton Raya dapat memiliki pengetahuan dan skill sehingga dapat hidup sejahtera, adil dan makmur sebagaimana yang dicita-citakan bersama. Tetapi jika, pembangunan sumber daya manusia bukan menjadi prioritas dalam pembangunan Buton Raya, maka bisa jadi Buton Raya akan kehilangan konsepsi dirinya sebagai mana disinyalir oleh leluhur Buton bahwa Wolio ini kabongka-bongkana dunia. Karena ungkapan itu merupakan refleksi atas keberadaaan Buton sebagai salah satu pusat dari puncak-puncak ilmu pengetahuan dunia di zamannya.

5. Peran Perempuan dalam Bidang Politik
Untuk melihat keterlibatan perempuan dalam bidang politik dalam pembangunan Buton Raya, maka sejak awal perempuan Buton telah dinobatkan menjadi raja. Di samping itu, juga dikenal sara bawine (dewan perempuan) yang dipimpin oleh permaisuri. Keterlibatan sarana bawine (dewan perempuan) ini bertugas untuk menjaga keselamatan dan kesejahteraan kesultanan. Di samping itu, sara bawine ini tentunya bertugas untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan di dalam kesultanan Buton.
Di dalam masyarakat Buton, khususnya masyarakat Wangi-Wangi mengenal tarian honari mosega. Dalam performansi tarian ini, perempuan masuk mendahului kaum laki-laki. Ini menunjukkan bahwa dalam hal negosiasi dan peperangan perempuan Buton lebih banyak unggul di banding dengan laki-laki. Di samping itu, tarian ini merupakan ingatan kolektif masyarakat Buton tentang strategi perang dalam menghadapi musuh. Hal ini merupakan aplikasi konsep politik bangsa Buton yang terdapat dalam kitab Bula Malino karya Muhamad Idrus Kaimuddin sebagaimana pernyataan (La Ode Malim, 1983: 16) yang mengatakan bahwa jika musuh datang dengan kekuatannya hadapi dengan kelembutanmu tapi jangan minta dilindungi, jika musuh datang dengan kepintarannya hadapi dengan kebodohanmu, tapi jangan berguru, jika musuh datang dengan kekayaanya, hadapi dengan kemiskinanmu, tapi jangan meminta, dan jika musuh datang dengan kelemahannya, maka lindungilah dan perlakukanlah dengan baik.
Oleh karena itu, dalam pembangunan Buton Raya yang dicita-citakan oleh bangsa Buton, keterlibatan perempuan harus dikembalikan sebagaimana keterlibatan perempuan dimasa lalu. Perempuan harus dilibatkan dalam berbagai pengambilan keputusan di dalam berbagai ranah kehidupan sosial dan pemerintahan pemerintahan Buton Raya.

C.Penutup
Selama berabad-abad perempuan Buton telah memerankan berbagai peran strategis dalam berbagai bidang kehidupan. Mereka pernah menjadi ratu, menjadi permaisuri, dan memiliki lembaga adat (sara bawine) dalam membangun Buton di masa lalu. Oleh karena itu, dalam pembangunan Buton Raya, peran perempuan harus dimaksimalkan sebagaimana peran perempuan di masa kesultanan.
Keterlibatan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan dalam pembangunan Buton Raya merupakan sesuatu yang mutlak, karena keharmonisan laki-laki dan perempuan akan memberikan kekuatan pembangunan yang luar biasa. Dalam ruang demokrasi, laki-laki dan perempuan Buton Raya harus saling member satu sama lain, sehingga terwujud masyarakat Buton Raya yang memiliki sinergisitas yang tinggi, serta memiliki etos kerja dan daya saing tinggi dalam memenangkan persaingan di era global. Di situlah, Buton Raya menuju sebagai mana ramalan leluhur kita bahwa Buton akan mengalami masa kejayaan setelah seratus enam puluh lima tahun sejak kejayaannya di masa lalu, dan saat itu adalah terserah dari keharmonisan generasi Buton Raya hari ini dan akan datang.

D.Daftar Pustaka
Cantor. Dorothy W., dan Bernay, Toni. 1998. Women in Power: Kiprah Wanita dalam Dunia Politik. Diterjemahkan oleh J. Dwi Helly Purnomo (editor). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Giddens, Anthony. 2002. Jalan Ketiga Pembaharuan Demokrasi Sosial. Jakata: PT Gramedia Pustaka Utama.
La Niampe, 1998. Kabanti Bula Malino : Kajian Filologis Sastra Wolio Klasik. Bandung : Universitas Padjadjaran: Tesis Program Pascasarjana.
La Ode Malim, 1958. Membara di Api Tuhan. Ujung Pandang: Balai Bahasa Ujung Pandang
Munafi, La Ode Abdul. 2001. Langke dalam Kehidupan Orang Buton di Sulawesi Tenggara (Kajian Strukturalisme tentang Pranata Migrasi. Bandung : Tesis Program Pascasarjana Universitas Padjajaran
Putra, Maia Papara. 2000. Membangun dan Menghidupkan Kembali Falsafah Islam Hakiki dalam Lembaga Kitabullah. Makassar: Yayasan AUA Menyingsing Pagi
Rusdin, Ali. 2002. Kaluku Panda: Telaah Filologis Naskah Wolio. Bandung: Tesis Pascasarjana Universitas Padjajaran.
Schoorl, Pim.2003. Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton. Jakarta: Djambatan, KITLV.
Shors, Jhon. 2006. Tajmahal: Kisah Cinta Abadi. Bandung: Mizan.
Udu, Sumiman. 2006. Citra Perempuan dalam Kabanti: Tinjauan Sosiofeminis. Yogyakarta: Tesis Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada.
Udu, Sumiman. 2007. Konsep Seks Masyarakat Buton dalam Naskah Kabanti Kaluku Panda Atuwu Incana Dempa: Tinjauan Semiotik dan Etnografi. Bima NTB: Makalah Simposium Internasional Manassa tanggal 26-28 Juli 2007.
Udu, Sumiman. 2009. Perempuan dalam Sistem Pemerintahan Kesultanan Buton:Suatu Tatanan yang Terlupakan. Makalah dalam Seminar Nasional yang dilaksanakan oleh PSW-UGM Kamis, 18 Juni 2009 Pukul 08-00 – 17.00 WIB.
Zaenu, La Ode. 1984. Buton dalam Sejarah Kebudayaan. Surabaya: Suradipa.
Zahari, Abdul Mulku. 1977/1978. Sejarah dan Adat Wil Darul Butuni. Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Depdiknas.
Zuhdi, Susanto. 1999. Labu Wana Labu Rope: Sejarah Buton Abad XVII-XVIII. Jakarta: Disertasi Program Pascasarjana Universitas Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar